Selasa, 25 November 2014

MATA BIRU

Unknown


MATA BIRU
Sering heran kalau lihat tingkah Betty akhir-akhir ini. Dia kawanku. Kawan dari SD. Dulu semasa SD hingga SMP, dia biasa saja—kecuali bedak tebal yang sering dijejalkan oleh mamaknya di wajah bulat telurnya itu. Sekarang, akibat era globalisasi atau peredaran informasi melalui teknologi canggih yang terlalu pesat, mungkin, buat tingkah gadis usia enam belas itu jadi macam-macam. Tak terdefenisi. Tak terprediksi. 

Aku juga enam belas tahun, tapi takaran komposisi untuk adonan donat, mengisi hari-hariku lebih banyak ketimbang ‘mantengin’ segala sumber informasi dari dunia luar. Keluarga kami punya usaha turun temurun, yakni toko donat paling donat di seluruh Medan. Yang boleh melakukan penakaran komposisi harus keturunan langsung. Seperti aku ini. Jadi bisa dipastikan aku selalu berada di dapur lebih sering dibanding tempat mana pun di dunia ini. Termasuk, kamarku sendiri.

Suatu ketika, Betty pernah datang menemuiku dengan kuku yang berwarna-warni. Bukan hanya warna-warni, ternyata jika diteliti lebih dekat, di sana sudah ada aneka gambar buah-buahan.

            “Frutty nail!!!” teriaknya ceria.

            “Apa nggak payah kalo makan?”

            “Lumayan, but beauty is pain, Sweety!”

            Longor!” ujarku sadis. Betty manyun. Tapi kembali tersenyum saat memandangi kuku-kuku di ujung jemarinya yang dia bentangkan di atas kepala.

            Di hari yang lain, misalnya waktu itu. Saat aku baru membuka celemek setelah lelah menakar terigu, Betty datang. Dia menaik-turunkan alisnya.

            “Cemana? Cantik?” tanyanya tanpa bilang halo, hi atau assalamualaikum atau woy terlebih dahulu.

            “Apanya?” kataku heran. Sebab tak menemukan sesuatu yang baru di sekujur tubuhnya yang bisa kukomentari dengan kata ‘cantik’. Dia memang cantik, sudah kuketahui dari dulu. Tapi, kan tak perlu bertanya lagi. Kemungkinan besar, jika menanyakan hal itu pasti ada yang baru. Dan ‘hal itu’ yang tak kutemukan hingga dia menggerak-gerakkan alisnya lagi. Aku sadar, finally.

            “Alismu kenapa???” tanyaku khawatir pada garis tebal hitam kecokelatan yang kini menguasai hampir separuh jidatnya.

            “Sulam alis!!! Keren, kan?”

            “Kayaaak… Sinchan!”

            “Nggak ada estetikamu! Nggak ada rasa penghargaanmu sama pengorbanan cengiranku saat alisku dikerjai orang salon tadi!”

            “Hahaha… mahal bikin kek gitu?”

            “Mahal lah!” Dia kembali manyun dan pergi ke dapur untuk meminta donat pada ibuku. Setelah dia kembali dan menenteng sekantong donat cacat produksi tapi sangat layak konsumsi, dia pun berlalu. Aku berdoa semoga dia tak kembali dengan keanehan-keanehan yang lainnya. Minta donat adalah salah satu keanehan lain yang dilakukan oleh anak orang kaya semacam Betty. 

            Doaku tak terkabul. Dia kembali lagi hari ini. Dengan keanehan yang bikin aku jadi ling-lung seketika. Bahkan hampir lupa resep donat turun temurun yang sudah sangat kuhapal luar kepala. Sesuatu yang sangat kuingat dibanding bentuk matahari. Kadang aku berpikir, jangan-jangan saat ditanyai malaikat di alam kubur nanti, aku tak bisa menjawab apa-apa kecuali memberitahunya resep donat paling ciamik buatan toko kami. Kedatangan Betty kali ini, membuatku nyaris hilang ingatan. Lalai arah dan tujuan.

            “Kau pakai lensa kontak???” tanyaku tak yakin. Sebab pertama, barang ini sudah ‘jadul’ baginya, tak mungkin dia memamerkan padaku hal yang sudah pernah dipamerkannya setahun yang lalu. Kedua, jika itu lensa kontak, tentu yang berwarna hanya bagian iris matanya saja, tidak seluruhnya biru seperti ini. “Matamu biruuu….”

            Aku bergidik. Dan Betty mengerjap.

            “Ini tato mata!”  balasnya santai. “Ini semacam cairan biru yang disuntikkan ke dalam mataku. Keren, kan?”

            Tak seperti biasa, dia duduk di sampingku. Tak seperti biasa juga, aku kehilangan kata untuk meledeknya. Aku lemas melihat mata birunya yang menyeramkan alih-alih cantik. 

            “Aku lelah, Gi!” lanjutnya. “Aku lelah menarik perhatianmu!”

            Aku menoleh padanya. Terkejut dan tak mengerti.

            “Ya… segala yang kulakukan selama ini hanya usaha agar kau mau melirikku. Tapi tak pernah berhasil!”

            Aku semakin heran.

            “Kau hanya peduli pada donat-donatmu dan… Amira… Amira si gadis cantik, beralis tebal,  berkuku indah dan bermata biru itu.”

            “Kau sudah baca berita, Gi?” lanjutnya setelah beberapa detik yang diisi udara kosong. Aku menggeleng.

            “Ada mayat ditemukan di bantaran sungai Deli. Alisnya gundul, kuku-kukunya lepas dan mata birunya… tercongkel. Keduanya!!!” Betty mengatakan ‘keduanya’ dengan nada penuh emosional.

            Aku membelalak. Tapi mulutku tetap bungkam, tak mendapatkan ungkapan apapun lebih tepatnya.

            “Aku membunuh Amira!” gumamnya.

            Suara sirine entah dari mobil Polisi atau ambulan—tak bisa membedakan keduanya hingga sekarang—mengaburkan kalimat terakhir Betty, tapi aku masih mendengar kalimat itu dengan jelas. 

Terdengar suara ribut-ribut dari depan. Pintu ruang tengah—tempat di mana Betty dan aku berada terbuka sempurna tak lama kemudian. Dua orang Polisi menyapaku dan Betty dengan santun.

            “Saya Betty Libua, Pak,” jawab Betty sambil berdiri ketika salah satu dari Polisi menanyakan orang yang bernama Betty Libua. Dia kembali menoleh padaku yang kini memasang mimik tercekik mumi dari Mongolia.

            “Gi… aku mencintaimu. Sangat….!” Dia tunduk dan mengecup keningku, air hangat dari mata birunya menyentuh kulitku. Rasanya seperti terbakar. Entah karena itu, atau karena kecamuk yang ada dalam otakku.

            Polisi mengait tangannya dengan borgol sambil mengucapkan kalimat yang tak lagi bisa kudengar. Sesuatu tentang Amira, Sungai, dan Kematian.

            “Betty….” Betty sudah menjauh dan aku masih terpancang di atas kursiku. Melirik pada foto Amira dan Betty yang sedang berangkulan ceria. Mereka berdua sahabatku dan pada salah satunya aku jatuh cinta. Dia itu,

            “Betty…,” desisku. Aku berlari ke pintu depan. Betty menoleh, mata birunya sedang menangis. Tubuhnya sudah masuk ke dalam mobil Polisi. Orang-orang entah dari mana tiba-tiba saja sudah berkumpul di halaman rumahku. 

            Di lantai teras, mataku tertumbuk pada sesuatu berwarna kuning. Kuku yang patah. Milik Betty, aku tahu.

            “Betty… aku juga mencintaimu… apa adanya!”

(besambung)

Medan, 26 November 2014

Ibu itu Cinta

Unknown


Bagiku, jika ingin merangkum kata lembut, kasih, sayang, cinta, pengorbanan, kuat, tulus, tegar dan peduli dalam satu kata, maka ia akan menjadi sebuah kata yang bernama “Ibu”.  Dalam wajahnya yang oval itu, tawa menjadi hiasan abadi yang tak mungkin dapat luntur dari ingatan kami, anak-anaknya. Sebenarnya tawanya lebih cocok jika diterjemahkan sebagai mengekeh. Apalagi jika ia mulai menyuarakan gurauan-gurauan yang hanya dimengerti dan ditertawai sampai kejang-kejang oleh orang yang sudah hidup berpuluh puluh-tahun bersamanya. Sebaliknya, bagi orang yang tak begitu mengenalnya, maka candaan beliau akan menghasilkan kernyitan di beberapa bagian di wajah, karena tak mahfum. Aku menyebutnya dengan candaan “rooming” :D

Mau contoh biar lebih jelas? Rasa-rasanya kurang afdol kalau tak menyebutkan contoh dalam menjelaskan sesuatu, maklum bawaan kebiasaan mengajar di kelas.  Begini, suatu ketika, ibuku yang sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun lebih itu, didiagnosa mengalami pengapuran di bagian pinggangnya. Adikku mengingatkan agar rajin-rajin minum susu berkalsium tinggi. Namun susu yang biasa dikonsumsi, buat Ibu jadi terganggu buang air besarnya, hingga ia enggan minum susu itu lagi.

“Ya udah, Mak, nanti Kiki beliin susu Produgen aja ya.” (Maaf, mesti sebut merek, soalnya esensi candaannya di sini.)

Ibuku nyeletuk dengan ringan, “Ooo produgen tak bersalah, ya?”

Adikku tertawa keras demi mendengar kata-kata itu. “Praduga itu, Maaak!!! Bukan produgen!!! Ihhh.

Lalu Ibu mengekeh, ” Hehehehe!” Ya, benar! Tawanya tidak hghghg, tidak hahahaha, tapi memang baca dengan sebenarnya huruf-huruf ini, HE HE HE HE. Biasanya paling banyak empat kali “HE”.

 Ibuku juga penggubah lagu ulung, tepatnya suka mengubah-ubah lirik dan nada lagu yang sudah ada menjadi lagunya sendiri. Itu terjadi karena banyak hal. Pertama, ibuku yang suka bersenandung sambil bekerja suka tak hapal lirik meski sangat mahfum dengan nadanya. Atau yang kedua, ia merasa lagu tersebut mirip dengan lagu yang sebelumnya pernah ia dengar sehingga dua lagu dapat digabung menjadi satu lagu baru yang lebih Ibu banget, nyeleneh, bikin ketawa, bikin gregetan. Ia suka ngerusak lagu dan bikin kami larak-lirik, jaga-jaga agar jangan ada orang lain yang mendengar. Di lain waktu, tak jarang juga ia menyanyikan lagu dengan baik dan benar. Bahkan sangat sesuai dengan kondisi yang sedang berlangsung. Ibarat film, nyanyian Ibu itu soundtrack-nya lah…. Nah, untuk kasus itu ada contoh lagi, nih.

Saat itu adikku yang sedang kasmaran, sering mendapatkan panggilan masuk di ponselnya. Ia sering berlama-lama teleponan sama temen deketnya itu. Biasalah anak muda lagi madabu lope galias jatuh cinta. Sehingga setiap detik ponselnya itu suka berdering- dering, meraung- raung dan meronta- ronta. Pada phonebook adikku itu, temen deketnya itu disimpan dengan nama MY LOVE. Suatu ketika Ibu sedang memasak, lalu ponsel adikku itu berdering. Walau ia tak tau siapa yang menelpon, dengan sangat pede, Ibu bernyanyi merdu dan mendayu-dayu mengiringi adikku yang  berjalan menggamit ponsel di meja.

“Oooooohhh my Looove! My darliiiiiing....  Lagu Ghost pun terlantun semi sempurna.

Di balik karakternya yang ceria Ibu menyimpan segudang kisah-kisah menyedihkan dalam hidupnya. Kisah-kisah itu seolah menggempur jiwa Ibu hingga sempat terlebur berkeping-keping.  Dan seiring waktu kini malah mengeras menjadi sekeras baja. Ibu sudah berada dalam taraf mampu menertawakan derita hidupnya, di saat orang terharu biru karenanya. Ibu percaya di balik kesusahan pasti ada kemudahan, itu janji Sang Maha Pencipta. Apa yang harus dikhawatirkan?

Ibu kami lahir di dalam sebuah keluarga yang sederhana. Saat ia berusia enam tahun, beliau harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh Ayahanda tercinta untuk selama-lamanya. Bersama nenekku, ibunya Ibu, dan dua adik laki-lakinya yang masih kecil-kecil, ia menjalani hidup dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa Kakek yang menjadi tulang punggung keluarga selama ini. Dengan terpaksa Nenek mengambil alih tugas Kakek sebagai pencari nafkah demi perut-perut kecil anak-anaknya. Nenek terpaksa memberhentikan Ibu yang kala itu hampir naik ke kelas dua SD, agar dapat menjaga kedua adiknya di rumah saat nenek harus keluar rumah bekerja. Selain itu pun memang Nenek tak sanggup lagi biayai Ibu bersekolah. Tentu Ibu sangat bersedih. Ia yang sedang semangat-semangatnya belajar berhitung, membaca dan bermain mesti menyiram sendiri dengan air es semangat yang berkobar-kobar itu demi adik-adiknya. 

Walau Nenek pontang panting bekerja, namun seringnya penghasilan nenek tak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Ibu dan kedua adiknya sering berkeliling sawah orang mencari talas, genjer atau daun-daunan lain yang bisa dimakan. Tidak sampai di situ saja, ada sebuah kejadian yang sangat membuatku sedih sekali saat mendengar ceritanya dari Ibu. Ia menceritakan kepada kami demi sebuah pelajaran agar tidak menjadi manusia sombong kala kita berpunya. 

Suatu saat, Nenek yang bekerja sebagai buruh pemetik teh itu belum menerima gaji. Namun persediaan beras sudah habis di rumah. Sementara ia dan kedua adiknya belum makan dari pagi. Menunggu Nenek yang baru pulang sore tak lagi sabar mereka jalani. Lapar yang akut sudah menyerang. Akhirnya Ibu memutuskan untuk pergi ke rumah tetangga, untuk sekedar meminjam sedikit beras dan berjanji akan memulangkannya jika Nenek pulang kerja nanti sore. Belum sempat Ibu mengucapkan salam, sang tetangga yang sudah melihat kedatangan Ibu dari pintu, langsung menghardiknya dengan ketus,

“Mau ngapain kemari??? Nggak ada beras di sini!!!”

Sontak Ibu menghentikan langkahnya dan berbalik lagi ke rumahnya. Maka kelaparanlah mereka menantikan Nenek pulang bekerja hingga sore menjelang.

Kehidupan Ibu sedikit berubah tatkala mereka memutuskan hijrah ke kota Pariwisata Parapat, Danau Toba. Walau tak berubah banyak namun di sini mereka tak pernah kelaparan, adik-adik Ibu pun bisa bersekolah dengan baik. Nenek bekerja di hotel sebagai staff laundry. Walau hanya sebagai staff laundry tapi beliau sudah berpenghasilan tetap per bulannya. Tidak seperti buruh pemetik teh yang penghasilannya diukur dari seberapa ia mampu mengumpulkan pucuk-pucuk teh per harinya.

Di kota yang berudara sejuk ini, dalam latar belakang landscape pesona kecantikan Danau Toba, sebuah kisah cinta pun bersyair lembut di hati Ibu. Ibu menemukan belahan jiwanya di sini. Seorang pria tampan, berkulit putih dan penyabar ingin menyuntingnya sebagai pendamping hidup. Seorang pria itu adalah ayahku, dan pria itu mungkin adalah kebahagian yang dijanjikan Allah di sebalik duka-duka yang dialami Ibu. Dan dengan bangga kukatakan di kota menakjubkan itu pun aku dilahirkan.

Ibu yang bahkan tak sempat mencicipi bangku kelas dua SD itu, t’lah mengajariku banyak hal. Kesabaran, ketegaran, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah pelajaran bahwa  tak ada hidup yang tak ada cobaan. Hidup itu sendiri pun ujian, ujian menuju hidup yang sebenarnya di akhirat nanti. Maka tertawa sajalah, maka tersenyum sajalah. Menangislah hanya saat kau membutuhkannya, saat kepedihan itu sudah menyumbat hati dan pikiranmu. Nanti, di saat air mata keluar dari matamu, luruhkanlah kepedihan itu bersamaan dengan air matamu yang menguap. Lalu hadirkan lagi senyummu dan hadapilah duniamu lagi dengan semangat yang terbarukan.

Melihat Ibu yang kini hilir mudik berjalan dengan tubuhnya yang sedikit gemuk, aku tak menemukan apapun di sana selain berton-ton kasih sayang dan cinta. Letihnya tubuh itu, sakitnya tubuh itu hanya karena sebuah nama, KELUARGA. KAMI.

Terima kasih Ibu, Mamakku.... Love you as always. Mom, you are nothing but love.


Medan, di selasa pagi yang sendu, saat burung mencicit lembut di sela-sela daun jagung yang mendesir pelan tertiup angin.

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes