Selasa, 17 Maret 2015

Di Suatu Tempat. (A Novel for Fun)

Unknown

2


AKU terbangun di atas sesuatu yang lembut dan dingin. Tanganku merabanya. Dan syukurlah aku masih punya tangan. Pandanganku masih kabur saat aku melihat wajah yang…

            “Bangun!” hardiknya kejam dari bibirnya yang merah dan lebar. Kenapa orang ini punya mulut yang lebar sekali? Semua giginya hitam dan runcing seperti paku. Dan astaga… saat pandanganku sudah mulai membaik, aku baru sadar kalau orang ini tak punya hidung. Mulutnya menguasai hampir separuh wajahnya yang membiru. Matanya yang seluruhnya hitam menatapku tajam. Rambut panjangnya terurai kusut hingga menutupi telinga dan sebagian pipinya.

            Aku beringsut mundur, “Si… siapa kau?”

            “Nggak perlu memasang wajah ketakutan begitu. Kau juga hantu, tak ubahnya denganku. Paham?” Dia melipat tangannya dan membuang wajahnya. Tampaknya Dia tersinggung dengan sikapku yang melihatnya bagai melihat hantu. Yeah, mau dikata apa? Dia memang mengerikan. Dan… what? Aku hantu?

            “Apa… maksudmu?” tanyaku heran. Lama kelamaan, aku terbiasa melihat wajahnya yang berantakan itu. Dan rasa takut yang biasanya aku alami saat melihat sesuatu yang mengerikan, sirna begitu saja. Di dadaku tak ada debar sedikit pun. Semua terasa normal saja. Tak ada beda rasanya dengan bicara pada teman sekelasmu.

            “Bangunlah… aku Lara, seniormu di sini. Ayo, biar kuajak melihat-lihat sekeliling.”

            “Senior? Ini di mana?”

            “Oh, maaf… aku lupa standar operasionalnya. Yap! Ucapkan salam!” katanya dan kemudian berdehem. “Selamat datang di Sekolah Hantu Sektor C.”

            Aku berusaha untuk membangunkan diriku. Ini pasti mimpi. Aku memejamkan mata. Membukanya lagi. Pejam. Buka. Pejam. Buka. Tapi perempuan konyol berwajah mengerikan ini masih di hadapanku. Memandangi kuku-kuku panjang hitamnya yang keriting.

            “Kenapa kau kedip-kedip begitu? Kena sawan?” tanyanya.

            “Aku… ini hanya mimpi, kan?”

            “Emangnya dalam mimpimu kau pernah menanyakan pertanyaan itu?”

            Aku berpikir. Dan jawabannya adalah tak pernah. Hal yang sering kurasakan adalah ketika aku mengalami mimpi buruk, maka akan terbangun dengan sendirinya. Tanpa terlebih dahulu membuat dialog dengan lawan bicaraku di dalam mimpi hal semacam, “Ini hanya mimpi, kan?” Shit. Jadi ini bukan mimpi?

            “Oh, ya… aku lupa lagi. Orang baru sepertimu pasti tak sadar kalau sudah mati. Ya… kuberitahu, kau sudah mati. Dan kau resmi menjadi hantu. Pemerintahan hantu telah memutuskan mengirimkan hantu ABG sepertimu ke Sekolah Hantu Sektor C ini. Dan mereka menetapkan akulah senior yang akan mendampingimu sampai satu bulan ke depan. Hehe.” Ia terkekeh dan aku ingin pingsan. Dia berbicara lagi, “Bagaimana penampilanku? Aku menghapal itu berhari-hari. Sulit bagi hantu yang saat mati kehilangan banyak cairan otaknya untuk menghapal begitu banyak kalimat. Fuih… tapi itu standar penyambutan murid baru. Aku harus bersedia menghapalnya, sudah lama aku menginginkan jabatan sebagai pendamping murid baru. Itu keren!”

            Sumpah! Aku tak peduli dengan penampilannya. Tak peduli pada cita-citanya dan tak peduli pada cairan otaknya yang sudah hilang. Aku hanya peduli pada diriku. Aku sudah mati? Aku memandang tubuhku. Aku masih mengenakan bajuku, kaos oblong biru dan celana jeans yang robek di lutut. Sumpah, tadinya tak robek dan itu bukan bagian fashion. Sepatu kanvas merahku juga masih membalut kakiku. Bedanya, tanganku lebih pucat dan terasa lebih ringan. Dan yang paling aneh dari segalanya, tubuhku transparan.

            “Aku sudah mati?” tanyaku tak percaya. Masih terus memandangi dua tanganku. Aku mencoba memegang pergelangan tanganku yang dingin. Tak ada denyut nadi.

            “Eh… eh… eh… tolong jangan persulit aku. Jangan jadi hantu yang tak bisa menerima kenyataan. Karena semuanya bisa menyirnakan keinginanku untuk menjadi senior terbaik. Kalau kau sampai jadi hantu gila, kau akan dikirim ke bagian psikologi hantu di Rumah Sakit Hantu Sektor C. Itu mengerikan untuk karirku!”

            “Peduli apa dengan karirmu, Hantu Bodoh!” teriakku. Setelahnya aku menyesal, karena ia memandangiku tajam. Mulut lebarnya menganga. Seperti hendak menelan kepalaku bulat-bulat. Aku sudah mulai lari sebelum mendengarnya menangis keras.

            “Huwaaa!!!”

            Aku menarik napas. Tapi tak terasa udara yang kutarik dan tak merasakan udara mengalir keluar. Hanya gerakan tanpa udara.

            “Seharusnya kau yang dikirim ke Rumah Sakit Hantu Sektor C!” dengusku kesal. “Baiklah lakukan tugasmu. Aku akan baik-baik saja.”

            Dia mengangkat wajahnya yang basah. Airmatanya kuning dan pekat. Seperti cairan kental nanah yang menjijikkan. Aku ingin muntah.

            “Kumohon… jangan pernah menangis di hadapanku lagi!” ujarku sambil terus menerus ingin merasakan mual yang kemudian tiba-tiba hilang. Entahlah, cairan menjijikkan dari hantu ini tak lagi membuatku jijik di detik berikutnya. Sama cepatnya dengan menghilangnya rasa takutku saat pertama kali melihatnya tadi.

            Mulutnya melebar… tapi tak lagi seperti hendak mengunyah seseorang. Mungkin dia sedang tersenyum. Aku mengikutinya sambil memperhatikan sekeliling. Ruangan—atau tempat apa pun ini sebutannya—didominasi oleh warna hitam. Kecuali tempat aku menjejakkan kaki. Kami berdiri di sesuatu yang menyerupai awan putih tapi keras sehingga bisa dipijak. Atau bisa jadi tubuh kami yang terlalu ringan sehingga awan tipis ini bisa menyokong berat badan kami. Entahlah.

            Lara mengajakku turun melalui tangga yang juga menyerupai awan tipis. Aku bisa melihat warna hitam seperti suasana di sekelilingku tersibak di sela-selanya. Dan jelas… ini bukan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Bahkan tidak di alam mimpi. Dan… tiba-tiba jiwaku serasa hampa. Benarkah aku sudah mati? Aku mati? Aku mati! Aku jadi hantu!!!

            “TIDAAAKKK!!!” Aku menjerit histeris dan menangis. Aku terjatuh dan terguling-guling dari tangga. Aku melihat Lara melayang di atasku. Ia menyeringai.

            “Ah… terpaksa bawa ke rumah sakit, nih!” ujarnya sebelum aku tak sadarkan diri. PINGSAN. 

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes