Senin, 23 Mei 2016

Review atau Resensi Novel The Girl on the Train, Paula Hawkins

Unknown



Aku sependapat dengan endorsement novel The Girl on the Train yang ditulis paling akhir dari Collette McBeth, seorang penulis novel triler psikologis, The Life I Left Behind.
            “Perjalanan yang berkecepatan tinggi, penuh putaran dan belokan. Kini, menatap ke luar jendela kereta tak akan sama lagi,” komennya menanggapi novel triler psikologis yang ditulis oleh Paula Hawkins ini.
            Ya, benar. Setelah membaca novel ini, aku pasti punya bayangan lain tentang apa-apa yang kulihat dari jendela kereta. Sesuatu yang tampak normal, biasa, tapi siapa tahu di serba kenormalan itu sebenarnya tersimpan sesuatu. Sesuatu itu di luar dari apa yang kita sangkakan sebelumnya.
            Sama halnya seperti tokoh utama cerita ini: Rachel, dia menaiki kereta yang sama setiap hari menuju London.  Kereta akan selalu berhenti di salah satu sinyal perlintasan tepat di depan sebuah rumah nomor lima belas. Rumah dari sepasang suami istri yang tampaknya memiliki hidup yang ideal dan bahagia. Baginya melihat kehidupan orang asing dan tahu mereka aman dan nyaman di rumahnya membuat Rachel merasa aman juga. Rachel teringat akan kehidupannya sendiri yang dulunya juga sempurna.
            Tapi sebuah kejadian, menghapuskan pandangan baiknya terhadap sepasang suami istri itu. Rachel yang merasa sudah memahami mereka, akhirnya terseret masuk dalam konflik mereka. Bahkan terlalu dalam hingga semuanya kacau. Meski memang pada akhirnya mereka memiliki keterkaitan terhadap Rachel. Namun, kehadirannya di saat yang tidak tepat semakin memperparah keadaan.
            Kelebihan novel ini terletak pada kelihaian penulis dalam menggambarkan serta membongkar sisi psikologis masing-masing karakter. Pergumulan batin yang terjadi dalam tiap karakter membuat pembaca jadi berpusar dan tenggelam di alam pikiran tiap karakter. Tindak-tanduk karakter juga terbangun sempurna sesuai dengan sisi psikologis yang dipaparkan hingga semuanya masuk akal. Ini berbuat ini karena begitu. Itu berbuat itu karena begini. Logis.
            Kisah ini disajikan melalui PoV tiga karakter secara bergantian: Rachel, Megan dan Anna, hingga secara detail kita bisa mengetahui pergulatan emosional masing-masing karakter—apa yang mereka pikirkan—serta masa lalu mereka. Mau tak mau, sebagai pembaca terkadang kita tiba-tiba sangat membenci Rachel, atau suka pada Megan. Lalu di halaman berikutnya pembaca bisa membenci Megan dan Anna dan berpihak pada Rachel.
            Penulis rapi menebarkan petunjuk-pertunjuk, hingga pada awalnya kita merasa benar-benar bisa menebak siapa sebenarnya yang jahat. Penulis secara cerdas menyembunyikan twist untuk dibongkar di—hampir—akhir cerita. Tapi tidak secara terang-terangan memunculkannya secara tiba-tiba (bukan karakter yang tiba-tiba muncul di akhir). Dia sudah ada sejak awal. Penulis juga cukup cerdik menghadirkan beberapa hal untuk pengalihan. Keren dan cerdas!!!
            Sangat direkomendasikan bagi pembaca yang suka kisah seru dan misteri. Bersiap-siap menyelami sisi psikologis seseorang yang mungkin saja membuatmu ikut tersesat dalam jalam pikiranmu sendiri. Siap-siap untuk terkejut dengan akhir kisah ini.
Kabarnya novel ini akan difilmkan oleh Dream Works Studios. Kita tunggu saja peluncuran filmnya di bulan Oktober tahun ini.

Yunita R. Saragi
Medan, 24 Mei 2016







Rabu, 18 Mei 2016

Dalam Kondisi Krisis (Writer's Block)

Unknown



Gelagatku buruk akhir-akhir ini. Tidak bersemangat melakukan apa-apa. Padahal bumi terus berputar. Waktu terus pergi meninggalkanku. Katanya aku punya mimpi? Kapan terwujud jika yang muncul hanya rasa malas seperti ini? Orang-orang rajin di luar sana pasti telah mengutukku. Mengatakan aku si pecundang bodoh yang pemalas. Kapan akan jadi orang sukses? Walau aku bisa berdalih ukuran kesuksesan tiap orang itu berbeda. Iya, memang. Tapi bagaimana orang bisa mengatakan aku sukses sementara aku juga tidak merasa sudah sukses.

Ya, mulai tahun 2011, aku memutuskan hengkang dari dunia pendidikan--dulu aku guru--untuk fokus ke dunia tulis menulis. Sudah berjalan lima tahun, dan sepertinya aku belum melakukan apa-apa. Memang, Alhamdulillah, antologiku sudah ada beberapa, satu novel pun sudah terbit. Tapi... apakah itu cukup? Aku rasa... belum.

Jujur, selain karena hobi, aku menulis juga untuk mendapatkan materi. Berharap bisa hidup dari itu. Berharap bisa membuat orangtuaku bangga karena itu. Tapi apakah itu bisa tercapai, jika tiap-tiap ingin memulai menulis aku merasa mengantuk? Aku bisa saja menyalahkan semua itu karena faktor eksternal. Aku juga ibu rumah tangga yang harus mencuci, membersihkan rumah, memasak dan juga harus mengerjakan seabrek pekerjaan rumah lainnya. Aku bisa menyalahkan hal itu. Aku pun bisa menyalahkan kondisi rumahku yang tidak kondusif untuk menulis. Bahkan aku bisa menyalahkan kursiku yang tidak ergonomis hingga membuatku tidak nyaman. Ya, aku sudah melakukannya. Iya, aku sudah menyalahkan semua yang ada di sekitarku. Tanpa mau melongok ke dalam diriku sendiri. What the hell is going on??? Aku kenapa?

Setiap bangun tidur, tekadku sudah bulat. Aku harus meneruskan tulisanku. Aku harus meneruskan apa yang sudah kumulai. Tanggung jawabku adalah meneruskan dan menamatkan kehidupan dari karakter yang aku buat. Apa kabar Rein dan Lindung? Apa kabar Sabit dan Gerhana? Apa kabar Nitania dan Jimmy? Semuanya adalah orang-orang--yang meski fiktif--telah kutinggalkan begitu saja. Kisah mereka terombang-ambing di dalam file. Mereka memerlukanku. Aku yakin mereka sedang menungguku untuk menyelesaikan masa depan mereka. Tiap hari aku sudah berhasil memupuk semangat untuk bertegur sapa dengan mereka.

Namun, apa yang terjadi? Ketika mulai membuka laptop, aku malah tersasar ke media sosial yang harus kucek--sebagian karena pekerjaanku ada di situ. Tapi sebenarnya tak perlu berlama-lama. Dan, kau tau??? Yeah, aku sering berlama-lama terjebak dan tenggelam di sana. Lupa dengan segala. Lupa dengan Rein, Lindung, Sabit, Gerhana, Nitania dan Jimmy.

Hah, rusak, rusak.... Aku merasa rusak dan bodoh. Sampai kapan itu harus berakhir?
Aku juga perlu medsos, jadi aku tak bisa begitu saja membuangnya. Apakah aku harus membuangnya???
Oh, God.... Kembali lagi... berpikir, Nyit. Berpikir!!! Sadarlah!!! Semua itu kuncinya ada pada diri sendiri.

Bukan hanya teralih pada medsos saja, sepertinya aku stuck!!! Aku tak bisa meneruskan tulisanku. Aku sudah mencoba menulis, tapi menurutku apa yang aku tuliskan itu semua buruk. Jadi, semuanya kuhapus dan kuhapus lagi....

Katanya, dari artikel yang kubaca untuk mengatasi writer's block, selama mengalami krisis ini baiknya memang berhenti dulu menulis. Lantas, mulailah membaca. Membaca karya siapa saja. Aku sudah melakukannya, bahkan aku mencoba membaca The Little Princess tadi malam. Apa yang terjadi, rasa malas membaca tiba-tiba menderaku.

Apakah aku kurang piknik??? Aku rasa tidak. Apa kata suamiku tentang hal ini? Dia sudah cukup-cukup membawaku jalan-jalan ke mana saja tempat yang kuinginkan. (belum semua, sih). Begh!!! Tapi aku sudah sangat bersyukur sejauh ini, bisa menjelajahi tempat-tempat baru yang keren.

Apa aku harus keluar sekarang? Pergi ke perpustkaan kota misalnya? Membaca dengan suasana yang berbeda. Mungkin.... Mungkin aku akan melakukan itu....

Baiklah, biarlah tulisan ini aku akhiri dulu sampai di sini. Ketika nanti aku kembali, mudah-mudahan aku sudah mendapatkan solusi yang bisa kubagikan dengan sobat semua.

Good morning dari Medan.

19 Mei 2016

Kamis, 28 April 2016

About Rein Sinopsis

Unknown


Sinopsis “About Rein”
A Novel by Yunita R. Saragi

HIDUP tak selamanya tentang impian. Terkadang, kenyataan hidup yang menggiring kita ke tempat seharusnya kita berada.(Parlindungan Manurung)

Namaku Parlindungan Manurung. Tapi ini kisah bukan tentangku. Melainkan tentang sahabatku, Reinata Rey Sidabutar. Seorang perempuan dua puluh tiga tahun, si Batak berdarah muggle alias campuran Jawa Solo yang punya mimpi jadi drummer ternama di dunia dan akhirat. Dia seorang perempuan berwatak keras, apalagi jika berhubungan dengan persoalan mimpi-mimpinya. Meski banyak halangan dan rintangan yang menyambangi, dia tak menyerah. Tak akan pernah menyerah.
Tante Tata, mamanya adalah orang yang paling keras menentang cita-citanya. Tante Tata malah menyogok aparat, untuk memasukkannya menjadi seorang PNS. Rein terpaksa ‘ngantor’ dalam seragam PNS beberapa bulan. Bukan hanya itu saja, Rein bilang padaku kalau dia tiba-tiba punya Opung. Karena suatu hal, papa Rein sempat tak terhubung lagi dengan seluruh keluarganya di Pulau Samosir, Danau Toba selama puluhan tahun. Dia sempat senang mengetahui hal itu. Tapi ternyata kedatangan opungnya membawa masalah lain. Dia dipaksa menikah dengan paribannya di Samosir. Semua hal itu membuat Rein gila parah dan nggak tahan pol. Rein melarikan diri dari rumah, hidup luntang-lantung, terlibat narkoba dan hampir diperkosa oleh seorang produser musik yang menjanjikan album.
Semua itu terjadi karena aku! Karena aku! Sahabat macam apa aku yang pergi begitu saja meninggalkannya? Dia memang tak pernah memintaku agar terus ada di sampingnya. Ah, aku salah. Sebenarnya dia telah mengirimkan sinyal ingin selalu bersamaku ketika dia mengajakku untuk membentuk sebuah band bersama, tepat setelah kami sama-sama diwisuda. Tapi aku tak mengerti isyarat itu. Dulu waktu ikut Pramuka, aku payah membaca sandi. Aku hanya pandai mendirikan kemah. Aku pergi untuk bergabung dengan sebuah band papan atas Indonesia yang pada saat itu membutuhkan seorang gitaris. Ya, aku pergi meninggalkannya.
Yang membuatku sadar kalau Rein butuh aku adalah ketika aku melihatnya terbaring di ICU. Rein over dosis. Sejak saat itu, aku berjanji akan selalu ada di sampingnya. Aku memutuskan hengkang dari Maha Band. Keputusan yang terlihat sangat-sangat bodoh. Tapi lebih bodoh lagi jika aku membiarkan Rein. Aku takut kehilangannya. Orang yang amat sangat kucintai. Cinta? Ya, aku mencintainya lebih dari cinta kepada sahabat. Meskipun dia tidak tahu. Dan tak boleh tahu.
Aku dan opungnya merencanakan sesuatu. Sesuatu yang membawa kami ke dalam ruang katarsis. Sesuatu yang membawa perubahan yang tak pernah aku dan Rein bayangkan sebelumnya.
             Mohon maaf jika dalam penyampaianku tentang cerita Rein ini banyak menggunakan kalimat-kalimat khas Medan dan sekitarnya. Karena aku memang berasal dari sana. Sulit untuk menghilangkan bahasaku walaupun di dalam bentuk tulisan. Terimalah aku apa adanya, Beib. Ciyeee... (kedip-kedip). Sekali lagi, aku Parlindungan Manurung, ini bukan cerita tentangku. Tapi... semua tentang Reinata Rey Sidabutar.

Minggu, 03 April 2016

TIGA HARI MENGELILINGI DANAU TOBA ( part 1 )

Unknown
Dengan visi untuk menyenangkan keluarga, liburan selama tiga hari ini, kami pergunakan dengan sebaik-baiknya. Bersama suami, mertua, adik-adik ipar, kami memutuskan untuk menikmati liburan dengan cara yang tidak biasa.

          Bagi warga Sumatera Utara dan sekitarnya, menikmati Danau Toba dari pinggiran kota Parapat mungkin sudah biasa. Akan menjadi pengalaman tersendiri jika kita mau sedikit berlelah-lelah untuk memandang danau terluas se-Asia Tenggara itu dari sisi yang berbeda.

Mari kita mulai perjalan yang luar biasa ini!!!

       Jauh-jauh hari, suamiku, sebagai Pimpro sekaligus penyandang dana utama, mulai mencari spot-spot keren dan penginapan yang murah dan layak untuk kami semua melalui internet. Hanya sebagai bekal informasi agar tidak tersesat. Selebihnya tak perlu khawatir. Asal ada mulut untuk berbicara sopan, orang lokal pasti akan bersedia membantu.

Kami tidak memiliki kendaraan pribadi, sehingga kami harus menyewa satu mini bus yang bisa menampung tujuh orang—termasuk sopir—untuk pertualangan kali ini. Karena ingin mendapatkan suasana lapang, Suzuki APV yang kami pilih. Maklum, dua orang anggota perjalanan ini bertubuh sehat, subur dan terawat. Hihihi. Sorry, Mommy and Bude J Sebagai informasi bagi anda, di sini rental mobil memiliki kisaran harga dari 250,000 s/d 300.000 IDR per hari dengan sistem lepas kunci (sopir sendiri). Jenis mobil yang didapat dengan kisaran harga demikian itu bisa Avanza, Xenia atau APV, biasanya full AC, dengan bahan bakar ditanggung sendiri.

Kami berangkat pukul tujuh pagi dari kediaman kami di Bandar Setia, Deli Serdang. Rapat koordinasi yang telah kami lakukan sebelumnya, telah menyepakati bahwa kami harus membawa bekal, minimal untuk mengurangi biaya konsumsi selama dalam perjalanan. Ini juga bisa dijadikan tips untuk keluarga-keluarga di luar sana yang ingin bersenang-senang dengan cara menekan biaya pengeluaran menjadi sekecil mungkin. Kami membawa beberapa jenis makanan tahan lama (Sartika alias sambal teri kacang sudah pasti masuk dalam daftar teratas dalam billboard edisi makanan tahan lama terlaris sepanjang masa—di SUMUT), beras, rice cooker dan juga teko listrik pemasak air. Beras dan rice cooker sengaja dibawa untuk mendapatkan nasi yang selalu baru dan hangat.

Tujuan pertama kami di hari pertama ini adalah Balige. Sebab sudah lama penasaran dengan keberadaan Museum Batak T. B. Silalahi Center yang bertempat di Desa Silalahi Kecamatan Balige itu. Dengar-dengar, museum pribadi milik seorang purnawirawan jenderal TNI itu menyimpan banyak hal yang menarik untuk dilihat. Selain menyimpan jejak kehidupan seorang T. B. Silalahi dari mulai menjadi seorang pengembala kerbau hingga menjadi seorang jenderal yang menginspirasi, juga menyimpan berbagai pernak-pernik kebudayaan suku Batak yang harus dilestarikan. Sebagai boru Batak—meski Batak nalilu karena sudah terakulturasi dengan budaya lain—aku merasa ini adalah perjalanan pulang kampung yang turut menimbulkan perasaan secara emosional—rindu pada tanah kelahiran.



          Karena hati yang riang, perjalanan Medan-Balige selama sekitar enam jam pun tidak terasa. Kami sudah melewati Porsea dan telah pun sampai di ibukota kabupaten Toba Samosir—Balige. Matahari yang bersinar garang menyambut kedatangan kami. Maklumlah perkiraan cuaca memang memberitahukan bahwa hari itu merupakan puncak badai matahari yang sedang melanda sebagian wilayah di Indonesia. Meski begitu embusan angin sejuk di kota kecil ini cukup menolong. Saran, untuk merasakan atmosfir kota lebih baik tidak menggunakan AC. Angin kota Balige sejuk dan masih minim polusi udara.

          Sebaik menginjakkan kaki di Balige, kami langsung bergerak ke Balige Dock, alias Pelabuhan Ballige. Sebab kami memang berniat menyeberang ke pulau Samosir setelahnya. Kami langsung mengecek jadwal keberangkatan kapal Ferry agar tidak ketinggalan. Dari Balige, kapal Ferry hanya berangkat sekali setiap hari. Setiap jam 16.30 WIB biasanya kapal akan berangkat tepat waktu. Kami langsung memesan tiket. Untuk kendaraan roda empat harga tiket sekitar 180,000 IDR. Untuk penumpang yang ada di dalam mobil, membayar 25,000 IDR per kepala. Tiket Ferry sudah aman! Sekarang, waktunya mengeksplorasi Balige!!!

          Setelah bertanya arah pada warga yang kami temui, akhirnya sampai juga di Museum Batak T. B. Silalahi Center yang termahsyur itu. Kemegahan dan keindahannya sudah tampak dari luar. Tapi sayangnya hari itu tutup. Saat itu memang sedang libur paskah. Selain kami, banyak juga pengunjung lain yang kecewa. Contohnya saja rombongan keluarga yang baru datang dari Sibolga. Sempat juga mereka membujuk agar penjaga yang hari itu sedang berjaga di depan gerbang untuk membukanya, tapi para petugas itu tetap memegang komitmen. Pekerja yang amanah dan tak tergiur rupiah rupanya. Keren buat penjaga T. B. Silalahi Center!

          Tak jauh dari sana, ada Makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII. Kami pun masuk untuk mengobati kekecewaan serta melepas lelah setelah enam jam perjalanan, dan juga untuk mengenang sejarah perjuangan Sisingamangaraja dan berziarah tentunya. Kompleks pemakaman bersih dan sangat sejuk. Pohon-pohon besar menaungi taman dan bangku-bangku taman yang disediakan untuk pengunjung.




Makamnya sendiri berada agak di dalam. Dibatasi pagar dan gerbang yang berbentuk atap rumah adat Batak. Penjaganya sedang tidak ada. Tapi di gerbang ada sebuah meja yang di atasnya terdapat kaleng berisi sejumlah uang yang kuduga kuat berupa kotak sumbangan suka rela. Melihat ini, sudah tahu apa yang harus dilakukan, kan? Hey! Jangan kotor pemikiran kalian! Hahaha. Aku bukan mau mencurinya, tapi minimal ikut menyumbang juga sedikit.


         

Berfoto dengan Mommy mertua di depan gerbang makam Raja Sisingamangaraja ke XII

            Setelah kami masuk, pengunjung lain yang tadinya hendak ke T. B. Silalahi Center pun jadi beralih ke makam ini. Seketika makam yang tadinya sunyi mendadak ramai. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera aku masuk ke dalam dan berdoa sesuai agamaku untuk tokoh yang namanya besar karena turut berjuang demi Indonesia.


Berdoa di depan makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII



          Tepat di belakang makam Sisingamangaraja, ada beberapa makam keluarga dan keturunannya. Makam itu dihiasi ukiran khas Batak yang disebut motif Gorga. Sangat unik dan berkarakter.


          Karena masuk ke areal pemakaman harus melepas alas kaki, jika siang terik begini, maka bersiaplah menikmati sensasi panas lantai marmer yang bikin kamu terlonjak-lonjak asyik!!!


Hot Floor Dancing. Yeiyyy!!!

          Tak berapa lama, penjaga makam datang dan tersenyum ramah pada kami. Pada saat itu kami langsung bertanya, boleh apa tidak makan siang di sini. Dia menjawab dengan santun, Boleh... boleh, Pak, Bu! Silakan. Kami pun berjanji akan menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Jangan khawatir, kompleks ini dilengkapi banyak tong sampah. Jadi tidak ada alasan untuk membuang sampah sembarangan. Seperti motto para pertualang, Jangan meninggalkan apa pun kecuali kenangan. Jangan mengambil apa pun kecuali foto. (Gitunya? Kurang yakin, sih. Hihihi. Tapi itulah itu. You know what I mean).

          Tepat pukul dua, perut kami yang sudah keroncongan pun dipenuhi haknya. Makan yang nikmat di bawah rimbun pohon melambai dan angin Balige yang semilir. Banyak puppies di sekitar sini. Untuk yang Muslim, dont worry, puppies-nya baik-baik dan cantik-cantik. Mereka sudah terbiasa dengan pengunjung. Mereka hanya duduk manis berderetan dengan damai bersama para kucing untuk menanti sisa-sisa makanan darimu. Theyre really good boys (or girls).

          Perut sudah kenyang, lelah pun tlah terobati. Suasana yang sejuk membuat kami masih enggan beranjak. Aku dan suamiku berjalan berkeliling. Ternyata di sana ada sebuah perpustakaan yang memuat buku-buku tentang perjuangan Sisingamangaraja. Tapi sayang, kondisinya kurang terawat. Yang kami lihat dari balik kaca jendela, hanyalah buku-buku tak terurus yang beberapa berserakan di lantai.

       Di sana, kami bertemu dengan bocah kecil bernama Bobby. Dia orang setempat yang sedang berplesiran bersama keluarganya. Logat bataknya sangat kental. Jarang mendengar yang sekental itu di Medan. Kalau yang logat batak ringan, semua pun kami di Medan berlogat seperti itu. Suamiku yang campuran Jawa Melayu sangat senang mendengar ketika dia bicara. Maka, dia terus menerus mengutarakan pertanyaan pada si bocah tentang ini itu. Awalnya aku agak kurang setuju dengan suamiku yang mungkin bisa mengusik ketenangannya bermain.

Namun, saat seorang perempuan—yang kami ketahui kemudian adalah kakak perempuan bocah kelas enam SD itu—datang untuk mengajaknya makan, dia enggan karena masih ingin mengobrol dengan kami.

Enak, Tulang, baca-baca di perpustakaan itu. Infonya tanpa diminta. Sejak awal dia memanggil suamiku Tulang. Panggilan orang sini sebagai pengganti Om. Sementara, aku dipanggilnya Nantulang (Nangtulang), pengganti Tante.

Kau pernah ke sini? tanya suamiku.

Pernah rame-rame kami dari sekolah.

Eh, coba kau baca dulu tulisan itu! kata suamiku sambil menunjuk tulisan yang menggunakan aksara Batak di gerbang samping makam.

Dia tercenung sebentar.

Hey! Nanti kubilang sama gurumu, ya, kalo kau nggak pande. Muatan lokal kelen, kan bahasa Batak?

Dia lantas mengangguk dan cepat menjawab, Horas Be Ma!

Bagus!!! kataku.

Masih banyak lagi percakapan yang dirangkai suamiku dengannya, aku tak begitu mendengarkan lagi karena fokus pada yang lain.

Tak berapa lama, satu keluarga membawa ulos (kain khas suku Batak) tiba. Aku tertarik dan mendatangi mereka. Aku pe-de aja dekat-dekat dengan mereka. Siapa tahu bisa jadi bahan tulisanku, hehehe. Pertama-tama, aku belum berani menyapa. Hanya mengamati saja (dari jarak aman supaya mereka tidak terlalu jengah karena kupandangi). Mereka mengeluarkan sirih, jeruk purut dan bunga. Pasti hendak ada sesuatu ini, batinku. Penjaga makam pun sudah ada bersama mereka. Dia sedang mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada keluarga itu. Kalau tidak bertanya, bagaimana bisa mendapatkan informasi untuk ditulis?

Mau ada acara apa, Pak?

Sang kepala keluarga yang sedang menggendong cucunya pun menjawab, Hanya berziarah ke tempat Oppung. Dia tersenyum ramah.

Aku pun mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan, setiap paskah umat nasrani pasti mengunjungi makam keluarganya. Mereka berdoa untuk leluhur sekaligus memohon keselamatan untuk yang masih hidup.

Adik ini orang apa? tanyanya lagi. Ini pertanyaan lumrah jika kau tiba di tanah Batak dan sekitarnya. Kalau ini terjadi, jawablah sesuai apa sukumu. Jangan takut, meskipun bukan orang Batak, yang bertanya itu pasti masih akan sangat menghargaimu. Pertanyaan itu biasanya diajukan hanya untuk mengetahui panggilan apa yang harus kita sematkan pada orang yang baru kita temui itu. Jangan sampai salah panggil, sinungkun ma marga at the first place.

Saya orang Batak tapi udah campuran gitulah, kataku menjelaskan. Karena nanti kalau ditanya lebih lanjut tentang Batak, aku jadi nalilu alias bingung.

Boru apa? tanyanya lagi.

Saragi, jawabku kalem.

Tiba-tiba salah satu anaknya berteriak, Ya, ampun! Sodaramu, Mak!

Seorang perempuan setengah baya yang sedang sibuk mempersiapkan sirih untuk ziarah, langsung menghentikan aktivitasnya. Dia tersenyum lebar dan menyalamiku. Kalau kondisinya memungkinkan, pasti dia juga akan memelukku. Wuah, beginilah senangnya jadi orang Batak, keluarga ada di mana-mana. Ternyata dia Nangboru-ku. Karena dia semarga denganku. Jadi, tak salah, kan kalau perjalananku kali ini adalah perjalanan pulang kampung?

Menantunya yang laki-laki langsung bicara padaku, Kakak juga boleh ikut ziarah. Tapi memang, syarat-syaratnya harus bawa sendiri.

Saya sudah ziarah, kok. Ya menurut kepercayaan saya tentunya. AKu tersenyum.

Oh, iya iya nggak apa-apa. Islam Kristen, tapi yang pasti kita satu Oppung, katanya sambil tertawa renyah.

          Mereka pun memulai ritual dipandu sang penjaga makam. Dia mengucapkan doa-doa dalam bahasa Batak yang hampir seluruhnya, tak kupahami. (how pity I am T_T)


Untuk menjaga kekhusyukan, mengambil fotonya dari jauh aja. Hehe. Maklum, tak punya lensa tele.

          Selain T. B. Silalahi Center, Makam Sisingamangaraja, dan banyak makam-makam dan tugu-tugu lain yang menggambarkan sejarah suku Batak, Balige juga punya lokasi wisata yang sangat menarik. Sebagai salah satu wilayah yang mendapat bagian tepi Danau Toba Nauli ini, tentu Balige mempunyai tempat terbaik untuk menikmatinya. Salah satu yang paling sering dikunjungi wisatawan adalah Lumban Silintong. Di sana banyak kafe-kafe terapung. Bisa hanya sekadar menikmati pemandangan danau, bisa berenang di danau, atau menikmati ikan bakar. Ikan yang diambil langsung dari Danau Toba.

          Salah satu lagi yang unik di Balige, adalah pasar tradisionalnya. Bangunan pasar terciamik yang pernah aku lihat. Atap runcingnya menjulang tinggi. Dibuat persis seperti rumah adat Batak. Bukan hanya satu, tapi dibuat berjajar-jajar, hingga terasa kemegahannya.



Ada cerita unik saat mobil kami melintasi pasar ini. Sesuatu seolah hadir begitu saja di benakku. Perasaan yang sering aku alami: de javu. Dulu aku memang pernah ke sini semasa kecil. Tapi masih kurang familiar dengan kota ini. Perasaan yang hadir kembali itu adalah perasaan yang sangat familiar. Karena baru-baru ini aku seolah pernah mengunjunginya. Ternyata setelah kuingat-ingat, aku pernah mengunjunginya di dalam mimpi. Jauh dari sebelum merencanakan perjalanan ini. Di dalam mimpi itu aku sedang berada di pasar ini tapi dalam kondisi tidak ada orang sama sekali. Masih di dalam mimpi, setelah dari pasar ini aku melakukan perjalanan lagi menyusuri jalan yang meliuk-liuk, kanan-kiri ada pepohonan—lebih banyak pohon bambu. Aku mengunjungi rumah adat Batak yang dikelilingi danau bahkan tinggal di sana. Dan asal kalian tahu, ternyata mimpi itu semuanya menjadi kenyataan tepat pada hari ini. Hey! Aku menyadari semua ini, ya baru sekarang, Di saat aku menuliskan kembali kisah ini. Hal-hal seperti ini, sering terjadi pada diriku.

Lupakan masalah de javu tak pentingku itu. Kita lanjutkan. Karena waktu terbatas, maka kami hanya berkeliling saja di Lumban Silintong. Langsung bergerak menuju Balige Dock, untuk menunggu keberangkatan menuju Pulau Samosir. Dari pelabuhan kecil ini kita akan menyeberang ke dermaga di Onan Runggu, Samosir. Hanya sekitar 45 menit perjalanan. Selain kapal Ferry, juga tersedia kapal penumpang yang berangkatnya tidak seterbatas kapal Ferry. Namun, sangat disayangkan, kondisi pelabuhan agak jorok. Mungkin juga karena difungsikan sebagai tempat berdagang. Semoga kita semua cepat sadar, bahwa keindahan dari Tuhan perlu juga kita jaga agar tetap bisa dinikmati hingga anak cucu kelak. Bersih itu lebih keren, Bro!



Mommy mertua dan Bude at Balige Dock, menunggu kapal berangkat.



Pimpro alias my husband yang sedang menikmati teh kemasan rasa buah di atas geladak kapal sambil memikirkan ke mana akan membawa rombongan setelah ini. Kesenangan kami ada di pundaknya. :D Sehat terus, Honey! Muah!



Adik ipar dan istrinya, sekalian bulan madu. Ciut cuit!!! Bahagia terus, ya sampe maut memisahkan... ;-)


          Beda dengan kondisi dermaga yang sedikit kotor, kondisi kapal sangat bersih dan terawat. Di dekat kabin kemudi, banyak terdapat pot-pot bunga yang mampu menyejukkan mata. Dari Bude yang sempat bertegur sapa dengan salah satu awak kapal, kami mengetahui bahwa seluruh kru kapal berjumlah delapan orang. Semuanya memiliki sertifikasi dalam bidang perkapalan dan pelayaran dari akademi-akademi pelayaran terakreditasi. Insyaallah, jika Allan berhendak, perjalanan melintasi danau indah ini dijamin aman.



          Tepat pukul 16.30 WIB, peluit kapal berbunyi nyaring. Sauh diangkat. Gerimis mengiringi keberangkatan kami ke potongan surga di depan sana. Good bye, Balige, kota sejuk yang memesona. See you later. And Samosir Island, tunggu kami datang!!!

Medan, 03 April 2016

Jangan lupa, nantikan catatan Tiga Hari Mengelilingi Danau Toba (part 2), ya. Akan ada keseruan-keseruan di piece of paradise, Samosir Island. 

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes