Senin, 01 Desember 2014

Kisah Paling Alay dalam Hidupku

Unknown


GELENG-geleng kepala ketika melihat anak-anak muda krenyes-krenyes tiap hari sibuk posting foto-foto idolanya dan berkata banyak tentang mereka. Ihhh, kayak kagak ada kerjaan lain aja! Alay banget, sih! Jika ‘masa lalu’ itu hidup, pasti dia akan datang dan menjitak kepalaku dengan batu bata mutu terbaik, ‘pletak!’ sambil ngomel, “Macam dulu kau tak alay aja pun!”
            Emmm… (nyengir) apa iya? Well, setelah membuka bagian memori yang ‘itu’, aku nunjuk diri sendiri dan berkata, “Ah, itu aku? Serius?” Seandainya itu bukan aku.
            Semasa remaja aku punya idola. Bedanya dulu nggak ada sosmed. Mungkin kalau ada aku pasti lebih parah. Dan, sumpah, aku nggak mau membayangkannya sekarang. Karena dulu saja sudah parah. Siapa makhluk-makhluk beruntung yang terpilih menjadi idolaku di masa labilku itu? They are… Boyzone!

            Alasan mengapa seseorang menjadikan sosok lain menjadi idola itu pasti tak semata ikut-ikutan doang. Dia datang dengan cara yang tiba-tiba, mengalihkan perhatian kita—bisa jadi—hanya berdasarkan hal-hal yang tak masuk akal. Misalnya, suka sama pemain bola bukan karena kelihaiannya bermain bola, tapi karena gebetannya suka sama orang itu. Aku tak bisa memastikan apakah semua orang mengalami hal ini atau tidak.  Yang jelas aku suka Boyzone dengan cara yang sungguh romantis. Dengan cara yang tiba-tiba, penuh kemudahan dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
            Adalah Nancy Natalia Nainggolan orang pertama yang memperkenalkanku pada sebuah lagu “A Different Beat”. Dia teman sekelasku saat SMP. Dia suka menyanyi dan suaranya bagus, sementara aku suka menyanyi dan suaraku sedikit bagus (bagusnya hanya sedikit—ralat—tidak ada bagus-bagusnya). Dia punya keinginan menyanyikan lagu itu di kelas seni musik nanti. Baginya penampilan kecil pun harus sempurna. Lagu itu memerlukan suara lebih dari satu, katanya. Sehingga dia memerlukan satu orang lagi. Maka, entah berdasarkan apa dia memintaku dan melatihku menjadi rekan duetnya. Mungkin itu tadi, ini pintu awal untukku agar bisa berkenalan dengan Boyzone secara tiba-tiba dan penuh kemudahan.
              Aku jatuh cinta pada A Different Beat. Kuhapal liriknya. Dan praktis, dengan begitu saja, lagu yang berpesan moral sangat bagus itu menjadi lagu paling populer. Lagu paling populer untukku berarti tracklist yang sering kubawakan di kamar mandi. Pada waktu itu mengalahkan lagu-lagu milik Nike Ardila. Yup, lagu Nike Ardila pun turun satu peringkat dengan kemunculan Different Beat di kepalaku.
‘Tiba-tiba dan kemudahan’ kembali menghampiriku beberapa minggu kemudian. kakakku yang sekolah di Medan—dulu aku tinggal di kota kecil bernama Porsea—datang berlibur dengan membawa album Different Beat milik Boyzone. Mataku tak hanya berbinar, tapi hampir copot. Tiap hari kasetnya kuputar dengan volume keras. Seolah ingin mengajak seluruh dunia untuk mendengarkan lagu-lagu keren yang ada di dalamnya. Paradise, Melting Pot, Games of Love, Ben, Words, kesemuanya bikin aku meleleh. Tak ayal, konser depan kaca dengan microphone sisir pun semakin sering dilakukan. Lagu apa lagi kalau bukan satu album Different Beat yang sudah kuhapal semuanya itu?
Kegilaan tak hanya sampai di situ. Untung perusahaan tempat Bapak bekerja memberikan fasilitas saluran televisi dari parabola, hingga di kampung-kampung seperti ini kami bisa menyaksikan siaran semacam HBO atau MTV. Tak pelak, di saluran MTV, Boyzone sering nongol dengan video klip yang ajib banget. Makin lihat video klip aku makin jatuh cinta. Aihhh, nggak kau tengok si Ronan Keating ituuu, ganteeeng bingiiitttzzz. Dulu rambutnya masih gondrong, sama persis panjangnya sama rambutku, belah tengah pulak lagi. Hihihi…. Kok ada, sih orang ganteng kayak gitu??? (Lari-larian di kabel listrik). Setelahnya, kegemaran semakin bertumpuk di dada, tak menjadi sebah malah jadi meruah, berbunga-bunga Raflesia Arnoldi. Tuiiinggg!!!
Seluruh keluarga tahu kegilaanku itu. Terutama Mamak. Aku nggak tahu gimana perasaannya saat melihat anaknya menjadi manusia aneh yang tiba-tiba bisa belingsatan lari ke depan TV jika video klip Boyzone diputar. Marah-marah kalau channel diganti. Senyum-senyum sendiri kalau liat mereka di TV. Mungkin dia tetap mendukung asal aku baik-baik saja dan tak menyusahkannya. Bukti kalau Mamak mendukung, tak hanya sekali beliau memanggilku jika ada video Boyzone sedang diputar dan aku sedang tak berada di sana. “Yuuun!!! Boyzone!” Ih, Mamak yang kucintaiii… terharu, deh. Kurasa dalam pikirannya, kalau masih manggilkan namanya aja untuk nonton idolanya dari TV masih nggak apa-apa, asal anak itu jangan minta ongkos pergi ke Irlandia untuk jumpa Boyzone. Kalau itu terjadi, mungkin disepakkannya aku biar sampe ke Irlandia sekalian.
Tapi Mamak pernah memandangku prihatin, dia berucap lirih sambil mengusap punggungku, “Ihhh, kek mana lah kalau kau jumpa di Ronan, ya? Kurasa pingsan kau.” Kala itu aku sedang memeluk bantal dengan mata yang rekat kayak dilem di layar televisi yang sedang memperlihatkan video klip Boyzone. Aku sempat melirik Mamak satu detik. Dari matanya kulihat, andai dia milyuner mungkin dia akan mengundang Boyzone untuk makan malam di rumah dan menyanyikan lagu-lagu mereka hanya untukku.
Saat SMA kegilaanku pada mereka tak berkurang. Kami sekerluarga pindah rumah sehingga aku meneruskan sekolah di Pematang Siantar yang notabene lebih kota ketimbang tempatku sebelumnya. Di sana aku mulai membeli poster-poster dan menempelkannya di kamar. Satu kelas—teman-teman baru—langsung tahu idolaku siapa. Bahkan ada cerita yang lumayan menggelikan untuk ini.
Di usia itu, memang tak bisa dilepaskan dari kisah cinta anak remaja. Jadi dulu ceritanya aku jadian sama abang kelas. Dia tahu aku suka Boyzone. Untuk hadiah ulang tahun, maka diberikannya aku album Where We Belong, album terbaru Boyzone kala itu. Dia juga terpaksa cari tahu tentang Boyzone dan berusaha menyukainya. Bayangkan! Pria penggemar dangdut rela menurunkan selera bermusiknya gara-gara aku. Jadilah, kaset itu saban hari diputar. Selain karena memang kegemaranku, juga karena benda tersebut adalah pemberian paling romantis di masanya.
Terjadi sebuah tragedi saat Bapak yang kerja di luar kota pulang. Pada saat itu aku dan Bapak berkendara menuju rumah adiknya. Ada pemutar kaset dalam mobil dan itu tak kusia-siakan. Kubawa serta kaset Boyzone tersebut. Kuhidupkan kaset dan dalam beberapa menit di awal aku bahagia, sambil menikmati semilir angin daerah persawitan yang masuk melalui jendela mobil, aku bernyanyi riang. Tak lama suara Ronan yang keren berubah meliuk-liuk dan tak lama mati total. Ternyata kasetnya kusut. Pita-pitanya terburai dan menyangkut di dalam tape. Hari yang bahagia jadi duka. Aku menangis! Ya, menangis. Untuk sebuah kaset? Jijay! Sayangnya memang begitu. Selain menangis, aku juga menyalahkan tape mobilnya. Bapak kasihan melihatku yang kayak orang udah mau bunuh diri saja. Dia hanya diam, tak tahu harus berbuat apa.
Selanjutnya kisahnya agak mengharukan, mungkin karena mengingat ini di saat Bapak sudah nggak ada sekarang. Sepulang dari rumah adiknya Bapak, dia membawa kaset terburai itu ke dalam rumah. Diletakkannya di atas meja. Aku hanya memandanginya pesimis.
“Udahlah, Pak, buang aja, udah nggak mungkin lagi diperbaiki.” Bapak hanya diam tak menanggapi sepatah kata pun. Tak lama aku masuk kamar, ecek-eceknya mengurung diri demi kedukaan ini. Sementara Bapak sibuk mondar-mandir di kala aku sibuk menata hati. Aku menangis dan meratapi nasib Boyzone-ku yang malang. Beberapa saat kemudian, dia memanggilku, “Yuuun!!!”
Aku malas keluar. Tak ada gunanya lagi semua ini. Tapi secara tiba-tiba, aku mendengar lagu ‘Picture of You’ berkumandang di udara. Soundtrack film Mr. Bean itu berdentum-dentum tak hanya di telingaku tapi di hatiku. Aku melompat dari tempat tidur dan menghambur keluar. Tampak Bapak sedang menyetel volume di depan tape di rumah.
“Kok, bisa, Pak?” tanyaku semringah.
“Bisalah!” jawabnya misterius. Ingin kupeluk bapakku saat itu juga dan mengucapkan elepyu di telinganya. Tapi tak kulakukan, aku hanya kejang menikmati alunan nada yang kupikir tadi tak akan bisa kudengar lagi. Lebay, kan? Ngeri, kan? Kek gitulah kenyataanya. Mau cemana lagi? L Tapi minimal, mungkin tingkahku yang sampai segitunya punya hikmah. Bisa jadi itu yang membuat saat masuk kuliah aku memilih jurusan Bahasa Inggris. Yeah, lirik-lirik lagu mereka yang berbahasa Inggris tak pelak menuntutku untuk mempelajari bahasa mereka juga. Dan, kau tahu? Aku sering mengatakan pada murid-muridku, untuk bisa menguasai bahasa Inggris dengan cara yang menyenangkan, cari lagu dalam bahasa Inggris yang menyenangkan bagimu. Maka, kau tak akan merasa pusing belajar bahasa Inggris. Itu akan menyenangkan! Apalagi kau tak kenal kaset yang bisa tiba-tiba kusut dan bikin harimu kusut juga. Tinggal download, taraaa!!! Lagu itu hadir di playlist-mu.
Dan satu lagi! Demi mengingat ini, aku nggak akan misuh-misuh lagi jika liat ABG pada posting gambar-gambar idola mereka di pesbuk. I promise you.

Medan, 02 Desember 2014

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes