Kata seseorang padaku..”Mamak- Mamak (Ibu- Ibu) nggak
usah ngikutin perkembangan politik! Masak saja di dapur sana..!!” Lalu bagaimana
jika seorang Mamak- Mamak (Ibu- Ibu) seperti saya terkadang suka melihat debat-
debat politik seperti yang sering tayang di TV. Harus tutup matakah? Harus
masak terus kah? Kan sudah selesai sedari tadi.. Terus misalnya kalau anak kita
atau murid bertanya tentang politik.. Apakah saya harus jawab, “Hey..saya ini
kan Mamak- Mamak.. Tanya saja pada Bapak- Bapak sana!!!”
Demikianlah seringnya komentar masyarakat terhadap
kaum perempuan terutama yang sudah menjadi Ibu- Ibu atau Mamak- Mamak dalam
bahasa lokal di sini (Medan). Kebanyakan komentar itu keluar dari mulut- mulut
para pria yang menganggap perempuan itu hanya cocok mengurusi masalah domestik
saja. Mohon maaf, sebenarnya saya bukanlah seorang aktifis wanita yang selalu
memperjuangkan kesetaraan gender dalam segala lini, saya hanya perempuan yang
tidak melihat adanya keanehan jika wanita ingin mengetahui tentang hal hal yang
berbau politik terutama yang terjadi di negaranya dan lalu kemudian sedikit
berkomentar akan hal itu.
Coba tilik sejenak definisi dari politik itu sendiri
menurut beberapa ahli definisi,
Menurut
Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas
perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.
Menurut
Ramlan Surbakti (1999 : 1) bahwa definisi Politik adalah interaksi
antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama masyarakat
yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Mengapa saya selalu menggarisbawahi masyarakat pada
setiap definisi, itu dikarenakan saya ingin menegaskan bahwa perempuan bahkan
jika sudah menjadi seorang Ibu pun ia juga adalah merupakan bagian masyarakat.
Namun kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat itu sendiri adalah perempuan
selalu dipinggirkan jika menyangkut hal hal yang berbau politik. Wanita dianggap
tidak mampu bahkan dicap sebagai mahkluk irrasional yang divonis tidak dapat
menghasilkan sebuah keputusan yang logis untuk hidup berkenegaraan. Pertanyaan
yang kemudian datang adalah Bagaimana seorang pria bisa membuat peraturan
peraturan yang mengatur tentang urusan yang menyangkut hidup perempuan
perempuan di muka bumi tanpa mengikutsertakan perempuan? Tanpa memperhatikan
pendapat seorang perempuan? Dan bagaimana pula jika seorang perempuan harus
dimintai pendapatnya tentang politik, sementara ia selalu dibatasi dan
diremehkan oleh masyarakat?
Namun saya di sini sedang tidak membahas tentang
keterwakilan perempuan di MPR/DPR yang notabene merupakan tempat di mana
kegiatan politik itu berlangsung, akan tetapi ada tugas yang lebih utama bagi
seorang perempuan jika hanya dibandingkan menjadi seorang wakil rakyat, yakni mendidik
Generasi Penerus Bangsa yang tumbuh dalam buaiannya.
Lalu mari kita berangkat dari sebuah pengertian lain
mengenai Politik:
Politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun
program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai
dengan baik.
(http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-politik-menurut-para-ahli.html), maka
saya menyimpulkan bahwa perempuan sebagai masyarakat pun berhak melakukan
komunikasi itu baik secara langsung maupun tidak langsung sesuai dengan
kapasitas yang dimilikinya.
Hal lain
yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah Ibu merupakan stakeholder
masyarakat yang paling besar pengaruhnya. Jika generasi muda bangsa telah lahir
dari rahimnya dan tanggung jawab pendidikan ada dipundaknya, maka pendidikan
politik adalah jua termakhtub di dalam tanggung jawab seorang Ibu, bukan hanya
tanggung jawab seorang Bapak saja. Budaya yang berkembang sejak dahulu kala
telah mewariskan segala sesuatu yang bersifat “rumah” itu tanggung jawab Ibu,
lalu segala sesuatu yang bersifat “luar rumah” itu tanggung jawab Ayah. Padahal
seyogyanya kedua orang tua harus bersinergi untuk menghasilkan output keluarga
berupa SDM yang unggul dan bermutu. Ironinya lagi yang banyak terjadi di tengah
masyarakat adalah Ibu Rumah Tangga lebih banyak menghabiskan waktu dan memberi
pendidikan langsung kepada buah hati mereka yang merupakan generasi harapan
bangsa itu di rumah rumah mereka ketimbang seorang Ayah yang kebanyakan berada
di luar rumah. Bayangkan pendidikan semacam apa yang ditanamkan seorang Ibu yang
dibatasi akalnya atas politik itu pada
calon calon pemimpin dunia?
Kebutaan
para Ibu akan hal politik sudah barang tentu menyumbangkan porsi pendidikan
yang tak memadai pula bagi anak- anak mereka. Anak- anak mereka mempelajari
sesuatu yang disebut politik itu dari luar, dari apa yang dilihatnya di media
massa dan didengarnya dari orang lain tanpa penggalian makna positif dari
sebuah kejadian di dunia politik. Anda tentu tahu sendiri, dunia politik acap
kali mempertontontan carut marut yang bahkan diakhiri dengan sebuah pertikaian
yang seringnya dimaknai melenceng oleh generasi muda bangsa yang belum memiliki
bekal cukup tentang politik. Dan yang menjadi kecurigaan saya adalah mungkin
saja praktek politik culas, busuk dan keji saat ini adalah sumbangan dari
ketiadaan peran seorang Ibu dalam pendidikan politik di banyak keluarga
keluarga Indonesia. Sehingga perilaku politik yang menghalalkan segala cara
adalah sesuatu yang benar dan harus untuk dilakukan di dunia politik.
Ada juga
yang mengatakan bahwa politik itu adalah dunia yang kejam, dunia yang tidak
cocok dengan wanita yang lemah lembut. Padahal fakta berbicara banyak sosok
wanita yang menyelamatkan perekonomian keluarga dengan melakukan hal hal yang
secara akal sehat tidak dapat dilakukan oleh seorang wanita. Sebut saja menjadi
seorang supir truk, kerja bangunan, atau pekerjaan pekerjaan lain yang lazimnya
dilakukan oleh pria.
Untuk
itu, sudah saatnya kaum Ibu melek politik dan tidak perlu ada lagi pendapat
pendapat tendensius mengenai kiprah perempuan di dunia politik dari masyarakat.
Khususnya bagi Ibu Rumah Tangga yang kebanyakan waktunya dihabiskan di dalam
rumah, tidak perlu merasa bahwa politik bukan dunia anda. Anda masyarakat dan
anda berhak memberikan sumbangsih kepada negara anda untuk menjadikan kehidupan
berbangsa menjadi lebih baik. Tidak perlu terjun ke dalam wadah partai atau pun
wakil rakyat. Cukup saja bekali diri dengan politik dan perkembangannya, lalu
berilah pendidikan politik kepada buah hati anda sesuai porsinya. Bukankah pendidikan
dasar dalam keluarga mampu menguatkan pondasi pondasi kehidupan berbangsa?
Ingat, bangsa yang kuat adalah bangsa yang terdiri dari keluarga keluarga yang
kuat pula di dalamnya.
Mari
jadikan kaum Ibu sebagai mitra dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan
sebagai penggembira atau pemain cadangan belaka.
zonaqqterpercaya.blogspot.com
BalasHapus