Rabu, 16 September 2015

Review Novel Knife

Unknown


Review Novel

Judul Novel           : Knife
Penulis                   : Lindsay Lov’
Penerbit                : Mediakita
Tahun Cetak          : 2014

DARI sampul buku dan judulnya, kita sudah tahu pasti bahwa novel ini bercerita tentang pembunuhan. Di halaman pertama, pembaca akan terkecoh dengan kejadian pencurian kecil di sekolah. Yang ternyata itu hanya semacam pembuka sebagai pengenalan karakter kembar pasangan Alex dan Alexa. Kedua detektif remaja yang biasanya hanya menangani kasus kehilangan barang ini bakal dihadapkan dengan kasus rumit yang membuat mereka sangat tertantang: pembunuhan berantai di sekolah. Bekerja sama dengan Pak Hendra, penyidik dari Kepolisian Pematang Siantar yang tak lain tak bukan adalah paman mereka sendiri, akan menguak sedikit demi sedikit siapa sebenarnya pembunuh berdarah dingin itu.

          Keistimewaan novel ini adalah kemampuan penulis menggiring pembaca untuk selalu merasa penasaran. Plot dan alur atau rangkaian kejadian per kejadian, membuat pembaca enggan menutup novel, tak rela melanjutkan hingga esok. Setiap bab berisikan tentang adegan-adegan pembunuhan yang… penuh darah! Keji! Dan… menguras emosi. Dan kesemua bab diakhiri dengan pertanyaan, siapa yang tega membunuh dengan cara sesadis itu?

          Pelbagai ketegangan-ketegangan yang disajikan dalam irama lincah oleh si penulis, membuat kita tahu-tahu sudah sampai di akhir cerita. Dan… Zap! Twist! Pembaca pun terperangah, “Jadi pembunuhnya ini, toh!!! Bukan yang kucurigai sejak awal tadi. Kurang ajar!” Semua rangkaian peristiwa logis. Masuk akal. Hal yang perlu ada di novel-novel thriller.

          Kutipan-kutipan keren di tiap bab juga menjadi hal yang sangat menarik, seperti, ‘Ketika ia datang, ternyata ia telah lama pergi’ atau ‘Adalah ruang di dalam jiwa yang membunuhmu hingga mati.’ Bikin merinding, kan?

          Namun, seperti layaknya kehidupan di muka bumi, setiap hal pastinya ada kekurangan. Begitu pun novel ini. Untuk novel yang terbit di bawah payung penerbit mayor, bisa dibilang typo (kesalahan ketik) yang ada masih terlalu banyak. Untung bisa termaafkan dengan cerita seru yang disajikan.

          Yang kedua adalah adanya beberapa penjelasan-penjelasan kecil yang kurang perlu. Mungkin penulis bermaksud agar pembaca lebih memahami. Tapi akhirnya malah jadi blunder. Misalnya, kenapa salah satu karakter bernama Windy yang terlihat paling lemah kemudian bisa dengan gampangnya dibawa ‘sang pembunuh’ ke suatu tempat dan mengira dia adalah seseorang yang lain? Dalam hal ini, pembaca sudah bisa mengikuti mengapa Windy mengalami guncangan kejiwaan. Jadi penjelasan di akhir, menurut saya sudah tidak diperlukan lagi. Dan ada beberapa hal lain yang mirip-mirip dengan itu. Seperti misalnya penjelasan-penjelasan ulang di buku diary sang pembunuh.

          Well, overall, untuk sebuah novel perdana ini sudah amat sangat bagus sekali. Salut sekali buat penulisnya. Pasti dibutuhkan mental dan komitmen baja untuk menghasilkan sebuah novel keren seperti ini. Ditunggu karya-karya berikutnya, ya. Seperti yang aku katakan “You’re Rock!”

Medan, 17 September 2015

Senin, 24 Agustus 2015

PESONA AIR TERJUN DUA WARNA

Unknown


PESONA dan keelokan air terjun tak pernah dapat ditepiskan oleh siapa pun. Suara gemuruh dan percik airnya yang mampu memunculkan rasa damai, dirindukan oleh segenap jiwa yang membutuhkan ketenangan. Belum lagi aliran airnya yang bisa membuat tubuh pun terasa segar dan sekaligus mampu menghilangkan kepenatan. Singkatnya, air terjun dapat memberikan kita tiga kesenangan sekaligus: keindahan kala dipandang mata, kesegaran alami dan kedamaian yang mengendap di kalbu.

            Banyak sekali wisata air terjun yang ada di wilayah Sumatera Utara. Yang paling tersohor dan yang sudah pernah saya kunjungi adalah Air Terjun Si Piso-piso di Desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sebenarnya masih sangat banyak lagi titik-titik lokasi air terjun yang bisa kita eksplorasi di daerah Sumatera Utara ini. Salah satu yang sedang hits di kalangan wisatawan lokal terutama anak muda adalah Air Terjun Dua Warna. Keindahan dan kealamian lokasinya menjadi salah satu daya tarik. Air terjun yang berasal dari perut gunung Sibayak ini terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Sesuai dengan namanya, air terjun ini memang memiliki dua warna: biru muda dan putih keabu-abuan. Perbedaan warna ini dikarenakan airnya mengandung belerang dan fosfor. Selain warna yang berbeda, suhu air dari kedua warna itu juga berbeda. Air yang berwarna biru akan terasa lebih dingin dan yang putih keabu-abuan terasa lebih hangat. Karena mengandung belerang dan fosfor, sangat disarankan untuk tidak meminum airnya. Dengan ketinggian 1270 meter dpl, bersiap-siaplah dengan sensasi percikan airnya yang menyegarkan. Kita bisa berenang, atau sekedar duduk-duduk menikmati keindahan air terjun yang tak hanya berjumlah satu, melainkan tiga! Jika kita ingin lebih menyatu lagi dengan alam, lokasi air terjun yang dikelilingi hutan lebat ini juga memungkinkan kita untuk berkemah. Tentu jika telah mempersiapkan peralatannya terlebih dahulu.

            Untuk bisa mencapai lokasi ini, bagi yang berada di luar Sumatera Utara atau bahkan luar negeri tentu harus melakukan penerbangan terlebih dahulu ke Bandara Kuala Namu Medan. Kita bisa dengan bebas memilih Maskapai Penerbangan favorit. Seperti AirAsia, Batik Air, Citilink, Firefly, Garuda Indonesia, Indonesia AirAsia, Jetstar Asia Airways, Lion Air, Malaysia Airlines, NAM Air, Saudia Arabian Airlines, Silk Air, Sriwijaya Air, Susi Air dan Wings Air. Dari bandara, kita bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi darat, baik angkutan umum yang menuju Kaban Jahe atau pun mobil rental. Hanya memerlukan waktu 90 menit atau 2 jam untuk sampai di Bumi Perkemahan Sibolangit. Sampai di sini, kita akan diminta membayar biaya retribusi sebesar Rp. 25.000,-. Udara yang segar dan asri akan langsung bisa kita rasakan setibanya di sana. Sebaiknya sebelum melanjutkan perjalanan, beristirahatlah terlebih dahulu. Sebab kita harus melakukan perjalanan masuk hutan lagi kurang lebih selama tiga jam. Untuk track ini, siap-siaplah adrenalin kita dipacu. Bagi petualang sejati, maka dari sinilah petualangan akan dimulai. Here we go!!! Jalur yang tak mudah akan kita arungi, jalanan berbukit naik dan turun, terjal berbatu dan melewati sungai-sungai. Akan lebih sulit jika musim penghujan tiba. Maka gunakanlah alas kaki yang cocok untuk perjalanan ini, seperti sandal gunung atau sepatu dengan alas kokoh bergerigi. Meskipun sudah banyak petunjuk untuk memudahkan kita mencapai lokasi, bagi pemula disarankan untuk meminta jasa pemandu wisata atau yang lebih dikenal dengan ranger. Biayanya sekitar Rp. 100.000,- sampai Rp. 300.000,- tergantung jumlah orang dalam rombongan. Semua perjuangan penuh keringat dan air mata itu akan terbayar lunas ketika sampai. Saat mendengar gemericik air yang menenangkan dan pemandangan air terjun yang sangat memukau, hilanglah sudah penat dan letih.

            Karena lokasinya yang jauh di dalam hutan, untuk akomodasi berupa hotel tentu tidak tersedia. Maka, kita harus memperkirakan waktu perjalanannya. Jika kita tidak berniat untuk mendirikan kemah, kita harus memperhitungkan waktu untuk bisa kembali lagi ke penginapan. Untuk penginapan sendiri, sudah banyak penginapan-penginapan keren yang ada di sekitar Bumi Perkemahan Sibolangit, contohnya The Hill Hotel and Resort yang memiliki fasilitas lengkap dan nyaman.

            Destinasi wisata air terjun memang tidak pernah membuat siapa pun puas. Salah satu tempat lain di Indonesia yang amat sangat ingin saya kunjungi adalah Jogyakarta. Sebab daerah itu juga merupakan gudang air terjun yang sangat indah. Mungkin, Jogyakarta lebih dikenal luas sebagai objek wisata yang mengedepankan aspek budaya, kesenian dan belanja. Tapi sebenarnya, kekayaan alam yang bisa kita eksplorasi juga sangat banyak. Jika kita pecinta wisata air terjun, lokasi Air Terjun Kedung Pedut juga bisa memanjakan hasrat petualang dan mendekatkan diri pada alam. Selain itu ada juga Air Terjun Sri Gethuk, Air Terjun Lepo dan sebagainya.

            Apalagi sekarang banyak penerbangan langsung yang bisa kita nikmati dari  maskapai penerbangan favorit kita. Jika berkesempatan terbang ke Jogyakarta tentu saya menginginkan menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. GarudaIndonesia masuk dalam sepuluh besar maskapai penerbangan terbaik di dunia. Memiliki rating tertinggi untuk staf kabin, pesawatnya bersih dan ada pilihan makanan bahkan untuk kelas ekonomi. Semoga saja suatu hari impian ini akan terwujud. Mengeksplorasi keindahan alam Jogyakarta dengan menggunakan maskapai penerbangan kelas wahid! Impian semua orang, kan?


Medan, 25 Agustus 2015 

Jumat, 31 Juli 2015

Review/Resensi Buku The Girl Who Saved the King of Sweden

Unknown



Yang memutuskanku untuk jadi membeli novel ini adalah hal yang tertulis di belakang buku: Bahwa seorang gadis buta huruf kelahiran Soweto, sebuah perkampungan kumuh di Afrika Selatan, akan tumbuh dan kelak terkurung dalam sebuah truk pengangkut kentang bersama raja dan perdana menteri Swedia adalah kejadian dengan probabilitas statistik 1 : 45. 766. 212. 810. Itu menurut perhitungan Nombeko Mayeki, si gadis buta huruf itu sendiri. Sangat menarik dan menjanjikan! Yang aku bayangkan adalah bahwa buku ini pasti lucu.

Penasaran, bagaimana mungkin seorang gadis buta huruf asal perkampungan kumuh di pedalaman Afrika Selatan bisa ada di dalam truk kentang, tak hanya dengan seorang Raja Swedia tapi plus perdana menterinya sekaligus? Dengan mengubur hasrat sedalam-dalamnya, menelan liur sedalam-dalamnya dan kembali menabung lagi untuk membeli novel Ayah bulan depan, kuberanikan diri (gambling) pergi ke kasir dan membayar novel ini, TUNAI! (kalau enggak bakal digebukin SATPAM mall). Jangan tanya! Tentu dengan menggunakan uang sisa-sisa dari sisa-sisa di akhir bulan nan sempit tanpa ada yang bisa diharapkan lagi untuk membeli lauk enak besok.

Awalnya aku menganggap ini bacaan ringan. Ya itu, tadi… buku komedi biasanya ringan-ringan. Seringan mengedipkan mata, seringan sehelai kapas yang dipotong tujuh. Ah, tidak! Kapas dipotong sepuluh. Eh, berapa,ya? (ambil kalkulator). Oke, nanti kita pikirkan lagi. Tapi ternyata, setelah dibaca, kesimpulanku: semua berakhir tanpa ada satu pun yang kuduga. Bacaan ringan? Tidak, bacaan ini sarat dengan cerita politik, kejadian politik yang terjadi antara rentang tahun dari Nombeko, tokoh sentral novel ini lahir di tahun 1961 hingga seterusnya sampai tahun 2010. Meski novel fiksi, tapi kejadian maupun kondisi politik yang menjadi setting cerita diambil dari fakta yang terjadi. Tokoh-tokoh politiknya juga nama-nama yang sudah kita kenal di dunia nyata, seperti nama Raja dan Perdana Menteri yang terkurung bersama Nombeko itu. Penulis menggunakan nama dan karakter asli! (Aku tak membayangkan jika settingnya di Indonesia, lalu menggunakan nama sekaligus karakter asli pejabat-pejabatnya. Jika ada tokoh yang dijelekkan dalam cerita, pasti orang-orang menganggap penulis anti-orang itu. Tapi, ah… nggak usah pusing-pusing mikir sampai ke sana, buku yang beginian pasti langsung DICEKAL)

Bagi diriku yang awam akan politik, mungkin sesekali harus mengecek google untuk memberiku tambahan informasi mengenai suatu kejadian politis yang tak kuketahui. Tapi tenang, bagi yang tak ingin terusik keasyikan membacanya, bisa teruskan saja, lalu mengecek google-nya belakangan. Atau bagi yang malas melakukannya, tenang… tak ada bedanya. Buku ini tetap mengasyikkan tanpa atau dengan pengetahuan akan dunia perpolitikan.

Lalu anggapan yang kedua: lucu. Apa? Lucu? Terbantahkan! Buku ini sama sekali tidak lucu! Tapi amat sangat lucu sekali. Aku sampai tertawa keras (keras sekali dan tak berkesudahan). Penulisnya, Jonas Jonasson (yang kucurigai orang Sunda. Well, hanya orang Sunda yang mengulang nama begitu, sepanjang pengetahuanku), pintar, cerdas dan hebat dalam mengolah cerita. Lucunya ada di mana-mana: bahasa (narasi) penulis, dialog antar karakter bahkan kejadian-kejadiannya. Lucunya tak sanggup diceritakan, hanya yang membaca yang bisa menemukannya kelucuannya.

Jadi, ceritanya berawal dari Nombeko, gadis empat belas tahun asal Soweto, sebuah perkampungan kumuh di Afrika Selatan. Pekerjaannya adalah penguras jamban dengan ibu yang cepat mati, karena seorang pecandu Tinner. Ayahnya, pergi dua puluh menit sejak pembuahan terjadi. Dia ingin meninggalkan Soweto karena ia dipecat dari pekerjaannya. Dia melawan wakil dari pemerintah bagian Sanitasi yang menjadi atasannya. Impian gadis buta huruf ini selanjutnya pergi dari Soweto untuk membaca di perpustakaan Nasional di Pretoria. Sebelumnya ia telah belajar membaca dari seorang pria genit yang kemudian mati. Dan dengan kematian itu membantu Nombeko keluar dari Soweto.

Ke perpustakaan Nasional adalah tujuan sederhana. Hanya perlu berjalan 90 kilometer. Seharusnya sederhana. Sebelum dia terlindas mobil seorang Insinyur tepat di hari ulang tahunnya yang ke lima belas. Meski selamat dengan kondisi mengenaskan, keduanya sama-sama masuk pengadilan. Bukannya mendapatkan ganti rugi, Insinyur yang sanggup menyuap hakim itu malah membuat Nombeko yang jadinya dihukum menjadi budaknya selama tujuh tahun (menjadi lebih panjang karena satu dan lain hal). Nombeko dibawa ke tempat sang Insinyur yang ternyata mengepalai proyek rahasia: pembuatan BOM ATOM. Di sanalah awal gadis kulit hitam itu ‘berteman’ dengan bom atom berkekuatan tiga megaton yang kira-kira bisa menghancurkan apa saja hingga radius lima puluh kilometer. Lalu dia bertemu Hoger dan Hoger (lagi), Celestine seorang gadis pemarah, seorang Countess, Presiden Tiongkok, istrinya, kudanya, daging antelop, berurusan dengan dua agen rahasia Israel utusan Mosaad, bertemu tiga gadis Tiongkok yang tak mengenal keadaan, seorang mantan tentara Amerika yang trauma pada CIA, raja Swedia Carl Gustaf XVI, perdana menteri Swedia Fredrik Reinfieldt dan kebodohan-kebodohan serta keberuntungan lainnya. Semuanya sambung menyambung menjadi hubungan yang complicated, sebagian menguntungkan, bagian banyak yang lain merugikan.

Kekuatan novel ini terletak pada kekuatan setiap karakternya. Pada beberapa bagian awal (yang tak suka membaca) mungkin akan bosan, karena plot yang melompat-lompat hingga membuat bingung. Setiap bagian awal mendeskripsikan para tokoh yang nantinya akan bertemu jauh di belakang cerita. Kekuatan selanjutnya terletak pada konflik yang tiada akhir dan penyelesaian-penyelesaian yang sungguh cerdas dan ciamik. Tak ada karakter yang sia-sia, semua berguna dan ada peran penting. Tak hanya perpolitikan, buku ini penuh dengan perhitungan matematika, mengingat Nombeko yang digambarkan sangat pintar (paling utama dalam hal hitung menghitung).

Kekurangannya? Mungkin buku ini akan dibuang oleh editor yang tak suka akan kata-kata njlimet, panjang-panjang dan terkadang membingungkan. Tapi itu bisa diatasi dengan cara membaca ulang, sekali lagi, perlahan-lahan. Bisa dimaafkan karena ceritanya yang keren, penyelesaian konfliknya yang seluruhnya memuaskan.

Akhir kata, buku ini layak dibaca. Bukan untuk orang yang menginginkan bacaan ringan. Bukan pula untuk orang yang menginginkan bacaan berat. Jadi, buku ini cocok untuk orang yang meninginkan bacaan ringan, juga sekaligus menginginkan bacaan berat. Intitnya, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Satu lagi yang menarik, buku ini mencantumkan quote-quote menarik di setiap bagian ceritanya. Yang aku herankan, penulis juga menukil quote yang bahkan siapa pun tak akan pernah memikirkan untuk mendapatkan apa-apa dari karakter tersebut. Quote itu adalah:

Jika orang yang kau ajak bicara sepertinya tidak mendengarkanmu, sabarlah. Mungkin saja telinganya sedikit tersumbat. –winnie-the-pooh-

Medan, 31 Juli 2015

Jumat, 01 Mei 2015

Review Film Toba Dreams

Unknown


Dibandingkan Film Toba Dreams, Avangers Sampah?

Pernyataan di atas diungkapkan oleh Jajang C. Noer, seorang aktris kawakan yang ikut bermain dalam film Toba Dreams di salah satu stasiun televisi swasta beberapa hari yang lalu. Pesan-pesan terakhirnya sebelum acara talk show pagi itu ditutup,

“Tonton Toba Dreams. Jangan yang lain. Apalagi Avangers atau apalah apalah itu. Sampah semua itu.”

Awalnya aku mengira itu hanya ungkapan ‘lebay’ seseorang yang sedang mempromosikan filmnya. Atau bisa jadi luapan keprihatinannya akan kecendrungan penonton Indonesia yang lebih menghargai film buatan luar negeri ketimbang dalam negeri. Tapi... setelah langsung menonton filmnya sendiri, aku berubah. Bahkan agaknya ikut mengamini pernyataan ‘keras’ miliknya itu.

Tanggapanku setelah menonton film yang diperankan oleh aktor Vino G. Sebastian dan Marsha Thimoty serta Mathias Muchus ini adalah film ini sangat berisi, ‘gemuk’ dengan makna dan sarat akan pesan-pesan moral. Begitu banyak buah-buah kontemplasi yang bisa kita petik dari film ini.

Akar cerita film garapan sutradara Benni Setiawan ini utamanya berkisah mengenai hubungan bapak dan anak laki-lakinya. Sang Bapak yang diperankan oleh Mathias Muchus baru saja menjadi pensiunan TNI AD berpangkat Sersan Mayor. Dia mengajak seluruh keluarganya untuk kembali ke kampung halamannya dan mulai membangun kehidupan di sana.

Ronggur, anak tertuanya yang dilakoni oleh Vino G. Sebastian merupakan orang pertama yang menentang keputusan itu. Dia punya banyak mimpi di Jakarta dan dia menganggap bapaknya adalah seorang diktator yang selalu mengebiri mimpi anak-anaknya dari kecil. Tapi demi ibunya, Ronggur akhirnya menyetujui meski dengan berat hati.

Pergolakan terus terjadi di benak Ronggur. Dia ingin bebas dan mencari kesuksesan di Jakarta. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah opungnya (Jajang C. Noer)—rumah yang mereka tinggali saat di kampung—dan mencari peruntungan di Jakarta. Sekaligus menemui kembali kekasihnya, Marsha Timothy yang dia tinggalkan.

Daya tarik film ini, selain nama besar Vino G. Sebastian adalah setting film yang mengambil lokasi di salah satu tepian Danau Toba. Tepatnya di sebuah perkampungan di Balige. Dengan sangat elegan sang sutradara berhasil menyajikan panorama indah nan khas milik danau terluas se-Asia Tenggara terebut. Latar belakang budaya yang diangkat juga mampu menjanjikan cita rasa yang berbeda. Secara tidak langsung juga membangkitkan potensi pariwisata lokal. (Mudah-mudahan bisa mengikuti jejak film Laskar Pelangi yang mampu membuat Pulau Belitong menjadi destinasi wisata utama sekarang ini). Sangat diharapkan kemunculan film-film lain yang serupa dan mengangkat keindahan Indonesia dari sudut yang lain lagi. Jika film India mampu menonjolkan nyanyian dan tariannya sehingga industri filmnya bisa lepas landas ke dunia internasional, bisa jadi penggalian budaya dan keindahan alam Indoneisa menjadi salah satu ikon film Indonesia yang mampu menarik penonton mancanegara. Who knows?

Konflik-konflik yang dihadirkan secara maraton juga terasa sangat real. Dekat dengan kehidupan kita sehari-hari hingga menyentuh ke jiwa. Tidak ‘lebay’ dan tak terkesan dipaksakan.

Belum lagi hadirnya musik yang menjadi soundtrack dan mendukung keseluruhan film. Tak diragukan lagi keciamikan Vicky Sianipar dalam menggarap musik, membuat film ini semakin... PEWEW!!! (PEWEW= Embahnya WOW). Musik di film bagai sebuah jiwa. Dengan adanya jiwa film ini menjadi lebih ‘hidup’.  

Awalnya aku mengira penonton Toba Dreams paling hanya segelintir—apalagi saat antri beli tiket semua orang beli tiket Avangers, well terkadang di situ kadang saya merasa aneh sendiri—dan tidak akan penuh sampai setengah baris. Tapi ternyata penontonnya penuh hingga ke baris paling depan. Mungkin karena ini di Medan, jadi masyarakatnya punya keterikatan budaya tersendiri.

“Peringatan bagi orang yang melihat keharuan di film animasi semisal “Up” saja bisa menangis!” Sediakan handuk, karena film ini bakalan menguras air mata. (FYI: Aku menangis sepanjang film diputar. Pada saat itu aku bersyukur bahwa film di bioskop diputar dalam kondisi gelap. Sehingga orang lain tak mengetahui kondisiku yang mengenaskan tersebut. Cewek yang duduk di sebelahku sekali waktu pernah menoleh padaku. Mungkin dia mendengar isak tangisku atau mungkin hanya mengecek aku peduli apa tidak pada dia, sebab dia lantas bersandar di bahu pasangannya dengan manja—mungkin terinspirasi kemesraan Vino dan Marsha. Saat lampu dihidupkan, setengah mati aku menutupi mataku yang bengkak dan wajahku yang sembab. Sementara suamiku melangkah gontai sejauh mungkin dariku dengan wajah -_- #saatnya_melempar_bakiak)

Salah satu quote yang amat sangat membekas dari film ini “Sukses itu bukan berhasil menjadi orang kaya. Tapi sukses itu berhasil menjadi orang baik.”

Bagiku film ini memiliki ending yang sangat twist alias tak terduga. Menghadirkan efek kejut yang purna (ceileee). Meski tragis, aku pribadi memahami mengapa ending filmnya begitu. Bahwa pemeran utama tidak mesti sempurna, tidak harus menjadi superhero yang tak mati-mati meski dibantai raksasa satu batalion. Aku puas dengan endingnya, mengingat keseluruhan cerita yang ada. Kesaksian suamiku yang sewaktu dulu menonton film Mockingjay terus menerus menguap dan hampir terlelap, film ini sama sekali tak membuatnya mengantuk. Bahkan ikut tertawa terbahak-bahak saat kehadiran Boris, komik stand-up comedy yang turut menyegarkan cerita, memicu tawa semua penonton. Suamiku mengaku, sering menahan tawa karena terpaksa. Tawa penonton lain sudah reda, sementara dia sendiri belum. Aku tahu bagaimana rasanya itu, Kawan.

Kekurangan film yang diadaptasi dari novel milik T.B. Silalahi yang berjudul sama ini, mungkin terletak pada judul. Bagi orang Sumatera Utara mungkin tak ada masalah. Tapi bagi orang di luar Sumut, mungkin kurang menarik. Untunglah... daya tarik Vino pastinya tak bisa dielakkan. Aktingnya tak lagi diragukan. Keren and amazing pol! Good strategy.

Aku merekomendasikan film yang berlabel untuk dewasa (17 tahun ke atas) ini untuk ditonton. Jangan tunggu tayang di televisi. Dukung perfilman Indonesia. Apalagi untuk film-film yang memang berkualitas alias bukan kacangan seperti ini.

Daripada Avangers bagusan tonton Toba Dreams. Tapi daripada film-film horor Indonesia yang kebanyakan mempertontonkan sensualitas daripada isi cerita, memang bagusan Avangers. Gitulah gitu. HORAS.

Medan, 02 Mei 2015



     

Selasa, 17 Maret 2015

Di Suatu Tempat. (A Novel for Fun)

Unknown

2


AKU terbangun di atas sesuatu yang lembut dan dingin. Tanganku merabanya. Dan syukurlah aku masih punya tangan. Pandanganku masih kabur saat aku melihat wajah yang…

            “Bangun!” hardiknya kejam dari bibirnya yang merah dan lebar. Kenapa orang ini punya mulut yang lebar sekali? Semua giginya hitam dan runcing seperti paku. Dan astaga… saat pandanganku sudah mulai membaik, aku baru sadar kalau orang ini tak punya hidung. Mulutnya menguasai hampir separuh wajahnya yang membiru. Matanya yang seluruhnya hitam menatapku tajam. Rambut panjangnya terurai kusut hingga menutupi telinga dan sebagian pipinya.

            Aku beringsut mundur, “Si… siapa kau?”

            “Nggak perlu memasang wajah ketakutan begitu. Kau juga hantu, tak ubahnya denganku. Paham?” Dia melipat tangannya dan membuang wajahnya. Tampaknya Dia tersinggung dengan sikapku yang melihatnya bagai melihat hantu. Yeah, mau dikata apa? Dia memang mengerikan. Dan… what? Aku hantu?

            “Apa… maksudmu?” tanyaku heran. Lama kelamaan, aku terbiasa melihat wajahnya yang berantakan itu. Dan rasa takut yang biasanya aku alami saat melihat sesuatu yang mengerikan, sirna begitu saja. Di dadaku tak ada debar sedikit pun. Semua terasa normal saja. Tak ada beda rasanya dengan bicara pada teman sekelasmu.

            “Bangunlah… aku Lara, seniormu di sini. Ayo, biar kuajak melihat-lihat sekeliling.”

            “Senior? Ini di mana?”

            “Oh, maaf… aku lupa standar operasionalnya. Yap! Ucapkan salam!” katanya dan kemudian berdehem. “Selamat datang di Sekolah Hantu Sektor C.”

            Aku berusaha untuk membangunkan diriku. Ini pasti mimpi. Aku memejamkan mata. Membukanya lagi. Pejam. Buka. Pejam. Buka. Tapi perempuan konyol berwajah mengerikan ini masih di hadapanku. Memandangi kuku-kuku panjang hitamnya yang keriting.

            “Kenapa kau kedip-kedip begitu? Kena sawan?” tanyanya.

            “Aku… ini hanya mimpi, kan?”

            “Emangnya dalam mimpimu kau pernah menanyakan pertanyaan itu?”

            Aku berpikir. Dan jawabannya adalah tak pernah. Hal yang sering kurasakan adalah ketika aku mengalami mimpi buruk, maka akan terbangun dengan sendirinya. Tanpa terlebih dahulu membuat dialog dengan lawan bicaraku di dalam mimpi hal semacam, “Ini hanya mimpi, kan?” Shit. Jadi ini bukan mimpi?

            “Oh, ya… aku lupa lagi. Orang baru sepertimu pasti tak sadar kalau sudah mati. Ya… kuberitahu, kau sudah mati. Dan kau resmi menjadi hantu. Pemerintahan hantu telah memutuskan mengirimkan hantu ABG sepertimu ke Sekolah Hantu Sektor C ini. Dan mereka menetapkan akulah senior yang akan mendampingimu sampai satu bulan ke depan. Hehe.” Ia terkekeh dan aku ingin pingsan. Dia berbicara lagi, “Bagaimana penampilanku? Aku menghapal itu berhari-hari. Sulit bagi hantu yang saat mati kehilangan banyak cairan otaknya untuk menghapal begitu banyak kalimat. Fuih… tapi itu standar penyambutan murid baru. Aku harus bersedia menghapalnya, sudah lama aku menginginkan jabatan sebagai pendamping murid baru. Itu keren!”

            Sumpah! Aku tak peduli dengan penampilannya. Tak peduli pada cita-citanya dan tak peduli pada cairan otaknya yang sudah hilang. Aku hanya peduli pada diriku. Aku sudah mati? Aku memandang tubuhku. Aku masih mengenakan bajuku, kaos oblong biru dan celana jeans yang robek di lutut. Sumpah, tadinya tak robek dan itu bukan bagian fashion. Sepatu kanvas merahku juga masih membalut kakiku. Bedanya, tanganku lebih pucat dan terasa lebih ringan. Dan yang paling aneh dari segalanya, tubuhku transparan.

            “Aku sudah mati?” tanyaku tak percaya. Masih terus memandangi dua tanganku. Aku mencoba memegang pergelangan tanganku yang dingin. Tak ada denyut nadi.

            “Eh… eh… eh… tolong jangan persulit aku. Jangan jadi hantu yang tak bisa menerima kenyataan. Karena semuanya bisa menyirnakan keinginanku untuk menjadi senior terbaik. Kalau kau sampai jadi hantu gila, kau akan dikirim ke bagian psikologi hantu di Rumah Sakit Hantu Sektor C. Itu mengerikan untuk karirku!”

            “Peduli apa dengan karirmu, Hantu Bodoh!” teriakku. Setelahnya aku menyesal, karena ia memandangiku tajam. Mulut lebarnya menganga. Seperti hendak menelan kepalaku bulat-bulat. Aku sudah mulai lari sebelum mendengarnya menangis keras.

            “Huwaaa!!!”

            Aku menarik napas. Tapi tak terasa udara yang kutarik dan tak merasakan udara mengalir keluar. Hanya gerakan tanpa udara.

            “Seharusnya kau yang dikirim ke Rumah Sakit Hantu Sektor C!” dengusku kesal. “Baiklah lakukan tugasmu. Aku akan baik-baik saja.”

            Dia mengangkat wajahnya yang basah. Airmatanya kuning dan pekat. Seperti cairan kental nanah yang menjijikkan. Aku ingin muntah.

            “Kumohon… jangan pernah menangis di hadapanku lagi!” ujarku sambil terus menerus ingin merasakan mual yang kemudian tiba-tiba hilang. Entahlah, cairan menjijikkan dari hantu ini tak lagi membuatku jijik di detik berikutnya. Sama cepatnya dengan menghilangnya rasa takutku saat pertama kali melihatnya tadi.

            Mulutnya melebar… tapi tak lagi seperti hendak mengunyah seseorang. Mungkin dia sedang tersenyum. Aku mengikutinya sambil memperhatikan sekeliling. Ruangan—atau tempat apa pun ini sebutannya—didominasi oleh warna hitam. Kecuali tempat aku menjejakkan kaki. Kami berdiri di sesuatu yang menyerupai awan putih tapi keras sehingga bisa dipijak. Atau bisa jadi tubuh kami yang terlalu ringan sehingga awan tipis ini bisa menyokong berat badan kami. Entahlah.

            Lara mengajakku turun melalui tangga yang juga menyerupai awan tipis. Aku bisa melihat warna hitam seperti suasana di sekelilingku tersibak di sela-selanya. Dan jelas… ini bukan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Bahkan tidak di alam mimpi. Dan… tiba-tiba jiwaku serasa hampa. Benarkah aku sudah mati? Aku mati? Aku mati! Aku jadi hantu!!!

            “TIDAAAKKK!!!” Aku menjerit histeris dan menangis. Aku terjatuh dan terguling-guling dari tangga. Aku melihat Lara melayang di atasku. Ia menyeringai.

            “Ah… terpaksa bawa ke rumah sakit, nih!” ujarnya sebelum aku tak sadarkan diri. PINGSAN. 

Di Suatu Tempat. (A novel for fun)

Unknown

1


Dalam kepalaku, seperti ada arus air yang berputar-putar dengan sangat kencang. Aku bisa mendengar derunya. Bergemuruh seperti suara air jeruk yang diblender. Tak lama, rasa sakit menyerangku secara membabibuta. Sebagian yang menyerang malahan babi melek yang otaknya sudah dijangkiti semacam virus. Virus langka yang bikin babi menjadi semakin sadis. Babi itu tak lagi berperikebabian. Menatap makhluk lain menjadi mangsa yang harus diserang. Kenapa jadi ngomongin babi bervirus, sih? Boneka babi, aku mau…. (kedip manja).

Rasa sakit itu menyebar. Mulai dari leher, dada, perut hingga ujung jempol kaki. Aku mengejang. Ya, gerakan kaku seperti kain kering sehabis direndam oleh semen. Setelah semua anggota tubuh rata kebagian sakit. Lama kelamaan perih itu hilang. Berganti dengan kondisi seperti ditimpa sesuatu yang sangat berat. Amat sangat berat. Mungkin lebih berat dari seribu Pak Choir, guru seni di sekolahku. Pak Choir itu guruku yang paling gemuk. Mungkin beratnya sekitar seratus lima puluh kilogram. Menurutku, sih lebih. Karena bokongnya pernah nggak bisa keluar dari kursi saat hendak berdiri. Banyak kursi guru telah rusak olehnya. Ada yang patah. Atau minimal retak di bagian tepi. Akhirnya kepala sekolah punya ide. Ide yang egois kalau menurutku. Tapi ekonomis—bagi pihak sekolah, bukan bagi Pak Choir. Pak Choir harus membawa kursi miliknya sendiri ke mana-mana. Jadi, kalau guru lain hanya datang membawa tas dan media pembelajaran. Maka, Pak Choir ditambah satu benda. Kursi lipat tanpa penyangga tangan. Kenapa jadi ngomongin Pak Choir? Semoga Allah melindungimu, Pak.

Pak Choir, eh… beban berat itu tak mau enyah, hingga kira-kira beberapa menit ke depan. Napasku sesak. Atau… aku merasakan seperti nggak bernapas sama sekali. Ingin aku menggeliut, agar beban berat itu bergeser. Tapi nggak bisa. Menggerakkan satu jari pun tak kuasa. Tubuhku terkunci. Ada rasa seperti terbakar di dadaku. Tapi hanya sekejap. Selepas itu tubuhku menjadi ringan. Sangat ringan hingga aku merasa bisa terbang sekarang. Dan aku memang terbang, bukan sesuai keinginanku. Melainkan karena ada sesuatu yang mendorongku ke atas. Kejadiannya seperti bulu angsa yang diembus angin bertiup. Bulu angsa itu mungkin nggak mau terbang, tapi angin ingin.

Aku melayang dan sudah berada sekitar satu meter di atas tanah. Padahal, sekali lagi, aku sama sekali nggak pengin terbang. Dan seharusnya, aku lebih heran pada kenyataan kenapa bisa terbang?! Bukan mempermasalahkan aku yang ingin terbang apa enggak. Aku manusia! Seyogianya nggak bisa terbang tanpa alat bantu, kan woy?

Aku melihat ke bawah. Kini jarakku dengan tanah, sudah sekitar tiga meter atau bahkan lebih. Karena aku bisa melihat segala sesuatu di bawah sana hingga radius dua puluh meter. Di sana ada asap hitam yang mengepul. Dari sebuah benda yang terbakar. Benda itu seperti mobil yang posisinya ganjil. Keempat bannya berada di atas. Bulat-bulat kecil kehitaman, berada jauh di sekelilingnya. Itu kepala orang-orang yang menonton. Ingin tahu. Hanya ingin tahu, dengan kecil kemungkinan ingin bantu. Tapi, apa yang bisa dibantu dari mobil terbakar ringsek begitu?

Aku masih nggak tahu berapa lama, sesuatu—bisa jadi angin, lift, kerekan atau apapun—yang membawaku ke atas ini. Aku sempat memeriksa kuku yang cobel dan mengigitnya. Tiduran dalam kondisi melayang, tentunya. Dan berkhayal konser di depan ribuan penggemar yang menjerit-jerit histeris. Beberapa menit sekali aku melirik ke bawah. Lirikan pertama, aku melihat atap rumah dan gedung-gedung yang semakin kecil. Lirikan kedua, semuanya terlihat semakin jauh. Lirikan ketiga, aku memandang pelataran lebar yang didominasi warna hijau dan cokelat. Lirikan keempat, aku melihat pulau yang dikelilingi air laut berwarna biru. Pada lirikan keempat aku terlompat dan hampir kehilangan keseimbangan saking kagetnya. Tapi aku nggak jatuh. Aku sudah terbang sejauh ini? (Masa, sih jauh?)

Aku berusaha tenang pada awalnya. Tahap-tahap lirikan ke bawah yang sudah kulalui memiliki level kengerian yang berbeda-beda. Lirikan pertama, aku bisa tenang—lebih ke menikmati sensasi bisa terbang. Lirikan kedua, agak kalut. Lirikan ketiga agak kalut campur takut. Lirikan keempat kaget bukan kepalang. Kini, aku takut melihat ke bawah. Sekelilingku yang tadinya terang telah berubah jadi gelap. Tapi biar bagaimanapun aku harus melihat ke bawah. Memastikan sudah sampai di mana aku sekarang.

Perlahan tapi pasti, kuputar kepalaku. Dan… jreng!!! Aku melihat separuh permukaan bumi yang bulat. Beberapa sisi diselaputi awan tipis. Hijau, cokelat dan biru mendominasi. Kali ini, aku nggak tau. Harus terkejut atau pingsan dulu. Pada saat memikirkan hendak melakukan apa, tiba-tiba tubuhku ditarik. Tepatnya disedot! Ada angin bertenaga super yang mengisap diriku. Aku bagai debu yang diisap Vacum Cleaner yang bisa didapat dari memesan melalui sms atau telepon. Dengan harga tak genap, yang selalu berakhir dengan angka sembilan, sembilan, sembilan.

Tubuhku berputar-putar di pusaran angin. Rasanya lebih mengerikan dari naik rollercoaster yang diputar seratus kali lebih cepat. Anggota tubuhku bagai tercerabut dari tempatnya. Aku nggak bisa merasakan mana tangan, mana kepala. Mana kaki, mana jantungku. Semuanya seolah menyatu menjadi gumpalan tubuh jelek. Seharusnya aku sudah merasa pusing. Tapi mungkin rasa sakitnya sudah melebihi pusing. Jadi aku hanya merasakan semacam kejang di bagian kepalaku yang entah di mana itu. Aku pengin memuntahkan sesuatu, tapi… perutku juga entah di mana.

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes