REVIEW NOVEL HUJAN DAUN-DAUN
Penulis: Lidya Renny Chrisnawaty, Tsaki Daruchi, Putra Zaman
Desain Cover: Marcel AW
Editor: Nina Andiana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2014
ISBN: 978 – 602 – 03 – 0376 – 5
248 halaman; 20 cm
Novel remaja karya
tiga penulis jebolan ajang pencarian bakat Penulis Indonesia dalam Gramedia
Writing Project ini cukup bisa menjadi bacaan remaja yang menarik. Novel ini
mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang gadis dua puluh tahun bernama
Tania. Mimpi tentang dirinya dan seorang gadis berbaju biru yang sedang bermain
di bawah pohon dengan daun berguguran menjadi pembuka novel setebal 248 halaman
ini. Mimpi itu sering berulang sehingga mengganggu pikiran Tania.
Pada awalnya, mungkin karena ini karya perdana atau bagaimana ada kebosanan
yang melingkupi saat membacanya. Kejadian mimpi yang berulang dan dihubungkan
dengan kejadian nyata merupakan sesuatu yang sudah sering dipakai oleh
penulis-penulis lain. Dalam awal-awal membaca perlu effort yang cukup keras untuk bisa mendapatkan ‘kesenangan’ dalam
buku ini. Untungnya usaha yang cukup keras itu terbayar lunas di pertengahan
novel hingga ending. Keasyikan dan
keseruan konflik mulai terasa saat seorang wanita mencari Tania hingga ke
kampusnya. Wanita itu adalah ibu tirinya. Darinya semua masa lalu Tania yang
ditutup-tutupi kakek neneknya karena suatu hal mulai terkuak. Konflik
dihadirkan padat dari pertengahan hingga akhir.
Kejadian-kejadian flash-back tentang
kehidupan masa lalu orang tua Tania disisip di antara kejadian di masa
sekarang. Cara ini membuat pembaca bisa dengan detail membayangkan kejadian di
masa lalu. Mungkin karena novel ini ditulis oleh tiga orang penulis yang
berbeda karakter dalam menulis, maka tak jarang pembaca mengalami ‘guncangan’.
Sering didapati ‘rasa’ yang berbeda antara satu bab dengan bab yang lainnya.
Ketika sedang asyik menikmati gaya bercerita pada satu bab, kemudian pada bab
berikutnya akan menemukan gaya penulisan yang benar-benar berbeda. Ini membuat
sedikit kurang nyaman.
Di beberapa tempat juga masih ditemukan salah pengetikan, tapi masih dalam
ambang batas kewajaran. Walau seharusnya diharapkan sudah tidak ada sama sekali
kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Aroma percintaan yang dihadirkan juga
kesannya hanya semacam tempelan. Well, mungkin seperti ada keharusan untuk
cerita remaja harus ada unsur percintaannya. Hingga seperti dipaksakan. Sayang
sekali itu menjadi tidak terlalu penting di sini. Tidak ada Adrian sebenarnya
tidak masalah. Toh, ada Stella sosok sahabat sempurna yang sangat setia dan
selalu menolong Tania. Kebanyakan si tokoh utama memperjuangkan segalanya
sendirian. Perlu di-upgrade ulang pemikiran lama yang mengatakan novel remaja
harus ada unsur cinta laki-laki dan perempuan. Kasih sayang antar sahabat juga
bisa mengena, kok.
Penyelesaian konfliknya juga sepertinya agak dipaksakan. Misalnya ketika Tania
harus mencari saudara kembarnya Tiana yang kini berdomisili di Berkeley,
Amerika. Tentu perlu modal yang cukup besar untuk pergi ke Amerika. Padahal tak
dijelaskan dari awal bahwa kakek dan nenek Tania itu orang yang cukup berada.
Penjelasan itu baru ada hampir di akhir cerita. Padahal tokoh Kakek Nenek sudah
muncul pada awal sekali.
Tania bisa sampai Amerika dengan mudah. Saat berdiri di depan rumah yang
dicarinya, si pemilik rumah tepat baru pulang dari suatu tempat. Sungguh sebuah
keberuntungan yang beruntun. Banyak segala yang kebetulan terjadi di
novel ini. Jadi intinya untuk pembaca yang baru puas jika happy ending semacam
saya ini pasti akan dibuai dengan penyelesaian yang ada.
Untuk sebuah novel perdana, over-all ini layak baca! Pesannya tersampaikan.
Bahwa masa lalu itu penting untuk mengenali siapa sebenarnya diri kita. Akan
tetapi kita tak bisa memutar-balik waktu agar semuanya berjalan sesuai dengan
keinginan kita. Apa yang terjadi sekarang harus dihadapi. Seperti kata Adrian
di Epilog—finally Adrian ada gunanya
juga,hehe.
“Aku percaya bahwa hal-hal besar, yang terasa ajaib,
walaupun sepertinya nggak masuk akal, nggak bisa diterima logika, sebenarnya
selalu berputar di sekeliling kita. Tinggal gimana kita menangkapnya hingga
keajaiban-keajaiban itu benar-benar terjadi dalam kehidupan kita. Sama seperti
daun-daun yang gugur itu, angin nggak akan pernah berhenti bertiup, dan
daun-daun itu nggak pernah tahu kapan mereka akan terlepas dari tangkai, tapi
tanah akan selalu menerima mereka. Seperti kita yang juga harus selalu siap
menerima keajaiban-keajaiban itu.”
Barvo
untuk ketiga penulisnya dan HAPPY READING!
Medan, 23 Oktober
2014
0 komentar:
Posting Komentar