Dengan visi
untuk menyenangkan keluarga, liburan selama tiga hari ini, kami pergunakan
dengan sebaik-baiknya. Bersama suami, mertua, adik-adik ipar, kami memutuskan
untuk menikmati liburan dengan cara yang tidak biasa.
Bagi warga Sumatera Utara dan
sekitarnya, menikmati Danau Toba dari pinggiran kota Parapat mungkin sudah
biasa. Akan menjadi pengalaman tersendiri jika kita mau sedikit berlelah-lelah
untuk memandang danau terluas se-Asia Tenggara itu dari sisi yang berbeda.
Mari kita mulai perjalan yang luar biasa ini!!!
Jauh-jauh hari, suamiku, sebagai ‘Pimpro’ sekaligus penyandang dana utama,
mulai mencari spot-spot keren dan penginapan yang murah dan layak untuk kami
semua melalui internet. Hanya sebagai bekal informasi agar tidak tersesat.
Selebihnya tak perlu khawatir. Asal ada mulut untuk berbicara sopan, orang
lokal pasti akan bersedia membantu.
Kami tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga kami harus
menyewa satu mini bus yang bisa menampung tujuh orang—termasuk sopir—untuk pertualangan
kali ini. Karena ingin mendapatkan suasana lapang, Suzuki APV yang kami pilih.
Maklum, dua orang anggota perjalanan ini bertubuh sehat, subur dan terawat.
Hihihi. Sorry, Mommy and Bude… J Sebagai informasi bagi anda, di
sini rental mobil memiliki kisaran harga dari 250,000 s/d 300.000 IDR per hari
dengan sistem lepas kunci (sopir sendiri). Jenis mobil yang didapat dengan
kisaran harga demikian itu bisa Avanza, Xenia atau APV, biasanya full AC, dengan
bahan bakar ditanggung sendiri.
Kami berangkat pukul tujuh pagi dari kediaman kami di Bandar
Setia, Deli Serdang. Rapat koordinasi yang telah kami lakukan sebelumnya, telah
menyepakati bahwa kami harus membawa bekal, minimal untuk mengurangi biaya
konsumsi selama dalam perjalanan. Ini juga bisa dijadikan tips untuk
keluarga-keluarga di luar sana yang ingin bersenang-senang dengan cara menekan
biaya pengeluaran menjadi sekecil mungkin. Kami membawa beberapa jenis makanan
tahan lama (Sartika alias sambal teri kacang sudah pasti masuk dalam daftar
teratas dalam billboard edisi makanan tahan lama terlaris sepanjang masa—di SUMUT),
beras, rice cooker dan juga teko
listrik pemasak air. Beras dan rice cooker sengaja dibawa untuk mendapatkan nasi
yang selalu baru dan hangat.
Tujuan pertama kami di hari pertama ini adalah Balige. Sebab
sudah lama penasaran dengan keberadaan Museum Batak T. B. Silalahi Center yang
bertempat di Desa Silalahi Kecamatan Balige itu. Dengar-dengar, museum pribadi milik
seorang purnawirawan jenderal TNI itu menyimpan banyak hal yang menarik untuk
dilihat. Selain menyimpan jejak kehidupan seorang T. B. Silalahi dari mulai
menjadi seorang pengembala kerbau hingga menjadi seorang jenderal yang
menginspirasi, juga menyimpan berbagai pernak-pernik kebudayaan suku Batak yang
harus dilestarikan. Sebagai boru Batak—meski ‘Batak nalilu’ karena sudah terakulturasi dengan budaya lain—aku merasa ini
adalah perjalanan ‘pulang kampung’ yang turut menimbulkan perasaan secara emosional—rindu pada
tanah kelahiran.
Karena hati yang riang, perjalanan
Medan-Balige selama sekitar enam jam pun tidak terasa. Kami sudah melewati
Porsea dan telah pun sampai di ibukota kabupaten Toba Samosir—Balige.
Matahari yang bersinar garang menyambut kedatangan kami. Maklumlah perkiraan
cuaca memang memberitahukan bahwa hari itu merupakan puncak badai matahari yang
sedang melanda sebagian wilayah di Indonesia. Meski begitu embusan angin sejuk
di kota kecil ini cukup menolong. Saran, untuk merasakan atmosfir kota lebih
baik tidak menggunakan AC. Angin kota Balige sejuk dan masih minim polusi
udara.
Sebaik menginjakkan kaki di Balige,
kami langsung bergerak ke Balige Dock, alias Pelabuhan Ballige. Sebab kami
memang berniat menyeberang ke pulau Samosir setelahnya. Kami langsung mengecek
jadwal keberangkatan kapal Ferry agar tidak ketinggalan. Dari Balige, kapal
Ferry hanya berangkat sekali setiap hari. Setiap jam 16.30 WIB biasanya kapal
akan berangkat tepat waktu. Kami langsung memesan tiket. Untuk kendaraan roda
empat harga tiket sekitar 180,000 IDR. Untuk penumpang yang ada di dalam mobil,
membayar 25,000 IDR per kepala. Tiket Ferry sudah aman! Sekarang, waktunya
mengeksplorasi Balige!!!
Setelah bertanya arah pada warga yang
kami temui, akhirnya sampai juga di Museum Batak T. B. Silalahi Center yang
termahsyur itu. Kemegahan dan keindahannya sudah tampak dari luar. Tapi… sayangnya hari itu tutup. Saat
itu memang sedang libur paskah. Selain kami, banyak juga pengunjung lain yang
kecewa. Contohnya saja rombongan keluarga yang baru datang dari Sibolga. Sempat
juga mereka membujuk agar penjaga yang hari itu sedang berjaga di depan gerbang
untuk membukanya, tapi para petugas itu tetap memegang komitmen. Pekerja yang
amanah dan tak tergiur rupiah rupanya. Keren buat penjaga T. B. Silalahi Center!
Tak jauh dari sana, ada Makam Pahlawan
Nasional Sisingamangaraja XII. Kami pun masuk untuk mengobati kekecewaan serta melepas
lelah setelah enam jam perjalanan, dan juga untuk mengenang sejarah perjuangan
Sisingamangaraja dan berziarah tentunya. Kompleks pemakaman bersih dan sangat
sejuk. Pohon-pohon besar menaungi taman dan bangku-bangku taman yang disediakan
untuk pengunjung.
Makamnya sendiri berada agak di dalam. Dibatasi pagar dan
gerbang yang berbentuk atap rumah adat Batak. Penjaganya sedang tidak ada. Tapi
di gerbang ada sebuah meja yang di atasnya terdapat kaleng berisi sejumlah uang
yang kuduga kuat berupa kotak sumbangan suka rela. Melihat ini, sudah tahu apa
yang harus dilakukan, kan? Hey! Jangan kotor pemikiran kalian! Hahaha. Aku
bukan mau mencurinya, tapi minimal ikut menyumbang juga sedikit.
Berfoto dengan Mommy mertua di depan gerbang makam
Raja Sisingamangaraja ke XII
Setelah kami masuk, pengunjung lain yang tadinya hendak ke T.
B. Silalahi Center pun jadi beralih ke makam ini. Seketika makam yang tadinya
sunyi mendadak ramai. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera aku
masuk ke dalam dan berdoa sesuai agamaku untuk tokoh yang namanya besar karena
turut berjuang demi Indonesia.
Berdoa di depan makam Pahlawan Nasional
Sisingamangaraja XII
Tepat di belakang makam Sisingamangaraja,
ada beberapa makam keluarga dan keturunannya. Makam itu dihiasi ukiran khas
Batak yang disebut motif Gorga. Sangat unik dan berkarakter.
Karena masuk ke areal pemakaman harus
melepas alas kaki, jika siang terik begini, maka bersiaplah menikmati sensasi
panas lantai marmer yang bikin kamu terlonjak-lonjak asyik!!!
Hot Floor Dancing. Yeiyyy!!!
Tak berapa lama, penjaga makam datang
dan tersenyum ramah pada kami. Pada saat itu kami langsung bertanya, boleh apa
tidak makan siang di sini. Dia menjawab dengan santun, “Boleh... boleh, Pak, Bu! Silakan.” Kami pun berjanji akan menjaga
kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Jangan khawatir, kompleks ini
dilengkapi banyak tong sampah. Jadi tidak ada alasan untuk membuang sampah
sembarangan. Seperti motto para pertualang, “Jangan meninggalkan apa pun kecuali kenangan. Jangan mengambil
apa pun kecuali foto.” (Gitunya? Kurang yakin, sih. Hihihi. Tapi… itulah itu. You know what I
mean).
Tepat pukul dua, perut kami yang sudah
keroncongan pun dipenuhi haknya. Makan yang nikmat di bawah rimbun pohon
melambai dan angin Balige yang semilir. Banyak puppies di sekitar sini. Untuk
yang Muslim, don’t worry, puppies-nya baik-baik dan cantik-cantik. Mereka
sudah terbiasa dengan pengunjung. Mereka hanya duduk manis berderetan dengan damai
bersama para kucing untuk menanti sisa-sisa makanan darimu. They’re really good boys (or girls).
Perut sudah kenyang, lelah pun t’lah terobati. Suasana yang sejuk
membuat kami masih enggan beranjak. Aku dan suamiku berjalan berkeliling.
Ternyata di sana ada sebuah perpustakaan yang memuat buku-buku tentang
perjuangan Sisingamangaraja. Tapi sayang, kondisinya kurang terawat. Yang kami
lihat dari balik kaca jendela, hanyalah buku-buku tak terurus yang beberapa
berserakan di lantai.
Di sana, kami bertemu dengan bocah
kecil bernama Bobby. Dia orang setempat yang sedang berplesiran bersama keluarganya.
Logat bataknya sangat kental. Jarang mendengar yang sekental itu di Medan.
Kalau yang logat batak ringan, semua pun kami di Medan berlogat seperti itu.
Suamiku yang campuran Jawa Melayu sangat senang mendengar ketika dia bicara.
Maka, dia terus menerus mengutarakan pertanyaan pada si bocah tentang ini itu.
Awalnya aku agak kurang setuju dengan suamiku yang mungkin bisa mengusik
ketenangannya bermain.
Namun, saat seorang perempuan—yang kami ketahui kemudian
adalah kakak perempuan bocah kelas enam SD itu—datang untuk mengajaknya makan,
dia enggan karena masih ingin mengobrol dengan kami.
“Enak, Tulang, baca-baca di
perpustakaan itu.” Infonya tanpa diminta. Sejak awal dia memanggil suamiku
Tulang. Panggilan orang sini sebagai pengganti Om. Sementara, aku dipanggilnya
Nantulang (Nangtulang), pengganti Tante.
“Kau pernah ke sini?” tanya suamiku.
“Pernah… rame-rame kami dari sekolah.”
“Eh, coba kau baca dulu tulisan
itu!” kata suamiku sambil menunjuk
tulisan yang menggunakan aksara Batak di gerbang samping makam.
Dia tercenung sebentar.
“Hey! Nanti kubilang sama gurumu,
ya, kalo kau nggak pande. Muatan lokal kelen, kan bahasa Batak?”
Dia lantas mengangguk dan cepat menjawab, “Horas Be Ma!”
“Bagus!!!” kataku.
Masih banyak lagi percakapan yang dirangkai suamiku
dengannya, aku tak begitu mendengarkan lagi karena fokus pada yang lain.
Tak berapa lama, satu keluarga membawa ulos (kain khas suku
Batak) tiba. Aku tertarik dan mendatangi mereka. Aku pe-de aja dekat-dekat
dengan mereka. Siapa tahu bisa jadi bahan tulisanku, hehehe. Pertama-tama, aku
belum berani menyapa. Hanya mengamati saja (dari jarak aman supaya mereka tidak
terlalu jengah karena kupandangi). Mereka mengeluarkan sirih, jeruk purut dan
bunga. Pasti hendak ada sesuatu ini,
batinku. Penjaga makam pun sudah ada bersama mereka. Dia sedang mempersiapkan
peralatan yang diperlukan. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada
keluarga itu. Kalau tidak bertanya, bagaimana bisa mendapatkan informasi untuk
ditulis?
“Mau ada acara apa, Pak?”
Sang kepala keluarga yang sedang menggendong cucunya pun
menjawab, “Hanya
berziarah ke tempat Oppung”. Dia tersenyum ramah.
Aku pun mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan, setiap paskah
umat nasrani pasti mengunjungi makam keluarganya. Mereka berdoa untuk leluhur
sekaligus memohon keselamatan untuk yang masih hidup.
“Adik ini orang apa?” tanyanya lagi. Ini pertanyaan
lumrah jika kau tiba di tanah Batak dan sekitarnya. Kalau ini terjadi, jawablah
sesuai apa sukumu. Jangan takut, meskipun bukan orang Batak, yang bertanya itu
pasti masih akan sangat menghargaimu. Pertanyaan itu biasanya diajukan hanya
untuk mengetahui panggilan apa yang harus kita sematkan pada orang yang baru
kita temui itu. Jangan sampai salah panggil, ‘sinungkun ma marga’ at the first place.
“Saya orang Batak… tapi… udah campuran gitulah,” kataku menjelaskan. Karena nanti
kalau ditanya lebih lanjut tentang Batak, aku jadi nalilu alias bingung.
“Boru apa?” tanyanya lagi.
“Saragi,” jawabku kalem.
Tiba-tiba salah satu anaknya berteriak, “Ya, ampun! Sodaramu, Mak!”
Seorang perempuan setengah baya yang sedang sibuk
mempersiapkan sirih untuk ziarah, langsung menghentikan aktivitasnya. Dia
tersenyum lebar dan menyalamiku. Kalau kondisinya memungkinkan, pasti dia juga
akan memelukku. Wuah, beginilah senangnya jadi orang Batak, keluarga ada di
mana-mana. Ternyata dia Nangboru-ku. Karena dia semarga denganku. Jadi, tak
salah, kan kalau perjalananku kali ini adalah perjalanan pulang kampung?
Menantunya yang laki-laki langsung bicara padaku, “Kakak juga boleh ikut ziarah.
Tapi memang, syarat-syaratnya harus bawa sendiri.”
“Saya sudah ziarah, kok. Ya… menurut kepercayaan saya
tentunya.” AKu
tersenyum.
“Oh, iya iya… nggak apa-apa. Islam… Kristen, tapi yang pasti kita
satu Oppung,” katanya
sambil tertawa renyah.
Mereka pun memulai ritual dipandu sang
penjaga makam. Dia mengucapkan doa-doa dalam bahasa Batak yang hampir
seluruhnya, tak kupahami. (how pity I am T_T)
Untuk menjaga kekhusyukan, mengambil fotonya dari jauh
aja. Hehe. Maklum, tak punya lensa tele.
Selain T. B. Silalahi Center, Makam
Sisingamangaraja, dan banyak makam-makam dan tugu-tugu lain yang menggambarkan
sejarah suku Batak, Balige juga punya lokasi wisata yang sangat menarik. Sebagai
salah satu wilayah yang mendapat bagian tepi Danau Toba Nauli ini, tentu Balige
mempunyai tempat terbaik untuk menikmatinya. Salah satu yang paling sering
dikunjungi wisatawan adalah Lumban Silintong. Di sana banyak kafe-kafe
terapung. Bisa hanya sekadar menikmati pemandangan danau, bisa berenang di
danau, atau menikmati ikan bakar. Ikan yang diambil langsung dari Danau Toba.
Salah satu lagi yang unik di Balige,
adalah pasar tradisionalnya. Bangunan pasar terciamik yang pernah aku lihat.
Atap runcingnya menjulang tinggi. Dibuat persis seperti rumah adat Batak. Bukan
hanya satu, tapi dibuat berjajar-jajar, hingga terasa kemegahannya.
Ada cerita unik saat mobil kami melintasi pasar ini. Sesuatu
seolah hadir begitu saja di benakku. Perasaan yang sering aku alami: de javu.
Dulu aku memang pernah ke sini semasa kecil. Tapi masih kurang familiar dengan
kota ini. Perasaan yang hadir kembali itu adalah perasaan yang sangat familiar.
Karena baru-baru ini aku seolah pernah mengunjunginya. Ternyata setelah
kuingat-ingat, aku pernah mengunjunginya di dalam mimpi. Jauh dari sebelum
merencanakan perjalanan ini. Di dalam mimpi itu aku sedang berada di pasar ini
tapi dalam kondisi tidak ada orang sama sekali. Masih di dalam mimpi, setelah
dari pasar ini aku melakukan perjalanan lagi menyusuri jalan yang meliuk-liuk,
kanan-kiri ada pepohonan—lebih banyak pohon bambu. Aku mengunjungi rumah adat
Batak yang dikelilingi danau bahkan tinggal di sana. Dan asal kalian tahu,
ternyata mimpi itu semuanya menjadi kenyataan tepat pada hari ini. Hey! Aku
menyadari semua ini, ya baru sekarang, Di saat aku menuliskan kembali kisah
ini. Hal-hal seperti ini, sering terjadi pada diriku.
Lupakan masalah de javu tak pentingku itu. Kita lanjutkan. Karena waktu terbatas, maka kami hanya berkeliling saja di
Lumban Silintong. Langsung bergerak menuju Balige Dock, untuk menunggu
keberangkatan menuju Pulau Samosir. Dari pelabuhan kecil ini kita akan
menyeberang ke dermaga di Onan Runggu, Samosir. Hanya sekitar 45 menit
perjalanan. Selain kapal Ferry, juga tersedia kapal penumpang yang berangkatnya
tidak seterbatas kapal Ferry. Namun, sangat disayangkan, kondisi pelabuhan agak
jorok. Mungkin juga karena difungsikan sebagai tempat berdagang. Semoga kita
semua cepat sadar, bahwa keindahan dari Tuhan perlu juga kita jaga agar tetap
bisa dinikmati hingga anak cucu kelak. Bersih itu lebih keren, Bro!
Mommy mertua dan Bude at Balige Dock, menunggu kapal
berangkat.
Pimpro alias my husband yang sedang menikmati teh
kemasan rasa buah di atas geladak kapal sambil memikirkan ke mana akan membawa
rombongan setelah ini. Kesenangan kami ada di pundaknya. :D Sehat terus, Honey!
Muah!
Adik ipar dan istrinya, sekalian bulan madu. Ciut
cuit!!! Bahagia terus, ya sampe maut memisahkan... ;-)
Beda dengan kondisi dermaga yang
sedikit kotor, kondisi kapal sangat bersih dan terawat. Di dekat kabin kemudi,
banyak terdapat pot-pot bunga yang mampu menyejukkan mata. Dari Bude yang
sempat bertegur sapa dengan salah satu awak kapal, kami mengetahui bahwa
seluruh kru kapal berjumlah delapan orang. Semuanya memiliki sertifikasi dalam bidang
perkapalan dan pelayaran dari akademi-akademi pelayaran terakreditasi. Insyaallah,
jika Allan berhendak, perjalanan melintasi danau indah ini dijamin aman.
Tepat pukul 16.30 WIB, peluit kapal
berbunyi nyaring. Sauh diangkat. Gerimis mengiringi keberangkatan kami ke
potongan surga di depan sana. Good bye, Balige, kota sejuk yang memesona. See
you later. And… Samosir
Island, tunggu… kami
datang!!!
Medan, 03
April 2016
Jangan lupa, nantikan catatan Tiga Hari Mengelilingi Danau Toba (part 2), ya. Akan ada keseruan-keseruan di piece of paradise, Samosir Island.