MATA BIRU
Sering heran kalau lihat tingkah Betty akhir-akhir ini. Dia kawanku. Kawan
dari SD. Dulu semasa SD hingga SMP, dia biasa saja—kecuali bedak tebal yang
sering dijejalkan oleh mamaknya di wajah bulat telurnya itu. Sekarang, akibat
era globalisasi atau peredaran informasi melalui teknologi canggih yang terlalu
pesat, mungkin, buat tingkah gadis usia enam belas itu jadi macam-macam. Tak
terdefenisi. Tak terprediksi.
Aku juga enam belas tahun, tapi takaran komposisi
untuk adonan donat, mengisi hari-hariku lebih banyak ketimbang ‘mantengin’
segala sumber informasi dari dunia luar. Keluarga kami punya usaha turun
temurun, yakni toko donat paling donat di seluruh Medan. Yang boleh melakukan
penakaran komposisi harus keturunan langsung. Seperti aku ini. Jadi bisa
dipastikan aku selalu berada di dapur lebih sering dibanding tempat mana pun di
dunia ini. Termasuk, kamarku sendiri.
Suatu ketika, Betty pernah datang menemuiku dengan
kuku yang berwarna-warni. Bukan hanya warna-warni, ternyata jika diteliti lebih
dekat, di sana sudah ada aneka gambar buah-buahan.
“Frutty nail!!!”
teriaknya ceria.
“Apa nggak payah kalo
makan?”
“Lumayan, but beauty is
pain, Sweety!”
“Longor!” ujarku sadis. Betty manyun. Tapi kembali tersenyum saat memandangi
kuku-kuku di ujung jemarinya yang dia bentangkan di atas kepala.
Di hari yang lain,
misalnya waktu itu. Saat aku baru membuka celemek setelah lelah menakar terigu,
Betty datang. Dia menaik-turunkan alisnya.
“Cemana? Cantik?”
tanyanya tanpa bilang halo, hi atau assalamualaikum atau woy terlebih dahulu.
“Apanya?” kataku heran.
Sebab tak menemukan sesuatu yang baru di sekujur tubuhnya yang bisa kukomentari
dengan kata ‘cantik’. Dia memang cantik, sudah kuketahui dari dulu. Tapi, kan
tak perlu bertanya lagi. Kemungkinan besar, jika menanyakan hal itu pasti ada
yang baru. Dan ‘hal itu’ yang tak kutemukan hingga dia menggerak-gerakkan alisnya
lagi. Aku sadar, finally.
“Alismu kenapa???”
tanyaku khawatir pada garis tebal hitam kecokelatan yang kini menguasai
hampir separuh jidatnya.
“Sulam alis!!! Keren,
kan?”
“Kayaaak… Sinchan!”
“Nggak ada estetikamu!
Nggak ada rasa penghargaanmu sama pengorbanan cengiranku saat alisku dikerjai
orang salon tadi!”
“Hahaha… mahal bikin
kek gitu?”
“Mahal lah!” Dia
kembali manyun dan pergi ke dapur untuk meminta donat pada ibuku. Setelah dia
kembali dan menenteng sekantong donat cacat produksi tapi sangat layak
konsumsi, dia pun berlalu. Aku berdoa semoga dia tak kembali dengan
keanehan-keanehan yang lainnya. Minta donat adalah salah satu keanehan lain
yang dilakukan oleh anak orang kaya semacam Betty.
Doaku tak terkabul. Dia
kembali lagi hari ini. Dengan keanehan yang bikin aku jadi ling-lung seketika. Bahkan
hampir lupa resep donat turun temurun yang sudah sangat kuhapal luar kepala.
Sesuatu yang sangat kuingat dibanding bentuk matahari. Kadang aku berpikir,
jangan-jangan saat ditanyai malaikat di alam kubur nanti, aku tak bisa menjawab
apa-apa kecuali memberitahunya resep donat paling ciamik buatan toko kami. Kedatangan
Betty kali ini, membuatku nyaris hilang ingatan. Lalai arah dan tujuan.
“Kau pakai lensa kontak???”
tanyaku tak yakin. Sebab pertama, barang ini sudah ‘jadul’ baginya, tak mungkin
dia memamerkan padaku hal yang sudah pernah dipamerkannya setahun yang lalu.
Kedua, jika itu lensa kontak, tentu yang berwarna hanya bagian iris matanya saja,
tidak seluruhnya biru seperti ini. “Matamu biruuu….”
Aku bergidik. Dan Betty
mengerjap.
“Ini tato mata!” balasnya santai. “Ini semacam cairan biru yang
disuntikkan ke dalam mataku. Keren, kan?”
Tak seperti biasa, dia
duduk di sampingku. Tak seperti biasa juga, aku kehilangan kata untuk
meledeknya. Aku lemas melihat mata birunya yang menyeramkan alih-alih cantik.
“Aku lelah, Gi!”
lanjutnya. “Aku lelah menarik perhatianmu!”
Aku menoleh padanya.
Terkejut dan tak mengerti.
“Ya… segala yang
kulakukan selama ini hanya usaha agar kau mau melirikku. Tapi tak pernah
berhasil!”
Aku semakin heran.
“Kau hanya peduli pada
donat-donatmu dan… Amira… Amira si gadis cantik, beralis tebal, berkuku indah dan bermata biru itu.”
“Kau sudah baca berita,
Gi?” lanjutnya setelah beberapa detik yang diisi udara kosong. Aku menggeleng.
“Ada mayat ditemukan di
bantaran sungai Deli. Alisnya gundul, kuku-kukunya lepas dan mata birunya…
tercongkel. Keduanya!!!” Betty mengatakan ‘keduanya’ dengan nada penuh
emosional.
Aku membelalak. Tapi
mulutku tetap bungkam, tak mendapatkan ungkapan apapun lebih tepatnya.
“Aku membunuh Amira!”
gumamnya.
Suara sirine entah dari
mobil Polisi atau ambulan—tak bisa membedakan keduanya hingga sekarang—mengaburkan
kalimat terakhir Betty, tapi aku masih mendengar kalimat itu dengan jelas.
Terdengar suara ribut-ribut dari depan. Pintu ruang
tengah—tempat di mana Betty dan aku berada terbuka sempurna tak lama kemudian.
Dua orang Polisi menyapaku dan Betty dengan santun.
“Saya Betty Libua, Pak,”
jawab Betty sambil berdiri ketika salah satu dari Polisi menanyakan orang yang
bernama Betty Libua. Dia kembali menoleh padaku yang kini memasang mimik
tercekik mumi dari Mongolia.
“Gi… aku mencintaimu.
Sangat….!” Dia tunduk dan mengecup keningku, air hangat dari mata birunya
menyentuh kulitku. Rasanya seperti terbakar. Entah karena itu, atau karena
kecamuk yang ada dalam otakku.
Polisi mengait
tangannya dengan borgol sambil mengucapkan kalimat yang tak lagi bisa kudengar.
Sesuatu tentang Amira, Sungai, dan Kematian.
“Betty….” Betty sudah
menjauh dan aku masih terpancang di atas kursiku. Melirik pada foto Amira dan
Betty yang sedang berangkulan ceria. Mereka berdua sahabatku dan pada salah
satunya aku jatuh cinta. Dia itu,
“Betty…,” desisku. Aku
berlari ke pintu depan. Betty menoleh, mata birunya sedang menangis. Tubuhnya
sudah masuk ke dalam mobil Polisi. Orang-orang entah dari mana tiba-tiba saja
sudah berkumpul di halaman rumahku.
Di lantai teras, mataku
tertumbuk pada sesuatu berwarna kuning. Kuku yang patah. Milik Betty, aku tahu.
“Betty… aku juga
mencintaimu… apa adanya!”
(besambung)
Medan, 26 November 2014
2