Senin, 01 Desember 2014

Kisah Paling Alay dalam Hidupku

Unknown


GELENG-geleng kepala ketika melihat anak-anak muda krenyes-krenyes tiap hari sibuk posting foto-foto idolanya dan berkata banyak tentang mereka. Ihhh, kayak kagak ada kerjaan lain aja! Alay banget, sih! Jika ‘masa lalu’ itu hidup, pasti dia akan datang dan menjitak kepalaku dengan batu bata mutu terbaik, ‘pletak!’ sambil ngomel, “Macam dulu kau tak alay aja pun!”
            Emmm… (nyengir) apa iya? Well, setelah membuka bagian memori yang ‘itu’, aku nunjuk diri sendiri dan berkata, “Ah, itu aku? Serius?” Seandainya itu bukan aku.
            Semasa remaja aku punya idola. Bedanya dulu nggak ada sosmed. Mungkin kalau ada aku pasti lebih parah. Dan, sumpah, aku nggak mau membayangkannya sekarang. Karena dulu saja sudah parah. Siapa makhluk-makhluk beruntung yang terpilih menjadi idolaku di masa labilku itu? They are… Boyzone!

            Alasan mengapa seseorang menjadikan sosok lain menjadi idola itu pasti tak semata ikut-ikutan doang. Dia datang dengan cara yang tiba-tiba, mengalihkan perhatian kita—bisa jadi—hanya berdasarkan hal-hal yang tak masuk akal. Misalnya, suka sama pemain bola bukan karena kelihaiannya bermain bola, tapi karena gebetannya suka sama orang itu. Aku tak bisa memastikan apakah semua orang mengalami hal ini atau tidak.  Yang jelas aku suka Boyzone dengan cara yang sungguh romantis. Dengan cara yang tiba-tiba, penuh kemudahan dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
            Adalah Nancy Natalia Nainggolan orang pertama yang memperkenalkanku pada sebuah lagu “A Different Beat”. Dia teman sekelasku saat SMP. Dia suka menyanyi dan suaranya bagus, sementara aku suka menyanyi dan suaraku sedikit bagus (bagusnya hanya sedikit—ralat—tidak ada bagus-bagusnya). Dia punya keinginan menyanyikan lagu itu di kelas seni musik nanti. Baginya penampilan kecil pun harus sempurna. Lagu itu memerlukan suara lebih dari satu, katanya. Sehingga dia memerlukan satu orang lagi. Maka, entah berdasarkan apa dia memintaku dan melatihku menjadi rekan duetnya. Mungkin itu tadi, ini pintu awal untukku agar bisa berkenalan dengan Boyzone secara tiba-tiba dan penuh kemudahan.
              Aku jatuh cinta pada A Different Beat. Kuhapal liriknya. Dan praktis, dengan begitu saja, lagu yang berpesan moral sangat bagus itu menjadi lagu paling populer. Lagu paling populer untukku berarti tracklist yang sering kubawakan di kamar mandi. Pada waktu itu mengalahkan lagu-lagu milik Nike Ardila. Yup, lagu Nike Ardila pun turun satu peringkat dengan kemunculan Different Beat di kepalaku.
‘Tiba-tiba dan kemudahan’ kembali menghampiriku beberapa minggu kemudian. kakakku yang sekolah di Medan—dulu aku tinggal di kota kecil bernama Porsea—datang berlibur dengan membawa album Different Beat milik Boyzone. Mataku tak hanya berbinar, tapi hampir copot. Tiap hari kasetnya kuputar dengan volume keras. Seolah ingin mengajak seluruh dunia untuk mendengarkan lagu-lagu keren yang ada di dalamnya. Paradise, Melting Pot, Games of Love, Ben, Words, kesemuanya bikin aku meleleh. Tak ayal, konser depan kaca dengan microphone sisir pun semakin sering dilakukan. Lagu apa lagi kalau bukan satu album Different Beat yang sudah kuhapal semuanya itu?
Kegilaan tak hanya sampai di situ. Untung perusahaan tempat Bapak bekerja memberikan fasilitas saluran televisi dari parabola, hingga di kampung-kampung seperti ini kami bisa menyaksikan siaran semacam HBO atau MTV. Tak pelak, di saluran MTV, Boyzone sering nongol dengan video klip yang ajib banget. Makin lihat video klip aku makin jatuh cinta. Aihhh, nggak kau tengok si Ronan Keating ituuu, ganteeeng bingiiitttzzz. Dulu rambutnya masih gondrong, sama persis panjangnya sama rambutku, belah tengah pulak lagi. Hihihi…. Kok ada, sih orang ganteng kayak gitu??? (Lari-larian di kabel listrik). Setelahnya, kegemaran semakin bertumpuk di dada, tak menjadi sebah malah jadi meruah, berbunga-bunga Raflesia Arnoldi. Tuiiinggg!!!
Seluruh keluarga tahu kegilaanku itu. Terutama Mamak. Aku nggak tahu gimana perasaannya saat melihat anaknya menjadi manusia aneh yang tiba-tiba bisa belingsatan lari ke depan TV jika video klip Boyzone diputar. Marah-marah kalau channel diganti. Senyum-senyum sendiri kalau liat mereka di TV. Mungkin dia tetap mendukung asal aku baik-baik saja dan tak menyusahkannya. Bukti kalau Mamak mendukung, tak hanya sekali beliau memanggilku jika ada video Boyzone sedang diputar dan aku sedang tak berada di sana. “Yuuun!!! Boyzone!” Ih, Mamak yang kucintaiii… terharu, deh. Kurasa dalam pikirannya, kalau masih manggilkan namanya aja untuk nonton idolanya dari TV masih nggak apa-apa, asal anak itu jangan minta ongkos pergi ke Irlandia untuk jumpa Boyzone. Kalau itu terjadi, mungkin disepakkannya aku biar sampe ke Irlandia sekalian.
Tapi Mamak pernah memandangku prihatin, dia berucap lirih sambil mengusap punggungku, “Ihhh, kek mana lah kalau kau jumpa di Ronan, ya? Kurasa pingsan kau.” Kala itu aku sedang memeluk bantal dengan mata yang rekat kayak dilem di layar televisi yang sedang memperlihatkan video klip Boyzone. Aku sempat melirik Mamak satu detik. Dari matanya kulihat, andai dia milyuner mungkin dia akan mengundang Boyzone untuk makan malam di rumah dan menyanyikan lagu-lagu mereka hanya untukku.
Saat SMA kegilaanku pada mereka tak berkurang. Kami sekerluarga pindah rumah sehingga aku meneruskan sekolah di Pematang Siantar yang notabene lebih kota ketimbang tempatku sebelumnya. Di sana aku mulai membeli poster-poster dan menempelkannya di kamar. Satu kelas—teman-teman baru—langsung tahu idolaku siapa. Bahkan ada cerita yang lumayan menggelikan untuk ini.
Di usia itu, memang tak bisa dilepaskan dari kisah cinta anak remaja. Jadi dulu ceritanya aku jadian sama abang kelas. Dia tahu aku suka Boyzone. Untuk hadiah ulang tahun, maka diberikannya aku album Where We Belong, album terbaru Boyzone kala itu. Dia juga terpaksa cari tahu tentang Boyzone dan berusaha menyukainya. Bayangkan! Pria penggemar dangdut rela menurunkan selera bermusiknya gara-gara aku. Jadilah, kaset itu saban hari diputar. Selain karena memang kegemaranku, juga karena benda tersebut adalah pemberian paling romantis di masanya.
Terjadi sebuah tragedi saat Bapak yang kerja di luar kota pulang. Pada saat itu aku dan Bapak berkendara menuju rumah adiknya. Ada pemutar kaset dalam mobil dan itu tak kusia-siakan. Kubawa serta kaset Boyzone tersebut. Kuhidupkan kaset dan dalam beberapa menit di awal aku bahagia, sambil menikmati semilir angin daerah persawitan yang masuk melalui jendela mobil, aku bernyanyi riang. Tak lama suara Ronan yang keren berubah meliuk-liuk dan tak lama mati total. Ternyata kasetnya kusut. Pita-pitanya terburai dan menyangkut di dalam tape. Hari yang bahagia jadi duka. Aku menangis! Ya, menangis. Untuk sebuah kaset? Jijay! Sayangnya memang begitu. Selain menangis, aku juga menyalahkan tape mobilnya. Bapak kasihan melihatku yang kayak orang udah mau bunuh diri saja. Dia hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.
Selanjutnya kisahnya agak mengharukan, mungkin karena mengingat ini di saat Bapak sudah nggak ada sekarang. Sepulang dari rumah adiknya Bapak, dia membawa kaset terburai itu ke dalam rumah. Diletakkannya di atas meja. Aku hanya memandanginya pesimis.
“Udahlah, Pak, buang aja, udah nggak mungkin lagi diperbaiki.” Bapak hanya diam tak menanggapi sepatah kata pun. Tak lama aku masuk kamar, ecek-eceknya mengurung diri demi kedukaan ini. Sementara Bapak sibuk mondar-mandir di kala aku sibuk menata hati. Aku menangis dan meratapi nasib Boyzone-ku yang malang. Beberapa saat kemudian, dia memanggilku, “Yuuun!!!”
Aku malas keluar. Tak ada gunanya lagi semua ini. Tapi secara tiba-tiba, aku mendengar lagu ‘Picture of You’ berkumandang di udara. Soundtrack film Mr. Bean itu berdentum-dentum tak hanya di telingaku tapi di hatiku. Aku melompat dari tempat tidur dan menghambur keluar. Tampak Bapak sedang menyetel volume di depan tape di rumah.
“Kok, bisa, Pak?” tanyaku semringah.
“Bisalah!” jawabnya misterius. Ingin kupeluk bapakku saat itu juga dan mengucapkan elepyu di telinganya. Tapi tak kulakukan, aku hanya kejang menikmati alunan nada yang kupikir tadi tak akan bisa kudengar lagi. Lebay, kan? Ngeri, kan? Kek gitulah kenyataanya. Mau cemana lagi? L Tapi minimal, mungkin tingkahku yang sampai segitunya punya hikmah. Bisa jadi itu yang membuat saat masuk kuliah aku memilih jurusan Bahasa Inggris. Yeah, lirik-lirik lagu mereka yang berbahasa Inggris tak pelak menuntutku untuk mempelajari bahasa mereka juga. Dan, kau tahu? Aku sering mengatakan pada murid-muridku, untuk bisa menguasai bahasa Inggris dengan cara yang menyenangkan, cari lagu dalam bahasa Inggris yang menyenangkan bagimu. Maka, kau tak akan merasa pusing belajar bahasa Inggris. Itu akan menyenangkan! Apalagi kau tak kenal kaset yang bisa tiba-tiba kusut dan bikin harimu kusut juga. Tinggal download, taraaa!!! Lagu itu hadir di playlist-mu.
Dan satu lagi! Demi mengingat ini, aku nggak akan misuh-misuh lagi jika liat ABG pada posting gambar-gambar idola mereka di pesbuk. I promise you.

Medan, 02 Desember 2014

Selasa, 25 November 2014

MATA BIRU

Unknown


MATA BIRU
Sering heran kalau lihat tingkah Betty akhir-akhir ini. Dia kawanku. Kawan dari SD. Dulu semasa SD hingga SMP, dia biasa saja—kecuali bedak tebal yang sering dijejalkan oleh mamaknya di wajah bulat telurnya itu. Sekarang, akibat era globalisasi atau peredaran informasi melalui teknologi canggih yang terlalu pesat, mungkin, buat tingkah gadis usia enam belas itu jadi macam-macam. Tak terdefenisi. Tak terprediksi. 

Aku juga enam belas tahun, tapi takaran komposisi untuk adonan donat, mengisi hari-hariku lebih banyak ketimbang ‘mantengin’ segala sumber informasi dari dunia luar. Keluarga kami punya usaha turun temurun, yakni toko donat paling donat di seluruh Medan. Yang boleh melakukan penakaran komposisi harus keturunan langsung. Seperti aku ini. Jadi bisa dipastikan aku selalu berada di dapur lebih sering dibanding tempat mana pun di dunia ini. Termasuk, kamarku sendiri.

Suatu ketika, Betty pernah datang menemuiku dengan kuku yang berwarna-warni. Bukan hanya warna-warni, ternyata jika diteliti lebih dekat, di sana sudah ada aneka gambar buah-buahan.

            “Frutty nail!!!” teriaknya ceria.

            “Apa nggak payah kalo makan?”

            “Lumayan, but beauty is pain, Sweety!”

            Longor!” ujarku sadis. Betty manyun. Tapi kembali tersenyum saat memandangi kuku-kuku di ujung jemarinya yang dia bentangkan di atas kepala.

            Di hari yang lain, misalnya waktu itu. Saat aku baru membuka celemek setelah lelah menakar terigu, Betty datang. Dia menaik-turunkan alisnya.

            “Cemana? Cantik?” tanyanya tanpa bilang halo, hi atau assalamualaikum atau woy terlebih dahulu.

            “Apanya?” kataku heran. Sebab tak menemukan sesuatu yang baru di sekujur tubuhnya yang bisa kukomentari dengan kata ‘cantik’. Dia memang cantik, sudah kuketahui dari dulu. Tapi, kan tak perlu bertanya lagi. Kemungkinan besar, jika menanyakan hal itu pasti ada yang baru. Dan ‘hal itu’ yang tak kutemukan hingga dia menggerak-gerakkan alisnya lagi. Aku sadar, finally.

            “Alismu kenapa???” tanyaku khawatir pada garis tebal hitam kecokelatan yang kini menguasai hampir separuh jidatnya.

            “Sulam alis!!! Keren, kan?”

            “Kayaaak… Sinchan!”

            “Nggak ada estetikamu! Nggak ada rasa penghargaanmu sama pengorbanan cengiranku saat alisku dikerjai orang salon tadi!”

            “Hahaha… mahal bikin kek gitu?”

            “Mahal lah!” Dia kembali manyun dan pergi ke dapur untuk meminta donat pada ibuku. Setelah dia kembali dan menenteng sekantong donat cacat produksi tapi sangat layak konsumsi, dia pun berlalu. Aku berdoa semoga dia tak kembali dengan keanehan-keanehan yang lainnya. Minta donat adalah salah satu keanehan lain yang dilakukan oleh anak orang kaya semacam Betty. 

            Doaku tak terkabul. Dia kembali lagi hari ini. Dengan keanehan yang bikin aku jadi ling-lung seketika. Bahkan hampir lupa resep donat turun temurun yang sudah sangat kuhapal luar kepala. Sesuatu yang sangat kuingat dibanding bentuk matahari. Kadang aku berpikir, jangan-jangan saat ditanyai malaikat di alam kubur nanti, aku tak bisa menjawab apa-apa kecuali memberitahunya resep donat paling ciamik buatan toko kami. Kedatangan Betty kali ini, membuatku nyaris hilang ingatan. Lalai arah dan tujuan.

            “Kau pakai lensa kontak???” tanyaku tak yakin. Sebab pertama, barang ini sudah ‘jadul’ baginya, tak mungkin dia memamerkan padaku hal yang sudah pernah dipamerkannya setahun yang lalu. Kedua, jika itu lensa kontak, tentu yang berwarna hanya bagian iris matanya saja, tidak seluruhnya biru seperti ini. “Matamu biruuu….”

            Aku bergidik. Dan Betty mengerjap.

            “Ini tato mata!”  balasnya santai. “Ini semacam cairan biru yang disuntikkan ke dalam mataku. Keren, kan?”

            Tak seperti biasa, dia duduk di sampingku. Tak seperti biasa juga, aku kehilangan kata untuk meledeknya. Aku lemas melihat mata birunya yang menyeramkan alih-alih cantik. 

            “Aku lelah, Gi!” lanjutnya. “Aku lelah menarik perhatianmu!”

            Aku menoleh padanya. Terkejut dan tak mengerti.

            “Ya… segala yang kulakukan selama ini hanya usaha agar kau mau melirikku. Tapi tak pernah berhasil!”

            Aku semakin heran.

            “Kau hanya peduli pada donat-donatmu dan… Amira… Amira si gadis cantik, beralis tebal,  berkuku indah dan bermata biru itu.”

            “Kau sudah baca berita, Gi?” lanjutnya setelah beberapa detik yang diisi udara kosong. Aku menggeleng.

            “Ada mayat ditemukan di bantaran sungai Deli. Alisnya gundul, kuku-kukunya lepas dan mata birunya… tercongkel. Keduanya!!!” Betty mengatakan ‘keduanya’ dengan nada penuh emosional.

            Aku membelalak. Tapi mulutku tetap bungkam, tak mendapatkan ungkapan apapun lebih tepatnya.

            “Aku membunuh Amira!” gumamnya.

            Suara sirine entah dari mobil Polisi atau ambulan—tak bisa membedakan keduanya hingga sekarang—mengaburkan kalimat terakhir Betty, tapi aku masih mendengar kalimat itu dengan jelas. 

Terdengar suara ribut-ribut dari depan. Pintu ruang tengah—tempat di mana Betty dan aku berada terbuka sempurna tak lama kemudian. Dua orang Polisi menyapaku dan Betty dengan santun.

            “Saya Betty Libua, Pak,” jawab Betty sambil berdiri ketika salah satu dari Polisi menanyakan orang yang bernama Betty Libua. Dia kembali menoleh padaku yang kini memasang mimik tercekik mumi dari Mongolia.

            “Gi… aku mencintaimu. Sangat….!” Dia tunduk dan mengecup keningku, air hangat dari mata birunya menyentuh kulitku. Rasanya seperti terbakar. Entah karena itu, atau karena kecamuk yang ada dalam otakku.

            Polisi mengait tangannya dengan borgol sambil mengucapkan kalimat yang tak lagi bisa kudengar. Sesuatu tentang Amira, Sungai, dan Kematian.

            “Betty….” Betty sudah menjauh dan aku masih terpancang di atas kursiku. Melirik pada foto Amira dan Betty yang sedang berangkulan ceria. Mereka berdua sahabatku dan pada salah satunya aku jatuh cinta. Dia itu,

            “Betty…,” desisku. Aku berlari ke pintu depan. Betty menoleh, mata birunya sedang menangis. Tubuhnya sudah masuk ke dalam mobil Polisi. Orang-orang entah dari mana tiba-tiba saja sudah berkumpul di halaman rumahku. 

            Di lantai teras, mataku tertumbuk pada sesuatu berwarna kuning. Kuku yang patah. Milik Betty, aku tahu.

            “Betty… aku juga mencintaimu… apa adanya!”

(besambung)

Medan, 26 November 2014

Ibu itu Cinta

Unknown


Bagiku, jika ingin merangkum kata lembut, kasih, sayang, cinta, pengorbanan, kuat, tulus, tegar dan peduli dalam satu kata, maka ia akan menjadi sebuah kata yang bernama “Ibu”.  Dalam wajahnya yang oval itu, tawa menjadi hiasan abadi yang tak mungkin dapat luntur dari ingatan kami, anak-anaknya. Sebenarnya tawanya lebih cocok jika diterjemahkan sebagai mengekeh. Apalagi jika ia mulai menyuarakan gurauan-gurauan yang hanya dimengerti dan ditertawai sampai kejang-kejang oleh orang yang sudah hidup berpuluh puluh-tahun bersamanya. Sebaliknya, bagi orang yang tak begitu mengenalnya, maka candaan beliau akan menghasilkan kernyitan di beberapa bagian di wajah, karena tak mahfum. Aku menyebutnya dengan candaan “rooming” :D

Mau contoh biar lebih jelas? Rasa-rasanya kurang afdol kalau tak menyebutkan contoh dalam menjelaskan sesuatu, maklum bawaan kebiasaan mengajar di kelas.  Begini, suatu ketika, ibuku yang sudah hampir menginjak usia lima puluh tahun lebih itu, didiagnosa mengalami pengapuran di bagian pinggangnya. Adikku mengingatkan agar rajin-rajin minum susu berkalsium tinggi. Namun susu yang biasa dikonsumsi, buat Ibu jadi terganggu buang air besarnya, hingga ia enggan minum susu itu lagi.

“Ya udah, Mak, nanti Kiki beliin susu Produgen aja ya.” (Maaf, mesti sebut merek, soalnya esensi candaannya di sini.)

Ibuku nyeletuk dengan ringan, “Ooo produgen tak bersalah, ya?”

Adikku tertawa keras demi mendengar kata-kata itu. “Praduga itu, Maaak!!! Bukan produgen!!! Ihhh.

Lalu Ibu mengekeh, ” Hehehehe!” Ya, benar! Tawanya tidak hghghg, tidak hahahaha, tapi memang baca dengan sebenarnya huruf-huruf ini, HE HE HE HE. Biasanya paling banyak empat kali “HE”.

 Ibuku juga penggubah lagu ulung, tepatnya suka mengubah-ubah lirik dan nada lagu yang sudah ada menjadi lagunya sendiri. Itu terjadi karena banyak hal. Pertama, ibuku yang suka bersenandung sambil bekerja suka tak hapal lirik meski sangat mahfum dengan nadanya. Atau yang kedua, ia merasa lagu tersebut mirip dengan lagu yang sebelumnya pernah ia dengar sehingga dua lagu dapat digabung menjadi satu lagu baru yang lebih Ibu banget, nyeleneh, bikin ketawa, bikin gregetan. Ia suka ngerusak lagu dan bikin kami larak-lirik, jaga-jaga agar jangan ada orang lain yang mendengar. Di lain waktu, tak jarang juga ia menyanyikan lagu dengan baik dan benar. Bahkan sangat sesuai dengan kondisi yang sedang berlangsung. Ibarat film, nyanyian Ibu itu soundtrack-nya lah…. Nah, untuk kasus itu ada contoh lagi, nih.

Saat itu adikku yang sedang kasmaran, sering mendapatkan panggilan masuk di ponselnya. Ia sering berlama-lama teleponan sama temen deketnya itu. Biasalah anak muda lagi madabu lope galias jatuh cinta. Sehingga setiap detik ponselnya itu suka berdering- dering, meraung- raung dan meronta- ronta. Pada phonebook adikku itu, temen deketnya itu disimpan dengan nama MY LOVE. Suatu ketika Ibu sedang memasak, lalu ponsel adikku itu berdering. Walau ia tak tau siapa yang menelpon, dengan sangat pede, Ibu bernyanyi merdu dan mendayu-dayu mengiringi adikku yang  berjalan menggamit ponsel di meja.

“Oooooohhh my Looove! My darliiiiiing....  Lagu Ghost pun terlantun semi sempurna.

Di balik karakternya yang ceria Ibu menyimpan segudang kisah-kisah menyedihkan dalam hidupnya. Kisah-kisah itu seolah menggempur jiwa Ibu hingga sempat terlebur berkeping-keping.  Dan seiring waktu kini malah mengeras menjadi sekeras baja. Ibu sudah berada dalam taraf mampu menertawakan derita hidupnya, di saat orang terharu biru karenanya. Ibu percaya di balik kesusahan pasti ada kemudahan, itu janji Sang Maha Pencipta. Apa yang harus dikhawatirkan?

Ibu kami lahir di dalam sebuah keluarga yang sederhana. Saat ia berusia enam tahun, beliau harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh Ayahanda tercinta untuk selama-lamanya. Bersama nenekku, ibunya Ibu, dan dua adik laki-lakinya yang masih kecil-kecil, ia menjalani hidup dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa Kakek yang menjadi tulang punggung keluarga selama ini. Dengan terpaksa Nenek mengambil alih tugas Kakek sebagai pencari nafkah demi perut-perut kecil anak-anaknya. Nenek terpaksa memberhentikan Ibu yang kala itu hampir naik ke kelas dua SD, agar dapat menjaga kedua adiknya di rumah saat nenek harus keluar rumah bekerja. Selain itu pun memang Nenek tak sanggup lagi biayai Ibu bersekolah. Tentu Ibu sangat bersedih. Ia yang sedang semangat-semangatnya belajar berhitung, membaca dan bermain mesti menyiram sendiri dengan air es semangat yang berkobar-kobar itu demi adik-adiknya. 

Walau Nenek pontang panting bekerja, namun seringnya penghasilan nenek tak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Ibu dan kedua adiknya sering berkeliling sawah orang mencari talas, genjer atau daun-daunan lain yang bisa dimakan. Tidak sampai di situ saja, ada sebuah kejadian yang sangat membuatku sedih sekali saat mendengar ceritanya dari Ibu. Ia menceritakan kepada kami demi sebuah pelajaran agar tidak menjadi manusia sombong kala kita berpunya. 

Suatu saat, Nenek yang bekerja sebagai buruh pemetik teh itu belum menerima gaji. Namun persediaan beras sudah habis di rumah. Sementara ia dan kedua adiknya belum makan dari pagi. Menunggu Nenek yang baru pulang sore tak lagi sabar mereka jalani. Lapar yang akut sudah menyerang. Akhirnya Ibu memutuskan untuk pergi ke rumah tetangga, untuk sekedar meminjam sedikit beras dan berjanji akan memulangkannya jika Nenek pulang kerja nanti sore. Belum sempat Ibu mengucapkan salam, sang tetangga yang sudah melihat kedatangan Ibu dari pintu, langsung menghardiknya dengan ketus,

“Mau ngapain kemari??? Nggak ada beras di sini!!!”

Sontak Ibu menghentikan langkahnya dan berbalik lagi ke rumahnya. Maka kelaparanlah mereka menantikan Nenek pulang bekerja hingga sore menjelang.

Kehidupan Ibu sedikit berubah tatkala mereka memutuskan hijrah ke kota Pariwisata Parapat, Danau Toba. Walau tak berubah banyak namun di sini mereka tak pernah kelaparan, adik-adik Ibu pun bisa bersekolah dengan baik. Nenek bekerja di hotel sebagai staff laundry. Walau hanya sebagai staff laundry tapi beliau sudah berpenghasilan tetap per bulannya. Tidak seperti buruh pemetik teh yang penghasilannya diukur dari seberapa ia mampu mengumpulkan pucuk-pucuk teh per harinya.

Di kota yang berudara sejuk ini, dalam latar belakang landscape pesona kecantikan Danau Toba, sebuah kisah cinta pun bersyair lembut di hati Ibu. Ibu menemukan belahan jiwanya di sini. Seorang pria tampan, berkulit putih dan penyabar ingin menyuntingnya sebagai pendamping hidup. Seorang pria itu adalah ayahku, dan pria itu mungkin adalah kebahagian yang dijanjikan Allah di sebalik duka-duka yang dialami Ibu. Dan dengan bangga kukatakan di kota menakjubkan itu pun aku dilahirkan.

Ibu yang bahkan tak sempat mencicipi bangku kelas dua SD itu, t’lah mengajariku banyak hal. Kesabaran, ketegaran, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah pelajaran bahwa  tak ada hidup yang tak ada cobaan. Hidup itu sendiri pun ujian, ujian menuju hidup yang sebenarnya di akhirat nanti. Maka tertawa sajalah, maka tersenyum sajalah. Menangislah hanya saat kau membutuhkannya, saat kepedihan itu sudah menyumbat hati dan pikiranmu. Nanti, di saat air mata keluar dari matamu, luruhkanlah kepedihan itu bersamaan dengan air matamu yang menguap. Lalu hadirkan lagi senyummu dan hadapilah duniamu lagi dengan semangat yang terbarukan.

Melihat Ibu yang kini hilir mudik berjalan dengan tubuhnya yang sedikit gemuk, aku tak menemukan apapun di sana selain berton-ton kasih sayang dan cinta. Letihnya tubuh itu, sakitnya tubuh itu hanya karena sebuah nama, KELUARGA. KAMI.

Terima kasih Ibu, Mamakku.... Love you as always. Mom, you are nothing but love.


Medan, di selasa pagi yang sendu, saat burung mencicit lembut di sela-sela daun jagung yang mendesir pelan tertiup angin.

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes