Selasa, 25 November 2014

Ibu itu Cinta

Unknown


Bagiku, jika ingin merangkum kata lembut, kasih, sayang, cinta, pengorbanan, kuat, tulus, tegar dan peduli dalam satu kata, maka ia akan menjadi sebuah kata yang bernama “Ibu”.  Dalam wajahnya yang oval itu, tawa menjadi hiasan abadi yang tak mungkin dapat luntur dari ingatan kami, anak-anaknya. Sebenarnya tawanya lebih cocok jika diterjemahkan sebagai mengekeh. Apalagi jika ia mulai menyuarakan gurauan-gurauan yang hanya dimengerti dan ditertawai sampai kejang-kejang oleh orang yang sudah hidup berpuluh puluh-tahun bersamanya. Sebaliknya, bagi orang yang tak begitu mengenalnya, maka candaan beliau akan menghasilkan kernyitan di beberapa bagian di wajah, karena tak mahfum. Aku menyebutnya dengan candaan “rooming” :D

Mau contoh biar lebih jelas? Rasa-rasanya kurang afdol kalau tak menyebutkan contoh dalam menjelaskan sesuatu, maklum bawaan kebiasaan mengajar di kelas.  Begini, suatu ketika, ibuku yang sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun lebih itu, didiagnosa mengalami pengapuran di bagian pinggangnya. Adikku mengingatkan agar rajin-rajin minum susu berkalsium tinggi. Namun susu yang biasa dikonsumsi, buat Ibu jadi terganggu buang air besarnya, hingga ia enggan minum susu itu lagi.

“Ya udah, Mak, nanti Kiki beliin susu Produgen aja ya.” (Maaf, mesti sebut merek, soalnya esensi candaannya di sini.)

Ibuku nyeletuk dengan ringan, “Ooo produgen tak bersalah, ya?”

Adikku tertawa keras demi mendengar kata-kata itu. “Praduga itu, Maaak!!! Bukan produgen!!! Ihhh.

Lalu Ibu mengekeh, ” Hehehehe!” Ya, benar! Tawanya tidak hghghg, tidak hahahaha, tapi memang baca dengan sebenarnya huruf-huruf ini, HE HE HE HE. Biasanya paling banyak empat kali “HE”.

 Ibuku juga penggubah lagu ulung, tepatnya suka mengubah-ubah lirik dan nada lagu yang sudah ada menjadi lagunya sendiri. Itu terjadi karena banyak hal. Pertama, ibuku yang suka bersenandung sambil bekerja suka tak hapal lirik meski sangat mahfum dengan nadanya. Atau yang kedua, ia merasa lagu tersebut mirip dengan lagu yang sebelumnya pernah ia dengar sehingga dua lagu dapat digabung menjadi satu lagu baru yang lebih Ibu banget, nyeleneh, bikin ketawa, bikin gregetan. Ia suka ngerusak lagu dan bikin kami larak-lirik, jaga-jaga agar jangan ada orang lain yang mendengar. Di lain waktu, tak jarang juga ia menyanyikan lagu dengan baik dan benar. Bahkan sangat sesuai dengan kondisi yang sedang berlangsung. Ibarat film, nyanyian Ibu itu soundtrack-nya lah…. Nah, untuk kasus itu ada contoh lagi, nih.

Saat itu adikku yang sedang kasmaran, sering mendapatkan panggilan masuk di ponselnya. Ia sering berlama-lama teleponan sama temen deketnya itu. Biasalah anak muda lagi madabu lope galias jatuh cinta. Sehingga setiap detik ponselnya itu suka berdering- dering, meraung- raung dan meronta- ronta. Pada phonebook adikku itu, temen deketnya itu disimpan dengan nama MY LOVE. Suatu ketika Ibu sedang memasak, lalu ponsel adikku itu berdering. Walau ia tak tau siapa yang menelpon, dengan sangat pede, Ibu bernyanyi merdu dan mendayu-dayu mengiringi adikku yang  berjalan menggamit ponsel di meja.

“Oooooohhh my Looove! My darliiiiiing....  Lagu Ghost pun terlantun semi sempurna.

Di balik karakternya yang ceria Ibu menyimpan segudang kisah-kisah menyedihkan dalam hidupnya. Kisah-kisah itu seolah menggempur jiwa Ibu hingga sempat terlebur berkeping-keping.  Dan seiring waktu kini malah mengeras menjadi sekeras baja. Ibu sudah berada dalam taraf mampu menertawakan derita hidupnya, di saat orang terharu biru karenanya. Ibu percaya di balik kesusahan pasti ada kemudahan, itu janji Sang Maha Pencipta. Apa yang harus dikhawatirkan?

