Bagiku,
jika ingin merangkum kata lembut, kasih, sayang, cinta, pengorbanan, kuat, tulus,
tegar dan peduli dalam satu kata, maka ia akan menjadi sebuah kata yang bernama
“Ibu”. Dalam wajahnya yang oval itu,
tawa menjadi hiasan abadi yang tak mungkin dapat luntur dari ingatan kami, anak-anaknya. Sebenarnya tawanya lebih cocok
jika diterjemahkan sebagai mengekeh. Apalagi jika ia mulai menyuarakan gurauan-gurauan
yang hanya dimengerti dan ditertawai sampai kejang-kejang oleh orang yang sudah hidup berpuluh puluh-tahun bersamanya. Sebaliknya, bagi
orang yang tak begitu mengenalnya, maka candaan beliau akan menghasilkan
kernyitan di beberapa bagian di wajah, karena tak mahfum. Aku menyebutnya
dengan candaan “rooming”
:D
Mau
contoh biar lebih jelas? Rasa-rasanya kurang afdol kalau tak menyebutkan contoh
dalam menjelaskan sesuatu, maklum bawaan kebiasaan mengajar di kelas. Begini, suatu ketika, ibuku yang sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun lebih itu,
didiagnosa mengalami pengapuran di bagian pinggangnya. Adikku mengingatkan agar rajin-rajin
minum susu berkalsium tinggi. Namun
susu yang biasa dikonsumsi, buat Ibu jadi terganggu buang air besarnya, hingga
ia enggan minum susu itu lagi.
“Ya
udah,
Mak, nanti Kiki beliin susu Produgen aja ya.” (Maaf, mesti sebut merek, soalnya esensi candaannya di sini.)
Ibuku
nyeletuk dengan ringan, “Ooo…
produgen tak bersalah,
ya?”
Adikku
tertawa keras demi mendengar kata-kata
itu. “Praduga itu, Maaak!!! Bukan produgen!!! Ihhh.”
Lalu
Ibu mengekeh, ” Hehehehe!” Ya, benar! Tawanya tidak hghghg, tidak hahahaha,
tapi memang baca dengan sebenarnya huruf-huruf ini, HE HE HE HE. Biasanya paling banyak empat kali
“HE”.
Ibuku juga penggubah lagu ulung, tepatnya suka
mengubah-ubah lirik dan nada lagu yang sudah ada
menjadi lagunya sendiri. Itu terjadi karena banyak hal. Pertama, ibuku yang suka bersenandung sambil
bekerja suka tak hapal lirik meski sangat mahfum dengan nadanya. Atau yang kedua, ia merasa lagu tersebut mirip dengan
lagu yang sebelumnya pernah ia dengar sehingga dua lagu dapat digabung menjadi
satu lagu baru yang lebih Ibu banget, nyeleneh, bikin ketawa, bikin gregetan. Ia suka ngerusak
lagu dan bikin kami larak-lirik, jaga-jaga agar jangan ada orang lain
yang mendengar. Di lain waktu,
tak
jarang juga ia menyanyikan lagu dengan baik dan benar. Bahkan sangat sesuai dengan kondisi yang
sedang berlangsung. Ibarat
film, nyanyian Ibu
itu soundtrack-nya lah…. Nah, untuk kasus itu ada contoh lagi, nih.
Saat
itu adikku yang sedang kasmaran, sering mendapatkan panggilan masuk di ponselnya. Ia sering berlama-lama teleponan
sama temen deketnya itu.
Biasalah anak muda lagi madabu lope galias jatuh cinta. Sehingga setiap detik ponselnya itu suka berdering- dering, meraung- raung dan
meronta- ronta. Pada phonebook
adikku itu, temen deketnya itu disimpan dengan nama MY LOVE. Suatu ketika Ibu sedang memasak, lalu ponsel adikku itu berdering. Walau ia tak tau siapa yang menelpon, dengan sangat pede, Ibu bernyanyi merdu dan mendayu-dayu mengiringi adikku
yang berjalan menggamit ponsel di meja.
“Oooooohhh… my Looove! My darliiiiiing....”
Lagu
Ghost pun terlantun semi sempurna.
Di balik karakternya yang ceria Ibu
menyimpan segudang kisah-kisah
menyedihkan dalam hidupnya. Kisah-kisah itu seolah menggempur jiwa Ibu hingga
sempat terlebur berkeping-keping. Dan
seiring waktu kini malah mengeras menjadi sekeras baja. Ibu sudah berada dalam
taraf mampu menertawakan derita hidupnya, di saat
orang terharu biru karenanya. Ibu percaya di balik
kesusahan pasti ada kemudahan, itu janji Sang Maha Pencipta. Apa yang harus
dikhawatirkan?
Ibu
kami lahir di dalam sebuah keluarga yang sederhana. Saat ia berusia enam tahun,
beliau harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh Ayahanda tercinta untuk
selama-lamanya.
Bersama nenekku, ibunya Ibu, dan dua adik laki-lakinya yang
masih kecil-kecil,
ia menjalani hidup
dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa Kakek yang menjadi tulang punggung
keluarga selama ini. Dengan terpaksa Nenek mengambil alih tugas Kakek sebagai
pencari nafkah demi perut-perut
kecil anak-anaknya. Nenek terpaksa memberhentikan Ibu yang kala itu hampir naik
ke kelas dua SD, agar dapat menjaga kedua adiknya di rumah saat nenek harus keluar rumah
bekerja. Selain itu pun memang Nenek
tak sanggup lagi biayai Ibu bersekolah. Tentu Ibu sangat bersedih. Ia yang
sedang semangat-semangatnya belajar berhitung, membaca dan bermain mesti
menyiram sendiri dengan air es semangat yang berkobar-kobar itu demi adik-adiknya.
Walau
Nenek pontang panting
bekerja, namun seringnya penghasilan nenek tak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Ibu
dan kedua adiknya sering berkeliling sawah orang mencari talas, genjer atau
daun-daunan
lain yang bisa dimakan. Tidak sampai di situ
saja, ada sebuah kejadian yang sangat membuatku sedih sekali saat mendengar
ceritanya dari Ibu. Ia menceritakan kepada kami demi sebuah
pelajaran agar tidak menjadi manusia sombong kala kita berpunya.
Suatu
saat, Nenek
yang bekerja sebagai buruh pemetik teh itu belum menerima gaji. Namun persediaan beras sudah habis di rumah. Sementara ia dan kedua adiknya belum
makan dari pagi.
Menunggu Nenek yang baru pulang sore tak lagi
sabar mereka jalani. Lapar yang akut sudah menyerang. Akhirnya Ibu memutuskan
untuk pergi ke rumah tetangga, untuk sekedar meminjam sedikit beras dan berjanji
akan memulangkannya jika Nenek
pulang kerja nanti sore. Belum sempat Ibu mengucapkan salam, sang tetangga yang
sudah melihat kedatangan Ibu dari pintu, langsung menghardiknya dengan ketus,
“Mau
ngapain kemari??? Nggak
ada beras di sini!!!”
Sontak
Ibu menghentikan langkahnya dan berbalik lagi ke rumahnya. Maka kelaparanlah
mereka menantikan Nenek
pulang bekerja hingga sore menjelang.
Kehidupan
Ibu sedikit berubah tatkala mereka memutuskan hijrah ke kota Pariwisata
Parapat, Danau Toba. Walau tak berubah banyak namun di sini mereka tak pernah kelaparan, adik-adik
Ibu pun bisa bersekolah dengan baik. Nenek bekerja di hotel sebagai staff
laundry. Walau hanya sebagai staff laundry tapi beliau sudah berpenghasilan
tetap per bulannya. Tidak seperti buruh pemetik teh yang
penghasilannya diukur dari seberapa ia mampu mengumpulkan pucuk-pucuk teh per harinya.
Di
kota yang berudara sejuk ini, dalam latar belakang landscape pesona kecantikan Danau Toba, sebuah kisah cinta pun
bersyair lembut di hati Ibu. Ibu menemukan belahan jiwanya di sini. Seorang pria tampan, berkulit
putih dan penyabar ingin menyuntingnya sebagai pendamping hidup. Seorang pria
itu adalah ayahku, dan pria itu mungkin adalah kebahagian yang dijanjikan Allah di sebalik duka-duka
yang dialami Ibu. Dan dengan bangga kukatakan di kota menakjubkan itu pun aku
dilahirkan.
Ibu
yang bahkan tak
sempat mencicipi bangku kelas dua SD itu, t’lah mengajariku banyak hal.
Kesabaran, ketegaran, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah pelajaran
bahwa tak ada hidup yang tak ada cobaan. Hidup itu sendiri pun ujian, ujian
menuju hidup yang sebenarnya di akhirat nanti. Maka tertawa sajalah, maka
tersenyum sajalah.
Menangislah hanya
saat kau membutuhkannya, saat kepedihan itu sudah menyumbat hati dan pikiranmu. Nanti, di saat air mata keluar dari matamu, luruhkanlah
kepedihan itu bersamaan dengan air matamu yang menguap. Lalu hadirkan lagi
senyummu dan hadapilah duniamu lagi dengan semangat yang terbarukan.
Melihat
Ibu yang kini hilir mudik berjalan dengan tubuhnya yang sedikit gemuk, aku tak menemukan apapun di sana selain berton-ton kasih sayang dan cinta. Letihnya
tubuh itu, sakitnya tubuh itu hanya karena sebuah nama, KELUARGA. KAMI.
Terima
kasih Ibu, Mamakku.... Love you as always. Mom, you are nothing but love.
Medan,
di selasa pagi yang sendu, saat burung mencicit lembut di sela-sela daun jagung yang mendesir
pelan tertiup angin.
0 komentar:
Posting Komentar