1
Dalam kepalaku, seperti ada arus air yang
berputar-putar dengan sangat kencang. Aku bisa mendengar derunya. Bergemuruh
seperti suara air jeruk yang diblender. Tak lama, rasa sakit menyerangku secara
membabibuta. Sebagian yang menyerang malahan babi melek yang otaknya sudah
dijangkiti semacam virus. Virus langka yang bikin babi menjadi semakin sadis. Babi
itu tak lagi berperikebabian. Menatap makhluk lain menjadi mangsa yang harus
diserang. Kenapa jadi ngomongin babi bervirus, sih? Boneka babi, aku mau….
(kedip manja).
Rasa sakit itu menyebar. Mulai dari leher, dada, perut
hingga ujung jempol kaki. Aku mengejang. Ya, gerakan kaku seperti kain kering
sehabis direndam oleh semen. Setelah semua anggota tubuh rata kebagian sakit.
Lama kelamaan perih itu hilang. Berganti dengan kondisi seperti ditimpa sesuatu
yang sangat berat. Amat sangat berat. Mungkin lebih berat dari seribu Pak
Choir, guru seni di sekolahku. Pak Choir itu guruku yang paling gemuk. Mungkin
beratnya sekitar seratus lima puluh kilogram. Menurutku, sih lebih. Karena
bokongnya pernah nggak bisa keluar dari kursi saat hendak berdiri. Banyak kursi
guru telah rusak olehnya. Ada yang patah. Atau minimal retak di bagian tepi.
Akhirnya kepala sekolah punya ide. Ide yang egois kalau menurutku. Tapi ekonomis—bagi
pihak sekolah, bukan bagi Pak Choir. Pak Choir harus membawa kursi miliknya
sendiri ke mana-mana. Jadi, kalau guru lain hanya datang membawa tas dan media
pembelajaran. Maka, Pak Choir ditambah satu benda. Kursi lipat tanpa penyangga
tangan. Kenapa jadi ngomongin Pak Choir? Semoga Allah melindungimu, Pak.
Pak Choir, eh… beban berat itu tak mau enyah, hingga
kira-kira beberapa menit ke depan. Napasku sesak. Atau… aku merasakan seperti
nggak bernapas sama sekali. Ingin aku menggeliut, agar beban berat itu
bergeser. Tapi nggak bisa. Menggerakkan satu jari pun tak kuasa. Tubuhku
terkunci. Ada rasa seperti terbakar di dadaku. Tapi hanya sekejap. Selepas itu
tubuhku menjadi ringan. Sangat ringan hingga aku merasa bisa terbang sekarang.
Dan aku memang terbang, bukan sesuai keinginanku. Melainkan karena ada sesuatu
yang mendorongku ke atas. Kejadiannya seperti bulu angsa yang diembus angin
bertiup. Bulu angsa itu mungkin nggak mau terbang, tapi angin ingin.
Aku melayang dan sudah berada sekitar satu meter di
atas tanah. Padahal, sekali lagi, aku sama sekali nggak pengin terbang. Dan
seharusnya, aku lebih heran pada kenyataan kenapa bisa terbang?! Bukan
mempermasalahkan aku yang ingin terbang apa enggak. Aku manusia! Seyogianya
nggak bisa terbang tanpa alat bantu, kan woy?
Aku melihat ke bawah. Kini jarakku dengan tanah, sudah
sekitar tiga meter atau bahkan lebih. Karena aku bisa melihat segala sesuatu di
bawah sana hingga radius dua puluh meter. Di sana ada asap hitam yang mengepul.
Dari sebuah benda yang terbakar. Benda itu seperti mobil yang posisinya ganjil.
Keempat bannya berada di atas. Bulat-bulat kecil kehitaman, berada jauh di
sekelilingnya. Itu kepala orang-orang yang menonton. Ingin tahu. Hanya ingin
tahu, dengan kecil kemungkinan ingin bantu. Tapi, apa yang bisa dibantu dari
mobil terbakar ringsek begitu?
Aku masih nggak tahu berapa lama, sesuatu—bisa jadi
angin, lift, kerekan atau apapun—yang membawaku ke atas ini. Aku sempat
memeriksa kuku yang cobel dan mengigitnya. Tiduran dalam kondisi melayang,
tentunya. Dan berkhayal konser di depan ribuan penggemar yang menjerit-jerit
histeris. Beberapa menit sekali aku melirik ke bawah. Lirikan pertama, aku
melihat atap rumah dan gedung-gedung yang semakin kecil. Lirikan kedua,
semuanya terlihat semakin jauh. Lirikan ketiga, aku memandang pelataran lebar
yang didominasi warna hijau dan cokelat. Lirikan keempat, aku melihat pulau
yang dikelilingi air laut berwarna biru. Pada lirikan keempat aku terlompat dan
hampir kehilangan keseimbangan saking kagetnya. Tapi aku nggak jatuh. Aku sudah
terbang sejauh ini? (Masa, sih jauh?)
Aku berusaha tenang pada awalnya. Tahap-tahap lirikan
ke bawah yang sudah kulalui memiliki level kengerian yang berbeda-beda. Lirikan
pertama, aku bisa tenang—lebih ke menikmati sensasi bisa terbang. Lirikan
kedua, agak kalut. Lirikan ketiga agak kalut campur takut. Lirikan keempat
kaget bukan kepalang. Kini, aku takut melihat ke bawah. Sekelilingku yang
tadinya terang telah berubah jadi gelap. Tapi biar bagaimanapun aku harus
melihat ke bawah. Memastikan sudah sampai di mana aku sekarang.
Perlahan tapi pasti, kuputar kepalaku. Dan… jreng!!!
Aku melihat separuh permukaan bumi yang bulat. Beberapa sisi diselaputi awan
tipis. Hijau, cokelat dan biru mendominasi. Kali ini, aku nggak tau. Harus
terkejut atau pingsan dulu. Pada saat memikirkan hendak melakukan apa,
tiba-tiba tubuhku ditarik. Tepatnya disedot! Ada angin bertenaga super yang
mengisap diriku. Aku bagai debu yang diisap Vacum Cleaner yang bisa didapat
dari memesan melalui sms atau telepon. Dengan harga tak genap, yang selalu
berakhir dengan angka sembilan, sembilan, sembilan.
Tubuhku berputar-putar di pusaran angin. Rasanya lebih
mengerikan dari naik rollercoaster
yang diputar seratus kali lebih cepat. Anggota tubuhku bagai tercerabut dari
tempatnya. Aku nggak bisa merasakan mana tangan, mana kepala. Mana kaki, mana
jantungku. Semuanya seolah menyatu menjadi gumpalan tubuh jelek. Seharusnya aku
sudah merasa pusing. Tapi mungkin rasa sakitnya sudah melebihi pusing. Jadi aku
hanya merasakan semacam kejang di bagian kepalaku yang entah di mana itu. Aku
pengin memuntahkan sesuatu, tapi… perutku juga entah di mana.
0 komentar:
Posting Komentar