Rabu, 22 Oktober 2014

REVIEW NOVEL "HUJAN DAUN-DAUN"

Unknown






REVIEW NOVEL HUJAN DAUN-DAUN
Penulis: Lidya Renny Chrisnawaty, Tsaki Daruchi, Putra Zaman
Desain Cover: Marcel AW
Editor: Nina Andiana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2014
ISBN: 978 – 602 – 03 – 0376 – 5
248 halaman; 20 cm

Novel remaja karya tiga penulis jebolan ajang pencarian bakat Penulis Indonesia dalam Gramedia Writing Project ini cukup bisa menjadi bacaan remaja yang menarik. Novel ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang gadis dua puluh tahun bernama Tania. Mimpi tentang dirinya dan seorang gadis berbaju biru yang sedang bermain di bawah pohon dengan daun berguguran menjadi pembuka novel setebal 248 halaman ini. Mimpi itu sering berulang sehingga mengganggu pikiran Tania.
            Pada awalnya, mungkin karena ini karya perdana atau bagaimana ada kebosanan yang melingkupi saat membacanya. Kejadian mimpi yang berulang dan dihubungkan dengan kejadian nyata merupakan sesuatu yang sudah sering dipakai oleh penulis-penulis lain. Dalam awal-awal membaca perlu effort yang cukup keras untuk bisa mendapatkan ‘kesenangan’ dalam buku ini. Untungnya usaha yang cukup keras itu terbayar lunas di pertengahan novel hingga ending. Keasyikan dan keseruan konflik mulai terasa saat seorang wanita mencari Tania hingga ke kampusnya. Wanita itu adalah ibu tirinya. Darinya semua masa lalu Tania yang ditutup-tutupi kakek neneknya karena suatu hal mulai terkuak. Konflik dihadirkan padat dari pertengahan hingga akhir.
            Kejadian-kejadian flash-back tentang kehidupan masa lalu orang tua Tania disisip di antara kejadian di masa sekarang. Cara ini membuat pembaca bisa dengan detail membayangkan kejadian di masa lalu. Mungkin karena novel ini ditulis oleh tiga orang penulis yang berbeda karakter dalam menulis, maka tak jarang pembaca mengalami ‘guncangan’. Sering didapati ‘rasa’ yang berbeda antara satu bab dengan bab yang lainnya. Ketika sedang asyik menikmati gaya bercerita pada satu bab, kemudian pada bab berikutnya akan menemukan gaya penulisan yang benar-benar berbeda. Ini membuat sedikit kurang nyaman.
            Di beberapa tempat juga masih ditemukan salah pengetikan, tapi masih dalam ambang batas kewajaran. Walau seharusnya diharapkan sudah tidak ada sama sekali kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Aroma percintaan yang dihadirkan juga kesannya hanya semacam tempelan. Well, mungkin seperti ada keharusan untuk cerita remaja harus ada unsur percintaannya. Hingga seperti dipaksakan. Sayang sekali itu menjadi tidak terlalu penting di sini. Tidak ada Adrian sebenarnya tidak masalah. Toh, ada Stella sosok sahabat sempurna yang sangat setia dan selalu menolong Tania. Kebanyakan si tokoh utama memperjuangkan segalanya sendirian. Perlu di-upgrade ulang pemikiran lama yang mengatakan novel remaja harus ada unsur cinta laki-laki dan perempuan. Kasih sayang antar sahabat juga bisa mengena, kok.
            Penyelesaian konfliknya juga sepertinya agak dipaksakan. Misalnya ketika Tania harus mencari saudara kembarnya Tiana yang kini berdomisili di Berkeley, Amerika. Tentu perlu modal yang cukup besar untuk pergi ke Amerika. Padahal tak dijelaskan dari awal bahwa kakek dan nenek Tania itu orang yang cukup berada. Penjelasan itu baru ada hampir di akhir cerita. Padahal tokoh Kakek Nenek sudah muncul pada awal sekali.
            Tania bisa sampai Amerika dengan mudah. Saat berdiri di depan rumah yang dicarinya, si pemilik rumah tepat baru pulang dari suatu tempat. Sungguh sebuah keberuntungan yang  beruntun. Banyak segala yang kebetulan terjadi di novel ini. Jadi intinya untuk pembaca yang baru puas jika happy ending semacam saya ini pasti akan dibuai dengan penyelesaian yang ada.
            Untuk sebuah novel perdana, over-all ini layak baca! Pesannya tersampaikan. Bahwa masa lalu itu penting untuk mengenali siapa sebenarnya diri kita. Akan tetapi kita tak bisa memutar-balik waktu agar semuanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Apa yang terjadi sekarang harus dihadapi. Seperti kata Adrian di Epilog—finally Adrian ada gunanya juga,hehe.
“Aku percaya bahwa hal-hal besar, yang terasa ajaib, walaupun sepertinya nggak masuk akal, nggak bisa diterima logika, sebenarnya selalu berputar di sekeliling kita. Tinggal gimana kita menangkapnya hingga keajaiban-keajaiban itu benar-benar terjadi dalam kehidupan kita. Sama seperti daun-daun yang gugur itu, angin nggak akan pernah berhenti bertiup, dan daun-daun itu nggak pernah tahu kapan mereka akan terlepas dari tangkai, tapi tanah akan selalu menerima mereka. Seperti kita yang juga harus selalu siap menerima keajaiban-keajaiban itu.”
Barvo untuk ketiga penulisnya dan HAPPY READING! 

Medan, 23 Oktober 2014

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes