GELENG-geleng kepala ketika melihat anak-anak muda
krenyes-krenyes tiap hari sibuk posting foto-foto idolanya dan berkata banyak
tentang mereka. Ihhh, kayak kagak ada kerjaan lain aja! Alay banget, sih! Jika ‘masa
lalu’ itu hidup, pasti dia akan datang dan menjitak kepalaku dengan batu bata
mutu terbaik, ‘pletak!’ sambil ngomel, “Macam dulu kau tak alay aja pun!”
Emmm…
(nyengir) apa iya? Well, setelah membuka bagian memori yang ‘itu’, aku nunjuk
diri sendiri dan berkata, “Ah, itu aku? Serius?” Seandainya itu bukan aku.
Semasa
remaja aku punya idola. Bedanya dulu nggak ada sosmed. Mungkin kalau ada aku
pasti lebih parah. Dan, sumpah, aku nggak mau membayangkannya sekarang. Karena
dulu saja sudah parah. Siapa makhluk-makhluk beruntung yang terpilih menjadi
idolaku di masa labilku itu? They are…
Boyzone!
Alasan
mengapa seseorang menjadikan sosok lain menjadi idola itu pasti tak semata
ikut-ikutan doang. Dia datang dengan cara yang tiba-tiba, mengalihkan perhatian
kita—bisa jadi—hanya berdasarkan hal-hal yang tak masuk akal. Misalnya, suka
sama pemain bola bukan karena kelihaiannya bermain bola, tapi karena gebetannya
suka sama orang itu. Aku tak bisa memastikan apakah semua orang mengalami hal
ini atau tidak. Yang jelas aku suka
Boyzone dengan cara yang sungguh romantis. Dengan cara yang tiba-tiba, penuh
kemudahan dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Adalah
Nancy Natalia Nainggolan orang pertama yang memperkenalkanku pada sebuah lagu “A
Different Beat”. Dia teman sekelasku saat SMP. Dia suka menyanyi dan suaranya
bagus, sementara aku suka menyanyi dan suaraku sedikit bagus (bagusnya hanya
sedikit—ralat—tidak ada bagus-bagusnya). Dia punya keinginan menyanyikan lagu
itu di kelas seni musik nanti. Baginya penampilan kecil pun harus sempurna.
Lagu itu memerlukan suara lebih dari satu, katanya. Sehingga dia memerlukan
satu orang lagi. Maka, entah berdasarkan apa dia memintaku dan melatihku menjadi
rekan duetnya. Mungkin itu tadi, ini pintu awal untukku agar bisa berkenalan
dengan Boyzone secara tiba-tiba dan penuh kemudahan.
Aku
jatuh cinta pada A Different Beat.
Kuhapal liriknya. Dan praktis, dengan begitu saja, lagu yang berpesan moral
sangat bagus itu menjadi lagu paling populer. Lagu paling populer untukku
berarti tracklist yang sering
kubawakan di kamar mandi. Pada waktu itu mengalahkan lagu-lagu milik Nike
Ardila. Yup, lagu Nike Ardila pun turun satu peringkat dengan kemunculan Different Beat di kepalaku.
‘Tiba-tiba dan kemudahan’
kembali menghampiriku beberapa minggu kemudian. kakakku yang sekolah di Medan—dulu
aku tinggal di kota kecil bernama Porsea—datang berlibur dengan membawa album Different Beat milik Boyzone. Mataku tak
hanya berbinar, tapi hampir copot. Tiap hari kasetnya kuputar dengan volume
keras. Seolah ingin mengajak seluruh dunia untuk mendengarkan lagu-lagu keren
yang ada di dalamnya. Paradise, Melting
Pot, Games of Love, Ben, Words, kesemuanya bikin aku meleleh. Tak ayal,
konser depan kaca dengan microphone
sisir pun semakin sering dilakukan. Lagu apa lagi kalau bukan satu album Different Beat yang sudah kuhapal
semuanya itu?
Kegilaan tak hanya sampai di
situ. Untung perusahaan tempat Bapak bekerja memberikan fasilitas saluran
televisi dari parabola, hingga di kampung-kampung seperti ini kami bisa
menyaksikan siaran semacam HBO atau MTV. Tak pelak, di saluran MTV, Boyzone
sering nongol dengan video klip yang ajib banget. Makin lihat video klip aku
makin jatuh cinta. Aihhh, nggak kau
tengok si Ronan Keating ituuu, ganteeeng bingiiitttzzz. Dulu rambutnya
masih gondrong, sama persis panjangnya sama rambutku, belah tengah pulak lagi.
Hihihi…. Kok ada, sih orang ganteng kayak gitu??? (Lari-larian di kabel
listrik). Setelahnya, kegemaran semakin bertumpuk di dada, tak menjadi sebah
malah jadi meruah, berbunga-bunga Raflesia Arnoldi. Tuiiinggg!!!
Seluruh keluarga tahu
kegilaanku itu. Terutama Mamak. Aku nggak tahu gimana perasaannya saat melihat
anaknya menjadi manusia aneh yang tiba-tiba bisa belingsatan lari ke depan TV
jika video klip Boyzone diputar. Marah-marah kalau channel diganti.
Senyum-senyum sendiri kalau liat mereka di TV. Mungkin dia tetap mendukung asal
aku baik-baik saja dan tak menyusahkannya. Bukti kalau Mamak mendukung, tak
hanya sekali beliau memanggilku jika ada video Boyzone sedang diputar dan aku
sedang tak berada di sana. “Yuuun!!! Boyzone!” Ih, Mamak yang kucintaiii…
terharu, deh. Kurasa dalam pikirannya, kalau masih manggilkan namanya aja untuk
nonton idolanya dari TV masih nggak apa-apa, asal anak itu jangan minta ongkos
pergi ke Irlandia untuk jumpa Boyzone. Kalau itu terjadi, mungkin disepakkannya
aku biar sampe ke Irlandia sekalian.
Tapi Mamak pernah
memandangku prihatin, dia berucap lirih sambil mengusap punggungku, “Ihhh, kek
mana lah kalau kau jumpa di Ronan, ya? Kurasa pingsan kau.” Kala itu aku sedang
memeluk bantal dengan mata yang rekat kayak dilem di layar televisi yang sedang
memperlihatkan video klip Boyzone. Aku sempat melirik Mamak satu detik. Dari
matanya kulihat, andai dia milyuner mungkin dia akan mengundang Boyzone untuk
makan malam di rumah dan menyanyikan lagu-lagu mereka hanya untukku.
Saat SMA kegilaanku pada
mereka tak berkurang. Kami sekerluarga pindah rumah sehingga aku meneruskan sekolah
di Pematang Siantar yang notabene lebih kota ketimbang tempatku sebelumnya. Di
sana aku mulai membeli poster-poster dan menempelkannya di kamar. Satu kelas—teman-teman
baru—langsung tahu idolaku siapa. Bahkan ada cerita yang lumayan menggelikan
untuk ini.
Di usia itu, memang tak bisa
dilepaskan dari kisah cinta anak remaja. Jadi dulu ceritanya aku jadian sama
abang kelas. Dia tahu aku suka Boyzone. Untuk hadiah ulang tahun, maka
diberikannya aku album Where We Belong, album terbaru Boyzone kala itu. Dia
juga terpaksa cari tahu tentang Boyzone dan berusaha menyukainya. Bayangkan!
Pria penggemar dangdut rela menurunkan selera bermusiknya gara-gara aku. Jadilah,
kaset itu saban hari diputar. Selain karena memang kegemaranku, juga karena
benda tersebut adalah pemberian paling romantis di masanya.
Terjadi sebuah tragedi saat
Bapak yang kerja di luar kota pulang. Pada saat itu aku dan Bapak berkendara
menuju rumah adiknya. Ada pemutar kaset dalam mobil dan itu tak kusia-siakan.
Kubawa serta kaset Boyzone tersebut. Kuhidupkan kaset dan dalam beberapa menit
di awal aku bahagia, sambil menikmati semilir angin daerah persawitan yang
masuk melalui jendela mobil, aku bernyanyi riang. Tak lama suara Ronan yang
keren berubah meliuk-liuk dan tak lama mati total. Ternyata kasetnya kusut.
Pita-pitanya terburai dan menyangkut di dalam tape. Hari yang bahagia jadi
duka. Aku menangis! Ya, menangis. Untuk sebuah kaset? Jijay! Sayangnya memang
begitu. Selain menangis, aku juga menyalahkan tape mobilnya. Bapak kasihan
melihatku yang kayak orang udah mau bunuh diri saja. Dia hanya diam, tak tahu
harus berbuat apa.
Selanjutnya kisahnya agak
mengharukan, mungkin karena mengingat ini di saat Bapak sudah nggak ada
sekarang. Sepulang dari rumah adiknya Bapak, dia membawa kaset terburai itu ke
dalam rumah. Diletakkannya di atas meja. Aku hanya memandanginya pesimis.
“Udahlah, Pak, buang aja, udah
nggak mungkin lagi diperbaiki.” Bapak hanya diam tak menanggapi sepatah kata
pun. Tak lama aku masuk kamar, ecek-eceknya mengurung diri demi kedukaan ini.
Sementara Bapak sibuk mondar-mandir di kala aku sibuk menata hati. Aku menangis
dan meratapi nasib Boyzone-ku yang malang. Beberapa saat kemudian, dia
memanggilku, “Yuuun!!!”
Aku malas keluar. Tak ada
gunanya lagi semua ini. Tapi secara tiba-tiba, aku mendengar lagu ‘Picture of
You’ berkumandang di udara. Soundtrack film Mr. Bean itu berdentum-dentum tak
hanya di telingaku tapi di hatiku. Aku melompat dari tempat tidur dan
menghambur keluar. Tampak Bapak sedang menyetel volume di depan tape di rumah.
“Kok, bisa, Pak?” tanyaku semringah.
“Bisalah!” jawabnya
misterius. Ingin kupeluk bapakku saat itu juga dan mengucapkan elepyu di
telinganya. Tapi tak kulakukan, aku hanya kejang menikmati alunan nada yang kupikir
tadi tak akan bisa kudengar lagi. Lebay, kan? Ngeri, kan? Kek gitulah
kenyataanya. Mau cemana lagi? L Tapi minimal, mungkin tingkahku yang sampai segitunya
punya hikmah. Bisa jadi itu yang membuat saat masuk kuliah aku memilih jurusan
Bahasa Inggris. Yeah, lirik-lirik lagu mereka yang berbahasa Inggris tak pelak
menuntutku untuk mempelajari bahasa mereka juga. Dan, kau tahu? Aku sering
mengatakan pada murid-muridku, untuk bisa menguasai bahasa Inggris dengan cara
yang menyenangkan, cari lagu dalam bahasa Inggris yang menyenangkan bagimu.
Maka, kau tak akan merasa pusing belajar bahasa Inggris. Itu akan menyenangkan!
Apalagi kau tak kenal kaset yang bisa tiba-tiba kusut dan bikin harimu kusut
juga. Tinggal download, taraaa!!! Lagu itu hadir di playlist-mu.
Dan satu lagi! Demi
mengingat ini, aku nggak akan misuh-misuh lagi jika liat ABG pada posting
gambar-gambar idola mereka di pesbuk. I promise you.
Medan, 02 Desember 2014
3