Ibu kami lahir di dalam sebuah keluarga yang sederhana. Saat ia berusia enam tahun, beliau harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh Ayahanda tercinta untuk selama-lamanya. Bersama nenekku, ibunya Ibu, dan dua adik laki-lakinya yang masih kecil-kecil, ia menjalani hidup dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa Kakek yang menjadi tulang punggung keluarga selama ini. Dengan terpaksa Nenek mengambil alih tugas Kakek sebagai pencari nafkah demi perut-perut kecil anak-anaknya. Nenek terpaksa memberhentikan Ibu yang kala itu hampir naik ke kelas dua SD, agar dapat menjaga kedua adiknya di rumah saat nenek harus keluar rumah bekerja. Selain itu pun memang Nenek tak sanggup lagi biayai Ibu bersekolah. Tentu Ibu sangat bersedih. Ia yang sedang semangat-semangatnya belajar berhitung, membaca dan bermain mesti menyiram sendiri dengan air es semangat yang berkobar-kobar itu demi adik-adiknya. 

Walau Nenek pontang panting bekerja, namun seringnya penghasilan nenek tak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Ibu dan kedua adiknya sering berkeliling sawah orang mencari talas, genjer atau daun-daunan lain yang bisa dimakan. Tidak sampai di situ saja, ada sebuah kejadian yang sangat membuatku sedih sekali saat mendengar ceritanya dari Ibu. Ia menceritakan kepada kami demi sebuah pelajaran agar tidak menjadi manusia sombong kala kita berpunya. 

Suatu saat, Nenek yang bekerja sebagai buruh pemetik teh itu belum menerima gaji. Namun persediaan beras sudah habis di rumah. Sementara ia dan kedua adiknya belum makan dari pagi. Menunggu Nenek yang baru pulang sore tak lagi sabar mereka jalani. Lapar yang akut sudah menyerang. Akhirnya Ibu memutuskan untuk pergi ke rumah tetangga, untuk sekedar meminjam sedikit beras dan berjanji akan memulangkannya jika Nenek pulang kerja nanti sore. Belum sempat Ibu mengucapkan salam, sang tetangga yang sudah melihat kedatangan Ibu dari pintu, langsung menghardiknya dengan ketus,

“Mau ngapain kemari??? Nggak ada beras di sini!!!”

Sontak Ibu menghentikan langkahnya dan berbalik lagi ke rumahnya. Maka kelaparanlah mereka menantikan Nenek pulang bekerja hingga sore menjelang.

Kehidupan Ibu sedikit berubah tatkala mereka memutuskan hijrah ke kota Pariwisata Parapat, Danau Toba. Walau tak berubah banyak namun di sini mereka tak pernah kelaparan, adik-adik Ibu pun bisa bersekolah dengan baik. Nenek bekerja di hotel sebagai staff laundry. Walau hanya sebagai staff laundry tapi beliau sudah berpenghasilan tetap per bulannya. Tidak seperti buruh pemetik teh yang penghasilannya diukur dari seberapa ia mampu mengumpulkan pucuk-pucuk teh per harinya.

Di kota yang berudara sejuk ini, dalam latar belakang landscape pesona kecantikan Danau Toba, sebuah kisah cinta pun bersyair lembut di hati Ibu. Ibu menemukan belahan jiwanya di sini. Seorang pria tampan, berkulit putih dan penyabar ingin menyuntingnya sebagai pendamping hidup. Seorang pria itu adalah ayahku, dan pria itu mungkin adalah kebahagian yang dijanjikan Allah di sebalik duka-duka yang dialami Ibu. Dan dengan bangga kukatakan di kota menakjubkan itu pun aku dilahirkan.

Ibu yang bahkan tak sempat mencicipi bangku kelas dua SD itu, t’lah mengajariku banyak hal. Kesabaran, ketegaran, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah pelajaran bahwa  tak ada hidup yang tak ada cobaan. Hidup itu sendiri pun ujian, ujian menuju hidup yang sebenarnya di akhirat nanti. Maka tertawa sajalah, maka tersenyum sajalah. Menangislah hanya saat kau membutuhkannya, saat kepedihan itu sudah menyumbat hati dan pikiranmu. Nanti, di saat air mata keluar dari matamu, luruhkanlah kepedihan itu bersamaan dengan air matamu yang menguap. Lalu hadirkan lagi senyummu dan hadapilah duniamu lagi dengan semangat yang terbarukan.

Melihat Ibu yang kini hilir mudik berjalan dengan tubuhnya yang sedikit gemuk, aku tak menemukan apapun di sana selain berton-ton kasih sayang dan cinta. Letihnya tubuh itu, sakitnya tubuh itu hanya karena sebuah nama, KELUARGA. KAMI.

Terima kasih Ibu, Mamakku.... Love you as always. Mom, you are nothing but love.


Medan, di selasa pagi yang sendu, saat burung mencicit lembut di sela-sela daun jagung yang mendesir pelan tertiup angin.

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes