Selasa, 17 Maret 2015

Di Suatu Tempat. (A novel for fun)

Unknown

1


Dalam kepalaku, seperti ada arus air yang berputar-putar dengan sangat kencang. Aku bisa mendengar derunya. Bergemuruh seperti suara air jeruk yang diblender. Tak lama, rasa sakit menyerangku secara membabibuta. Sebagian yang menyerang malahan babi melek yang otaknya sudah dijangkiti semacam virus. Virus langka yang bikin babi menjadi semakin sadis. Babi itu tak lagi berperikebabian. Menatap makhluk lain menjadi mangsa yang harus diserang. Kenapa jadi ngomongin babi bervirus, sih? Boneka babi, aku mau…. (kedip manja).

Rasa sakit itu menyebar. Mulai dari leher, dada, perut hingga ujung jempol kaki. Aku mengejang. Ya, gerakan kaku seperti kain kering sehabis direndam oleh semen. Setelah semua anggota tubuh rata kebagian sakit. Lama kelamaan perih itu hilang. Berganti dengan kondisi seperti ditimpa sesuatu yang sangat berat. Amat sangat berat. Mungkin lebih berat dari seribu Pak Choir, guru seni di sekolahku. Pak Choir itu guruku yang paling gemuk. Mungkin beratnya sekitar seratus lima puluh kilogram. Menurutku, sih lebih. Karena bokongnya pernah nggak bisa keluar dari kursi saat hendak berdiri. Banyak kursi guru telah rusak olehnya. Ada yang patah. Atau minimal retak di bagian tepi. Akhirnya kepala sekolah punya ide. Ide yang egois kalau menurutku. Tapi ekonomis—bagi pihak sekolah, bukan bagi Pak Choir. Pak Choir harus membawa kursi miliknya sendiri ke mana-mana. Jadi, kalau guru lain hanya datang membawa tas dan media pembelajaran. Maka, Pak Choir ditambah satu benda. Kursi lipat tanpa penyangga tangan. Kenapa jadi ngomongin Pak Choir? Semoga Allah melindungimu, Pak.

Pak Choir, eh… beban berat itu tak mau enyah, hingga kira-kira beberapa menit ke depan. Napasku sesak. Atau… aku merasakan seperti nggak bernapas sama sekali. Ingin aku menggeliut, agar beban berat itu bergeser. Tapi nggak bisa. Menggerakkan satu jari pun tak kuasa. Tubuhku terkunci. Ada rasa seperti terbakar di dadaku. Tapi hanya sekejap. Selepas itu tubuhku menjadi ringan. Sangat ringan hingga aku merasa bisa terbang sekarang. Dan aku memang terbang, bukan sesuai keinginanku. Melainkan karena ada sesuatu yang mendorongku ke atas. Kejadiannya seperti bulu angsa yang diembus angin bertiup. Bulu angsa itu mungkin nggak mau terbang, tapi angin ingin.

Aku melayang dan sudah berada sekitar satu meter di atas tanah. Padahal, sekali lagi, aku sama sekali nggak pengin terbang. Dan seharusnya, aku lebih heran pada kenyataan kenapa bisa terbang?! Bukan mempermasalahkan aku yang ingin terbang apa enggak. Aku manusia! Seyogianya nggak bisa terbang tanpa alat bantu, kan woy?

Aku melihat ke bawah. Kini jarakku dengan tanah, sudah sekitar tiga meter atau bahkan lebih. Karena aku bisa melihat segala sesuatu di bawah sana hingga radius dua puluh meter. Di sana ada asap hitam yang mengepul. Dari sebuah benda yang terbakar. Benda itu seperti mobil yang posisinya ganjil. Keempat bannya berada di atas. Bulat-bulat kecil kehitaman, berada jauh di sekelilingnya. Itu kepala orang-orang yang menonton. Ingin tahu. Hanya ingin tahu, dengan kecil kemungkinan ingin bantu. Tapi, apa yang bisa dibantu dari mobil terbakar ringsek begitu?

Aku masih nggak tahu berapa lama, sesuatu—bisa jadi angin, lift, kerekan atau apapun—yang membawaku ke atas ini. Aku sempat memeriksa kuku yang cobel dan mengigitnya. Tiduran dalam kondisi melayang, tentunya. Dan berkhayal konser di depan ribuan penggemar yang menjerit-jerit histeris. Beberapa menit sekali aku melirik ke bawah. Lirikan pertama, aku melihat atap rumah dan gedung-gedung yang semakin kecil. Lirikan kedua, semuanya terlihat semakin jauh. Lirikan ketiga, aku memandang pelataran lebar yang didominasi warna hijau dan cokelat. Lirikan keempat, aku melihat pulau yang dikelilingi air laut berwarna biru. Pada lirikan keempat aku terlompat dan hampir kehilangan keseimbangan saking kagetnya. Tapi aku nggak jatuh. Aku sudah terbang sejauh ini? (Masa, sih jauh?)

Aku berusaha tenang pada awalnya. Tahap-tahap lirikan ke bawah yang sudah kulalui memiliki level kengerian yang berbeda-beda. Lirikan pertama, aku bisa tenang—lebih ke menikmati sensasi bisa terbang. Lirikan kedua, agak kalut. Lirikan ketiga agak kalut campur takut. Lirikan keempat kaget bukan kepalang. Kini, aku takut melihat ke bawah. Sekelilingku yang tadinya terang telah berubah jadi gelap. Tapi biar bagaimanapun aku harus melihat ke bawah. Memastikan sudah sampai di mana aku sekarang.

Perlahan tapi pasti, kuputar kepalaku. Dan… jreng!!! Aku melihat separuh permukaan bumi yang bulat. Beberapa sisi diselaputi awan tipis. Hijau, cokelat dan biru mendominasi. Kali ini, aku nggak tau. Harus terkejut atau pingsan dulu. Pada saat memikirkan hendak melakukan apa, tiba-tiba tubuhku ditarik. Tepatnya disedot! Ada angin bertenaga super yang mengisap diriku. Aku bagai debu yang diisap Vacum Cleaner yang bisa didapat dari memesan melalui sms atau telepon. Dengan harga tak genap, yang selalu berakhir dengan angka sembilan, sembilan, sembilan.

Tubuhku berputar-putar di pusaran angin. Rasanya lebih mengerikan dari naik rollercoaster yang diputar seratus kali lebih cepat. Anggota tubuhku bagai tercerabut dari tempatnya. Aku nggak bisa merasakan mana tangan, mana kepala. Mana kaki, mana jantungku. Semuanya seolah menyatu menjadi gumpalan tubuh jelek. Seharusnya aku sudah merasa pusing. Tapi mungkin rasa sakitnya sudah melebihi pusing. Jadi aku hanya merasakan semacam kejang di bagian kepalaku yang entah di mana itu. Aku pengin memuntahkan sesuatu, tapi… perutku juga entah di mana.

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes