Review Novel
Judul Novel : Knife
Penulis :
Lindsay Lov’
Penerbit : Mediakita
Tahun Cetak : 2014
DARI sampul buku dan judulnya, kita
sudah tahu pasti bahwa novel ini bercerita tentang pembunuhan. Di halaman
pertama, pembaca akan terkecoh dengan kejadian pencurian kecil di sekolah. Yang
ternyata itu hanya semacam pembuka sebagai pengenalan karakter kembar pasangan
Alex dan Alexa. Kedua detektif remaja yang biasanya hanya menangani kasus
kehilangan barang ini bakal dihadapkan dengan kasus rumit yang membuat mereka
sangat tertantang: pembunuhan berantai di sekolah. Bekerja sama dengan Pak
Hendra, penyidik dari Kepolisian Pematang Siantar yang tak lain tak bukan
adalah paman mereka sendiri, akan menguak sedikit demi sedikit siapa sebenarnya
pembunuh berdarah dingin itu.
Keistimewaan
novel ini adalah kemampuan penulis menggiring pembaca untuk selalu merasa
penasaran. Plot dan alur atau rangkaian kejadian per kejadian, membuat pembaca
enggan menutup novel, tak rela melanjutkan hingga esok. Setiap bab berisikan
tentang adegan-adegan pembunuhan yang… penuh darah! Keji! Dan… menguras emosi.
Dan kesemua bab diakhiri dengan pertanyaan, siapa yang tega membunuh dengan
cara sesadis itu?
Pelbagai
ketegangan-ketegangan yang disajikan dalam irama lincah oleh si penulis,
membuat kita tahu-tahu sudah sampai di akhir cerita. Dan… Zap! Twist! Pembaca
pun terperangah, “Jadi pembunuhnya ini, toh!!! Bukan yang kucurigai sejak awal
tadi. Kurang ajar!” Semua rangkaian peristiwa logis. Masuk akal. Hal yang perlu
ada di novel-novel thriller.
Kutipan-kutipan
keren di tiap bab juga menjadi hal yang sangat menarik, seperti, ‘Ketika ia datang,
ternyata ia telah lama pergi’ atau ‘Adalah ruang di dalam jiwa yang membunuhmu
hingga mati.’ Bikin merinding, kan?
Namun,
seperti layaknya kehidupan di muka bumi, setiap hal pastinya ada kekurangan.
Begitu pun novel ini. Untuk novel yang terbit di bawah payung penerbit mayor,
bisa dibilang typo (kesalahan ketik) yang ada masih terlalu banyak. Untung bisa
termaafkan dengan cerita seru yang disajikan.
Yang
kedua adalah adanya beberapa penjelasan-penjelasan kecil yang kurang perlu.
Mungkin penulis bermaksud agar pembaca lebih memahami. Tapi akhirnya malah jadi
blunder. Misalnya, kenapa salah satu
karakter bernama Windy yang terlihat paling lemah kemudian bisa dengan
gampangnya dibawa ‘sang pembunuh’ ke suatu tempat dan mengira dia adalah
seseorang yang lain? Dalam hal ini, pembaca sudah bisa mengikuti mengapa Windy
mengalami guncangan kejiwaan. Jadi penjelasan di akhir, menurut saya sudah
tidak diperlukan lagi. Dan ada beberapa hal lain yang mirip-mirip dengan itu. Seperti
misalnya penjelasan-penjelasan ulang di buku diary sang pembunuh.
Well, overall, untuk sebuah novel perdana
ini sudah amat sangat bagus sekali. Salut sekali buat penulisnya. Pasti
dibutuhkan mental dan komitmen baja untuk menghasilkan sebuah novel keren
seperti ini. Ditunggu karya-karya berikutnya, ya. Seperti yang aku katakan “You’re
Rock!”
Medan, 17 September 2015
6