Pada hari
Kamis, 25 September 2014 kemarin, telah diselenggarakan sebuah acara yang
bertajuk Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara tahun 2014. Acara yang
bertempat di hotel Soechi Medan ini, diprakarsai oleh Badan Perpustakaan, Arsip
dan Dokumentasi (BPAD) provinsi Sumatera Utara. Sekitar lima puluh undangan
yang berasal dari kalangan penulis dan pembaca di wilayah Sumut memenuhi sebuah
ruang pertemuan di lantai dua hotel yang terletak di jalan Cirebon tersebut.
Baik penulis yang sudah terbilang cukup senior dan penulis pemula, bergabung
tanpa ada sekat yang memisahkan. Sekedar sharing info atau
pengalaman di bidang tulis menulis.
Saya sendiri hadir
sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam lebih cepat sebelum acara pembukaan
dimulai. Begitu memasuki ruangan, saya langsung menemukan tiga orang pria
berbagai usia sedang berbincang serius. Tanpa malu-malu saya mendekati mereka
dan berlagak ‘Sok Kenal Sok Dekat’, mendengarkan perbincangan dengan seksama.
Ikut nimbrung
sekali-sekali tanpa diminta. Dari curi-dengar pembicaraan tersebut, saya
ketahui bahwa salah satu dari tiga pria yang mengaku telah berusia tujuh puluh
tahun itu adalah penulis. Saya tidak menanyakan banyak mengenai
tulisan-tulisannya, sebab saya takut, jangan-jangan ia orang hebat di Medan.
Sehingga, tidak mengetahui siapa dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka daripada
malu, saya hanya mendengarkan ceritanya saja.
Beliau mengatakan
bahwa Medan dulu, sarangnya penulis hebat. Saya tak menyangkal sebab memang
pernah membaca nama-nama penulis tersohor dengan karya melegenda, banyak yang
berasal dari Medan atau wilayah Sumatera Utara. Sebut saja Chairil Anwar,
Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana (pelopor pujangga baru), Merari Siregar
serta segudang nama-nama lain yang akrab di telinga masyarakat bahkan dalam
skala nasional dan internasional. Karya-karya mereka yang bombastis telah mampu
mewarnai bahkan sebagian memutar-mutar ‘kompas’ dunia sastra.
Bapak
berumur tujuh puluh yang tak saya ketahui namanya tersebut—karena terlalu segan
untuk bertanya—menyayangkan betapa prestasi itu sekarang hampir sirna. Banyak
yang beranggapan, penulis merupakan kalangan marginal yang hanya dilakukan
orang-orang tak punya pekerjaan. Atau yang lebih menyedihkan lagi ada yang
menganggap bahwa penulis BUKAN pekerjaan—kecuali kalau anda sudah punya sebuah
buku bestseller
tentunya. Dan betapa ia menginginkan bahwa penulis-penulis lokal nun jauh di
pelosok Sumut turut jua dihadirkan dalam acara serupa ini untuk membagikan
pengalamannya. Sebab katanya ia kenal dengan banyak penulis hebat yang
‘tenggelam’ dalam dunianya sendiri dan tak diberi kesempatan untuk berbagi.
Perbincangan
kami lerai saat undangan yang datang semakin ramai. Bapak yang bahkan hingga
detik terakhir tak saya ketahui namanya tersebut—terkutuklah saya—bergabung dengan
para penulis ‘senior’ lainnya. Sedangkan saya duduk dengan ‘teman baru’,
beberapa mahasiswa IAIN yang juga merupakan peserta pertemuan.
Acara pun
dimulai. Jangan ditanya, molor dari waktu yang tertera di undangan itu sudah
pasti. Kata sambutan dari ketua panitia mengawali semuanya dengan beberapa
laporan mengenai kegiatan tersebut. Segera saja acara dibuka secara resmi oleh
yang mewakili Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumatera Utara. Ibu
Suryanti, S. E, Kabag Layanan dan Teknologi BPAD Sumut selaku perwakilan
memulai dengan pesan-pesan yang amat jelas. Bahwa penulis sebagai agent of knowledge
adalah mitra perpustakaan. Ia mengajak agar penulis menjadikan perpustakaan
sebagai rumah kedua. Baginya, tak ada penulis, maka tak ada perpustakaan.
Setelah
rehat sejenak untuk sholat ashar dan coffee break,
sesi pertama pun dimulai. Sesi ini memaparkan tema Peran Perpustakaan Daerah
Sebagai Pusat Deposit. Yang menjadi pembicaranya tak lain tak bukan adalah
Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumut, Bapak Hasangapan Tambunan,
S. Pd, M. Si. Beliau mensosialisasikan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang
serah simpan karya cetak dan karya rekam. Salah satu butir dari undang-undang itu
adalah ‘Setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia, wajib
menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan
kepada Perpustakaan Daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan
selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan.’ Selain untuk menambah
koleksi dan khasanah perpustakaan juga untuk barang bukti jika di belakangan
hari terjadi plagiasi pada karya tersebut. Bapak Tambunan menambahkan bahwa
dalam hal ini penerbit lah yang berkewajiban menyerahkan karya cetak tersebut,
akan tetapi ia meminta agar penulis mengerti akan adanya UU tersebut dan
membantu mensosialisasikannya. Karena tujuan sebenarnya adalah melindungi
‘karya’ para penulis itu sendiri.
Sesi
pertama berakhir setelah pembicara menjawab pertanyaan dari beberapa peserta.
Tanpa jeda, tepat pada pukul 17.30 WIB, sesi kedua pun dimulai. Dan pada hari
itu juga saya baru tahu, bahwa Medan memiliki seorang penulis khusus biografi
yang cukup produktif. Mulai tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menulis
setidaknya lima belas buku biografi tentang beberapa tokoh-tokoh nasional
maupun lokal. Artikelnya juga sudah sering bertengger di koran-koran lokal
Medan, salah satunya koran Analisa. Mungkin namanya sudah tak asing bagi
pembaca Analisa, beliau bernama Bapak Ir. Jannerson Girsang. Pria berusia 53
tahun ini, bercita-cita akan menggenapkan buku biografinya menjadi dua puluh.
Dan buku ke-dua puluh yang ingin ditulisnya adalah tentang perjalanan hidupnya
sendiri sebagai seorang penulis biografi. Beliau memiliki sebuah quote yang
menarik “Jika seseorang meninggal, dan kisahnya belum dituliskan, maka itu
artinya sebuah perpustakaan telah terbakar.” Ia mengatakan bahwa semua orang
harus menulis dan pasti bisa menulis. Beliau tidak percaya bahwa menulis itu
bakat, menulis itu keterampilan yang bisa diasah. Kuncinya hanya tekun dan
fokus. Setidaknya pasti bisa menuliskan tentang kejadian dalam hidupnya
sendiri. Jika ternyata tulisan kita bisa menginspirasi kehidupan orang lain,
tentu itu menjadi sebuah nilai tambah yang positif.
Tepat saat
adzan maghrib berkumandang, pertanyaan terakhir dari peserta tuntas dijawab
pembicara yang baru saya sadari blog-nya pernah saya buka sehari sebelumnya.
Ketika itu saya ingin mencari informasi tentang Pertemuan Pembaca dan Penulis
yang akan saya ikuti. Saya membaca artikel tentang pengalamannya bertemu
penulis senior di ajang serupa empat tahun yang lalu. Di akhir sesi, saya
mengikat banyak inspirasi dari orang hebat yang rendah hati ini. Salah satunya,
pekerjaan yang tak pernah bisa dipecat dan tak memiliki masa pensiun adalah
PENULIS. Maka, menulislah.
Selepas
maghrib dan makan malam, sesi ketiga pun dimulai. Tanpa terlihat lelah dan
tetap bersemangat para peserta antusias menyambut pembicara yang akan
menyampaikan tema Gemar Membaca: Cikal Bakal Hasrat Menulis. Moderator
memperkenalkannya dengan nama DR. Azhari Akmal Tarigan, M. A. Dan kembali saya
tertegun, bahwa banyak penulis lokal yang namanya bahkan baru saya dengar hari
ini. Tidak sefamiliar nama Andrea Hirata atau J. K. Rowling nun jauh di England
sana memang. Akan tetapi kemampuannya dalam menulis mungkin bisa jadi sekaliber
penulis-penulis terkenal itu, bahkan mungkin melampaui. Dengan rendah hati ia
memperkenalkan buku-buku yang pernah ditulisnya. Hampir semua diterbitkan oleh
penerbit lokal dan kebanyakan adalah buku mengenai Ekonomi Islam yang menjadi
subjeknya saat mengajar mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Namun ada juga buku-buku bertema lain
yang masih tak jauh dari dunianya. Yakni dunia pendidikan.
Sambil
berkelakar pria berkumis yang tulisannya sering wara-wiri di koran Waspada ini
menyampaikan, bahwa salah satu bukunya sudah ada yang terjual sebanyak empat
ribu eksamplar lebih tapi tak jua menuai cap ‘bestseller’. Itu
terjadi karena buku tersebut ‘wajib’ dibeli untuk pegangan santri di sebuah
Pondok Pesantren. Semua orang tertawa. Dan saya berpikir, bahwa beginilah
seyogianya pendidik itu. Bisa menulis buku sendiri sebagai buah pikirannya
untuk dijadikan bahan mengajar.
Beliau
menyampaikan banyak motivasi-motivasi agar menjadikan membaca dan menulis
sebagai budaya orang Indonesia. Meski perut t’lah kekenyangan dan malam semakin
menua, namun tak ada peserta yang mengantuk. Semuanya larut dalam suasana penuh
motivasi yang dikemas apik dalam canda oleh Pak Tarigan. Banyak hal kecil yang
bisa dilakukan untuk membuat Negara dengan budaya ‘oral’ ini menjadi Negara
berbudaya membaca dan menulis. Salah satunya, jangan malu untuk membaca di
tempat-tempat umum. Dalam sebuah antrian di negara-negara maju, orang-orang
akan menghabiskan waktunya dengan membaca. Di Indonesia orang lebih senang
mengobrol ngalor
ngidul atau mungkin memainkan gadget-nya
daripada membaca. Mulailah dari orang-orang yang ngakunya
komunitas pembaca atau penulis, kutipnya dari salah seorang peneliti.
Di akhir
sesi tak ada lagi yang bisa beliau katakan selain membaca lalu menulis lah!
Membaca lalu menulis lah! Jika anda datang ke toko buku, mulailah buat
perhitungan. Seperti yang telah dilakukannya. Misalnya saat menemukan buku
bagus seharga enam puluh ribu rupiah, mulailah membuat perhitungan. Dari buku
ini kita bisa menuliskan review-nya, itu
bernilai sekian. Dari buku ini kita bisa menuliskan sebuah artikel, itu
bernilai sekian. Jika balik modal bahkan untung, maka beli! Itulah enaknya jadi
PENULIS, tandasnya sambil tertawa. Memang kata-kata itu terlihat ringan dan
bagi sebagian pandangan tendensius terkesan materialistik. Tapi ini bermakna
sangat dalam bagi jiwa yang berpikir. Bahwa membaca itu bukan hanya menakluklan
ejaan-ejaan aksara lalu memahami makna. Membaca itu adalah proses berpikir yang
darinya kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran baru. Budayakanlah Membaca dan
Menulis, hai orang Medan pada khususnya dan orang Indonesia pada umumnya.
Jadikan masyarakat kita ini menjadi Reading Society, masyarakat
pembaca untuk menuju Learning Society,
masyarakat pembelajar. HORAS.
Medan, 26 September
2014
Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd
Peserta
Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumut ‘14
0