Aku sependapat dengan endorsement novel The Girl on the Train yang ditulis paling akhir
dari Collette McBeth, seorang penulis novel triler psikologis, The Life I Left
Behind.
“Perjalanan
yang berkecepatan tinggi, penuh putaran dan belokan. Kini, menatap ke luar jendela
kereta tak akan sama lagi,” komennya menanggapi novel triler psikologis yang
ditulis oleh Paula Hawkins ini.
Ya,
benar. Setelah membaca novel ini, aku pasti punya bayangan lain tentang apa-apa
yang kulihat dari jendela kereta. Sesuatu yang tampak normal, biasa, tapi siapa
tahu di serba kenormalan itu sebenarnya tersimpan sesuatu. Sesuatu itu di luar
dari apa yang kita sangkakan sebelumnya.
Sama
halnya seperti tokoh utama cerita ini: Rachel, dia menaiki kereta yang sama
setiap hari menuju London. Kereta akan
selalu berhenti di salah satu sinyal perlintasan tepat di depan sebuah rumah
nomor lima belas. Rumah dari sepasang suami istri yang tampaknya memiliki hidup
yang ideal dan bahagia. Baginya melihat kehidupan orang asing dan tahu mereka
aman dan nyaman di rumahnya membuat Rachel merasa aman juga. Rachel teringat
akan kehidupannya sendiri yang dulunya juga sempurna.
Tapi
sebuah kejadian, menghapuskan pandangan baiknya terhadap sepasang suami istri
itu. Rachel yang merasa sudah memahami mereka, akhirnya terseret masuk dalam
konflik mereka. Bahkan terlalu dalam hingga semuanya kacau. Meski memang pada
akhirnya mereka memiliki keterkaitan terhadap Rachel. Namun, kehadirannya di
saat yang tidak tepat semakin memperparah keadaan.
Kelebihan
novel ini terletak pada kelihaian penulis dalam menggambarkan serta membongkar
sisi psikologis masing-masing karakter. Pergumulan batin yang terjadi dalam
tiap karakter membuat pembaca jadi berpusar dan tenggelam di alam pikiran tiap
karakter. Tindak-tanduk karakter juga terbangun sempurna sesuai dengan sisi
psikologis yang dipaparkan hingga semuanya masuk akal. Ini berbuat ini karena
begitu. Itu berbuat itu karena begini. Logis.
Kisah
ini disajikan melalui PoV tiga karakter secara bergantian: Rachel, Megan dan
Anna, hingga secara detail kita bisa mengetahui pergulatan emosional
masing-masing karakter—apa yang mereka pikirkan—serta masa lalu mereka. Mau tak
mau, sebagai pembaca terkadang kita tiba-tiba sangat membenci Rachel, atau suka
pada Megan. Lalu di halaman berikutnya pembaca bisa membenci Megan dan Anna dan
berpihak pada Rachel.
Penulis
rapi menebarkan petunjuk-pertunjuk, hingga pada awalnya kita merasa benar-benar
bisa menebak siapa sebenarnya yang jahat. Penulis secara cerdas menyembunyikan
twist untuk dibongkar di—hampir—akhir cerita. Tapi tidak secara terang-terangan
memunculkannya secara tiba-tiba (bukan karakter yang tiba-tiba muncul di
akhir). Dia sudah ada sejak awal. Penulis juga cukup cerdik menghadirkan
beberapa hal untuk pengalihan. Keren dan cerdas!!!
Sangat direkomendasikan bagi pembaca
yang suka kisah seru dan misteri. Bersiap-siap menyelami sisi psikologis
seseorang yang mungkin saja membuatmu ikut tersesat dalam jalam pikiranmu
sendiri. Siap-siap untuk terkejut dengan akhir kisah ini.
Kabarnya novel ini akan difilmkan oleh Dream
Works Studios. Kita tunggu saja peluncuran filmnya di bulan Oktober tahun ini.
Yunita R. Saragi
Medan,
24 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar