2
AKU terbangun di atas sesuatu yang lembut dan dingin.
Tanganku merabanya. Dan syukurlah aku masih punya tangan. Pandanganku masih
kabur saat aku melihat wajah yang…
“Bangun!”
hardiknya kejam dari bibirnya yang merah dan lebar. Kenapa orang ini punya
mulut yang lebar sekali? Semua giginya hitam dan runcing seperti paku. Dan
astaga… saat pandanganku sudah mulai membaik, aku baru sadar kalau orang ini
tak punya hidung. Mulutnya menguasai hampir separuh wajahnya yang membiru.
Matanya yang seluruhnya hitam menatapku tajam. Rambut panjangnya terurai kusut
hingga menutupi telinga dan sebagian pipinya.
Aku
beringsut mundur, “Si… siapa kau?”
“Nggak
perlu memasang wajah ketakutan begitu. Kau juga hantu, tak ubahnya denganku.
Paham?” Dia melipat tangannya dan membuang wajahnya. Tampaknya Dia tersinggung
dengan sikapku yang melihatnya bagai melihat hantu. Yeah, mau dikata apa? Dia
memang mengerikan. Dan… what? Aku hantu?
“Apa…
maksudmu?” tanyaku heran. Lama kelamaan, aku terbiasa melihat wajahnya yang
berantakan itu. Dan rasa takut yang biasanya aku alami saat melihat sesuatu
yang mengerikan, sirna begitu saja. Di dadaku tak ada debar sedikit pun. Semua terasa
normal saja. Tak ada beda rasanya dengan bicara pada teman sekelasmu.
“Bangunlah…
aku Lara, seniormu di sini. Ayo, biar kuajak melihat-lihat sekeliling.”
“Senior?
Ini di mana?”
“Oh,
maaf… aku lupa standar operasionalnya. Yap! Ucapkan salam!” katanya dan
kemudian berdehem. “Selamat datang di Sekolah Hantu Sektor C.”
Aku
berusaha untuk membangunkan diriku. Ini pasti mimpi. Aku memejamkan mata.
Membukanya lagi. Pejam. Buka. Pejam. Buka. Tapi perempuan konyol berwajah
mengerikan ini masih di hadapanku. Memandangi kuku-kuku panjang hitamnya yang
keriting.
“Kenapa
kau kedip-kedip begitu? Kena sawan?” tanyanya.
“Aku…
ini hanya mimpi, kan?”
“Emangnya
dalam mimpimu kau pernah menanyakan pertanyaan itu?”
Aku
berpikir. Dan jawabannya adalah tak pernah. Hal yang sering kurasakan adalah
ketika aku mengalami mimpi buruk, maka akan terbangun dengan sendirinya. Tanpa
terlebih dahulu membuat dialog dengan lawan bicaraku di dalam mimpi hal
semacam, “Ini hanya mimpi, kan?” Shit.
Jadi ini bukan mimpi?
“Oh,
ya… aku lupa lagi. Orang baru sepertimu pasti tak sadar kalau sudah mati. Ya…
kuberitahu, kau sudah mati. Dan kau resmi menjadi hantu. Pemerintahan hantu
telah memutuskan mengirimkan hantu ABG sepertimu ke Sekolah Hantu Sektor C ini.
Dan mereka menetapkan akulah senior yang akan mendampingimu sampai satu bulan
ke depan. Hehe.” Ia terkekeh dan aku ingin pingsan. Dia berbicara lagi,
“Bagaimana penampilanku? Aku menghapal itu berhari-hari. Sulit bagi hantu yang
saat mati kehilangan banyak cairan otaknya untuk menghapal begitu banyak
kalimat. Fuih… tapi itu standar penyambutan murid baru. Aku harus bersedia
menghapalnya, sudah lama aku menginginkan jabatan sebagai pendamping murid
baru. Itu keren!”
Sumpah!
Aku tak peduli dengan penampilannya. Tak peduli pada cita-citanya dan tak
peduli pada cairan otaknya yang sudah hilang. Aku hanya peduli pada diriku. Aku
sudah mati? Aku memandang tubuhku. Aku masih mengenakan bajuku, kaos oblong
biru dan celana jeans yang robek di lutut. Sumpah, tadinya tak robek dan itu
bukan bagian fashion. Sepatu kanvas merahku juga masih membalut kakiku.
Bedanya, tanganku lebih pucat dan terasa lebih ringan. Dan yang paling aneh
dari segalanya, tubuhku transparan.
“Aku
sudah mati?” tanyaku tak percaya. Masih terus memandangi dua tanganku. Aku
mencoba memegang pergelangan tanganku yang dingin. Tak ada denyut nadi.
“Eh…
eh… eh… tolong jangan persulit aku. Jangan jadi hantu yang tak bisa menerima
kenyataan. Karena semuanya bisa menyirnakan keinginanku untuk menjadi senior
terbaik. Kalau kau sampai jadi hantu gila, kau akan dikirim ke bagian psikologi
hantu di Rumah Sakit Hantu Sektor C. Itu mengerikan untuk karirku!”
“Peduli
apa dengan karirmu, Hantu Bodoh!” teriakku. Setelahnya aku menyesal, karena ia
memandangiku tajam. Mulut lebarnya menganga. Seperti hendak menelan kepalaku
bulat-bulat. Aku sudah mulai lari sebelum mendengarnya menangis keras.
“Huwaaa!!!”
Aku
menarik napas. Tapi tak terasa udara yang kutarik dan tak merasakan udara
mengalir keluar. Hanya gerakan tanpa udara.
“Seharusnya
kau yang dikirim ke Rumah Sakit Hantu Sektor C!” dengusku kesal. “Baiklah
lakukan tugasmu. Aku akan baik-baik saja.”
Dia
mengangkat wajahnya yang basah. Airmatanya kuning dan pekat. Seperti cairan
kental nanah yang menjijikkan. Aku ingin muntah.
“Kumohon…
jangan pernah menangis di hadapanku lagi!” ujarku sambil terus menerus ingin
merasakan mual yang kemudian tiba-tiba hilang. Entahlah, cairan menjijikkan
dari hantu ini tak lagi membuatku jijik di detik berikutnya. Sama cepatnya
dengan menghilangnya rasa takutku saat pertama kali melihatnya tadi.
Mulutnya
melebar… tapi tak lagi seperti hendak mengunyah seseorang. Mungkin dia sedang
tersenyum. Aku mengikutinya sambil memperhatikan sekeliling. Ruangan—atau
tempat apa pun ini sebutannya—didominasi oleh warna hitam. Kecuali tempat aku
menjejakkan kaki. Kami berdiri di sesuatu yang menyerupai awan putih tapi keras
sehingga bisa dipijak. Atau bisa jadi tubuh kami yang terlalu ringan sehingga
awan tipis ini bisa menyokong berat badan kami. Entahlah.
Lara
mengajakku turun melalui tangga yang juga menyerupai awan tipis. Aku bisa
melihat warna hitam seperti suasana di sekelilingku tersibak di sela-selanya. Dan
jelas… ini bukan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Bahkan tidak di
alam mimpi. Dan… tiba-tiba jiwaku serasa hampa. Benarkah aku sudah mati? Aku
mati? Aku mati! Aku jadi hantu!!!
“TIDAAAKKK!!!”
Aku menjerit histeris dan menangis. Aku terjatuh dan terguling-guling dari
tangga. Aku melihat Lara melayang di atasku. Ia menyeringai.
0