Dibandingkan
Film Toba Dreams, Avangers Sampah?
Pernyataan
di atas diungkapkan oleh Jajang C. Noer, seorang aktris kawakan yang ikut
bermain dalam film Toba Dreams di salah satu stasiun televisi swasta beberapa
hari yang lalu. Pesan-pesan terakhirnya sebelum acara talk show pagi itu
ditutup,
“Tonton
Toba Dreams. Jangan yang lain. Apalagi Avangers atau apalah apalah itu. Sampah
semua itu.”
Awalnya
aku mengira itu hanya ungkapan ‘lebay’ seseorang yang sedang mempromosikan
filmnya. Atau bisa jadi luapan keprihatinannya akan kecendrungan penonton
Indonesia yang lebih menghargai film buatan luar negeri ketimbang dalam negeri.
Tapi... setelah langsung menonton filmnya sendiri, aku berubah. Bahkan agaknya
ikut mengamini pernyataan ‘keras’ miliknya itu.
Tanggapanku
setelah menonton film yang diperankan oleh aktor Vino G. Sebastian dan Marsha Thimoty
serta Mathias Muchus ini adalah film ini sangat berisi, ‘gemuk’ dengan makna
dan sarat akan pesan-pesan moral. Begitu banyak buah-buah kontemplasi yang bisa
kita petik dari film ini.
Akar
cerita film garapan sutradara Benni Setiawan ini utamanya berkisah mengenai
hubungan bapak dan anak laki-lakinya. Sang Bapak yang diperankan oleh Mathias
Muchus baru saja menjadi pensiunan TNI AD berpangkat Sersan Mayor. Dia mengajak
seluruh keluarganya untuk kembali ke kampung halamannya dan mulai membangun
kehidupan di sana.
Ronggur,
anak tertuanya yang dilakoni oleh Vino G. Sebastian merupakan orang pertama
yang menentang keputusan itu. Dia punya banyak mimpi di Jakarta dan dia
menganggap bapaknya adalah seorang diktator yang selalu mengebiri mimpi
anak-anaknya dari kecil. Tapi demi ibunya, Ronggur akhirnya menyetujui meski
dengan berat hati.
Pergolakan
terus terjadi di benak Ronggur. Dia ingin bebas dan mencari kesuksesan di
Jakarta. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah opungnya (Jajang C.
Noer)—rumah yang mereka tinggali saat di kampung—dan mencari peruntungan di
Jakarta. Sekaligus menemui kembali kekasihnya, Marsha Timothy yang dia
tinggalkan.
Daya
tarik film ini, selain nama besar Vino G. Sebastian adalah setting film yang
mengambil lokasi di salah satu tepian Danau Toba. Tepatnya di sebuah
perkampungan di Balige. Dengan sangat elegan sang sutradara berhasil menyajikan
panorama indah nan khas milik danau terluas se-Asia Tenggara terebut. Latar
belakang budaya yang diangkat juga mampu menjanjikan cita rasa yang berbeda. Secara tidak langsung juga membangkitkan potensi pariwisata lokal. (Mudah-mudahan
bisa mengikuti jejak film Laskar Pelangi yang mampu membuat Pulau Belitong
menjadi destinasi wisata utama sekarang ini). Sangat diharapkan kemunculan
film-film lain yang serupa dan mengangkat keindahan Indonesia dari sudut yang
lain lagi. Jika film India mampu menonjolkan nyanyian dan tariannya sehingga
industri filmnya bisa lepas landas ke dunia internasional, bisa jadi penggalian
budaya dan keindahan alam Indoneisa menjadi salah satu ikon film Indonesia yang
mampu menarik penonton mancanegara. Who knows?
Konflik-konflik
yang dihadirkan secara maraton juga terasa sangat real. Dekat dengan kehidupan kita sehari-hari hingga menyentuh ke
jiwa. Tidak ‘lebay’ dan tak terkesan dipaksakan.
Belum
lagi hadirnya musik yang menjadi soundtrack dan mendukung keseluruhan film. Tak diragukan lagi
keciamikan Vicky Sianipar dalam menggarap musik, membuat film ini semakin...
PEWEW!!! (PEWEW= Embahnya WOW). Musik di film bagai sebuah jiwa. Dengan adanya
jiwa film ini menjadi lebih ‘hidup’.
Awalnya aku mengira penonton Toba Dreams paling hanya segelintir—apalagi saat antri beli tiket semua orang beli tiket Avangers, well terkadang di situ kadang saya merasa aneh sendiri—dan tidak akan penuh sampai setengah baris. Tapi ternyata penontonnya penuh hingga ke baris paling depan. Mungkin karena ini di Medan, jadi masyarakatnya punya keterikatan budaya tersendiri.
“Peringatan
bagi orang yang melihat keharuan di film animasi semisal “Up” saja bisa
menangis!” Sediakan handuk, karena film ini bakalan menguras air mata. (FYI:
Aku menangis sepanjang film diputar. Pada saat itu aku bersyukur bahwa film di
bioskop diputar dalam kondisi gelap. Sehingga orang lain tak mengetahui
kondisiku yang mengenaskan tersebut. Cewek yang duduk di sebelahku sekali waktu
pernah menoleh padaku. Mungkin dia mendengar isak tangisku atau mungkin hanya
mengecek aku peduli apa tidak pada dia, sebab dia lantas bersandar di bahu
pasangannya dengan manja—mungkin terinspirasi kemesraan Vino dan Marsha. Saat
lampu dihidupkan, setengah mati aku menutupi mataku yang bengkak dan wajahku
yang sembab. Sementara suamiku melangkah gontai sejauh mungkin dariku dengan
wajah -_- #saatnya_melempar_bakiak)
Salah
satu quote yang amat sangat membekas dari film ini “Sukses itu bukan berhasil menjadi
orang kaya. Tapi sukses itu berhasil menjadi orang baik.”
Bagiku
film ini memiliki ending yang sangat twist alias tak terduga. Menghadirkan efek
kejut yang purna (ceileee). Meski tragis, aku pribadi memahami mengapa ending
filmnya begitu. Bahwa pemeran utama tidak mesti sempurna, tidak harus menjadi superhero
yang tak mati-mati meski dibantai raksasa satu batalion. Aku puas dengan
endingnya, mengingat keseluruhan cerita yang ada. Kesaksian suamiku yang
sewaktu dulu menonton film Mockingjay terus menerus menguap dan hampir
terlelap, film ini sama sekali tak membuatnya mengantuk. Bahkan ikut tertawa
terbahak-bahak saat kehadiran Boris, komik stand-up comedy yang turut
menyegarkan cerita, memicu tawa semua penonton. Suamiku mengaku, sering menahan
tawa karena terpaksa. Tawa penonton lain sudah reda, sementara dia sendiri
belum. Aku tahu bagaimana rasanya itu, Kawan.
Kekurangan
film yang diadaptasi dari novel milik T.B. Silalahi yang berjudul sama ini,
mungkin terletak pada judul. Bagi orang Sumatera Utara mungkin tak ada masalah.
Tapi bagi orang di luar Sumut, mungkin kurang menarik. Untunglah... daya tarik
Vino pastinya tak bisa dielakkan. Aktingnya tak lagi diragukan. Keren and
amazing pol! Good strategy.
Aku
merekomendasikan film yang berlabel untuk dewasa (17 tahun ke atas) ini untuk
ditonton. Jangan tunggu tayang di televisi. Dukung perfilman Indonesia. Apalagi
untuk film-film yang memang berkualitas alias bukan kacangan seperti ini.
Daripada
Avangers bagusan tonton Toba Dreams. Tapi daripada film-film horor Indonesia
yang kebanyakan mempertontonkan sensualitas daripada isi cerita, memang bagusan
Avangers. Gitulah gitu. HORAS.
Medan,
02 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar