Senin, 10 Maret 2014

Senja di Antara Tangis Kios Buku Loak dan Tawa Centre Point Medan

Unknown
Sore itu aliran listrik mati. Tapi bukan di sini, di sana, di permukiman penduduk yang pasrah tanpa Genset. Ini pusat kota, hampir semua gedungnya punya Genset. Maka seperti selayaknya sore yang biasa, lampu-lampu mulai dihidupkan. Tak perlu lilin, yang ada hanyalah geraman mesin Genset yang kian menderu di belakang gedung-gedung.

            Bibir Stasiun Kota dikerubuti becak-becak, taksi-taksi dan angkot-angkot. Serangkaian kereta api baru saja mendenguskan lenguhan remnya. Menetaskan para penumpang kusut dan kelelahan akibat perjalanan jauh di atas gerbong yang melonjak-lonjak dari pintunya yang menganga. Merekalah yang dinanti para penyedia jasa angkutan itu.

            Di tengah hiruk pikuk para penumpang kereta api yang satu per satu mulai memilih jenis angkutan sesuai isi kantong dan tingkat kepraktisannya lalu pergi, Opung Lokomotif terbatuk di singgasananya. Matanya berat, mulutnya banyak menguap dan punggungnya pegal. Lokomotif antik peninggalan zaman Belanda itu hampir terlelap, sebelum lampu blitz sebuah kamera menjilat hidungnya dan ia tersentak. Seorang Ayah sedang mengabadikan pose lucu putri kecilnya bersama moncong tua Opung Lokomotif. Tanpa diminta si gadis kecil mengganti pose dengan menyentuh hidung hitam Opung Lokomotif. Hitam bukan karena sering terjerang matahari, tapi memang hitam dari sananya.

            Opung Lokomotif setengah mengekeh saat melihat di gadis kecil yang kini memonyongkan bibir mungilnya dan menaikkan jari telunjuk dan jari tengah seolah menghitung angka dua. Inilah beda anak di tahun 80-90an dan anak tahun 2000-an. Anak tahun 2000-an semuanya fasih bergaya di depan kamera. Si Opung bingung menentukan hendak heran pada yang mana. Sebab ia tak dapat pula memastikan gaya kaku anak-anak 80-90an itu dikarenakan tuntutan dan tekanan psikologis yang mengharuskan hasilnya bagus karena tak dapat diulang dan buat sayang film,  atau memang anak zaman 2000-an merasa terlalu rileks karena kalau hasil foto jelek bisa dihapus begitu saja dan bisa diulang sampai berapa kali mereka mau. Yang pasti Opung tahu, orang-orang 80-90an lebih suka mencetak foto mereka dan menyimpannya di album sedangkan orang sekarang lebih suka meng-upload-nya ke media sosial.

            Kembali ke sore itu, orang-orang yang mengunjungi Opung Lokomotif kian banyak. Opung melayani mereka dengan ramah, namun kembali bosan kala para pengunjung sudah asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Opung Lokomotif mulai mengantuk lagi dan menguap. Ekor matanya melirik lirih pada pagar seng tinggi di pinggang Lapangan Merdeka.

            Kalian tahu? Opung Lokomotif tak biasanya lesu di sore begini. Ia sering merasa bosan dan sedih akhir-akhir ini. Bukannya ia tak suka lagi dipajang di depan Stasiun Kota, malah ia bangga bisa memberikan sepenggal kisah sejarah pada warga Medan, tentang kejayaannya saat menggerus rel-rel kereta api sepanjang wilayah Sumatera beratus tahun yang lalu. Yang membuat ia lesu dan sedih adalah, bahwa ia akan kehilangan sahabatnya. Ia akan kehilangan geliat keriangan sederhana yang bisa ia saksikan di seberang jalan, memerhatikan aktifitas tukar menukar ilmu dengan rupiah yang disepakati dalam senyum antar penjual dan pembeli. Bahkan ia pasti akan merindukan tawar-menawar alot yang dilakukan mahasiswa berkantong tipis agar bisa mendapatkan buku-buku murah di bawah rerimbun pohon Trembesi Lapangan Merdeka. Ia akan sangat merindukan ekspresi sumringah orang-orang yang membawa banyak buku pulang ke rumah dengan harapan bertambahnya ilmu pengetahuan bagi dirinya.

            Opung Lokomotif mendengar puing-puing Kios Buku Loak di balik pagar seng merintih gigil.
“Kau masih di sana?” tanya Opung dengan suara serak pada puing-puing Kios Buku Loak.
“Ya, Pung. Mungkin ini hari terakhir, sebelum besok pagi puingku dibuang entah kemana,” jawab puing pelan.
“Hah… aku pasti akan kesepian…,” keluh Opung Lokomotif.
“Berkenalan lah dengan gedung mewah itu, Pung. Centre Point Mall. Gagah benar ia…,” saran puing-puing Kios Buku Loak. Hidungnya yang tinggal separuh menunjuk pada sebuah bangunan megah di samping kanan singgasana Opung Lokomotif.

            Opung Lokomotif memandang sekilas gedung yang dimaksud puing Kios Buku Loak dan kembali menatap puing di sebalik pagar seng.
“Ah… ngeri!” desisnya.
“Kok ngeri, Pung? Kan keren, itu simbol meningkatnya modernisasi kota kita tercinta ini lho, Pung. Katanya kan, Medan mau menuju kota metropolitan,” sambung puing Kios Buku Loak.
“Bah! Kerenan lagi kalian… hadirnya kalian membawa manfaat pada banyak orang yang butuh ilmu pengetahuan dengan harga terjangkau, sehingga bisa menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berilmu. Sedangkan gedung itu, hadir untuk kalangan berduit saja dan malah mengajari orang untuk hidup konsumtif, bukan produktif. Makanya heran kali aku, kok kelen pulak yang digusur!” dengus Opung.
“Ah… gak kayak gitulah, Pung. Kami bukan digusur… kami kan cuma dipindahkan, bukan dihilangkan. Kami ini tidak punya izin legal di sini, maka kami dipindahkan ke tempat yang lebih baik dan berizin tentunya,” debat puing Kios Buku Loak.
“Apa kaupikir gedung mewah itu punya izin, ha?!”
“Eh… mmm… tentu! Tentunya punya, Pung! Itu gedung yang sangat besar secara fisik dan tidak tersembunyi seperti bangunan liar yang lain. Dia ada di pusat kota! Kalau mereka tidak punya izin atau tidak punya dokumen AMDAL atau yang lainnya, sudah barang tentu pihak yang berwenang segera mengendus dan segera mengambil tindakan dengan merobohkannya. Tapi liat sendiri, Pung! Gedungnya bahkan udah rampung dibangun!”

Puing Kios Buku Loak memandang takjub mega screen super besar di badan Centre Point Mall yang mulai dihidupkan. Ada gambar-gambar model ganteng dan cantik yang seolah mengajak siapa saja masuk dan menikmati suasana di dalamnya.
“Wuiih! Canggih kali orang zaman sekarang ya, Pung? Bisa bikin tipi selebar itu… ckckck… ini yang namanya kecanggihan modernisasi, Pung. Kita patut berbangga Medan punya yang kayak gini…,” lanjut puing Kios Buku Loak.

            Opung Lokomotif hanya melirik sekilas dan mendesah,
“Andai kalian punya uang lima puluh milyar, pasti kelen gak akan digusur. Tetap di sini menemani aku menantikan malam yang temaram….”
“Eh, maksud Opung apa?”
“Sudahlah… jangan pura-pura gak tau kau. Aku tau kali nya kalok kau itu sedih sudah diusir dari sini, padahal sudah berpuluh-puluh tahun ada di sini. Bahkan sudah menjadi ikon kota keberadaanmu itu. Cuma karena kau orang kecil, kau gak bisa melawan. Karena kau orang kecil, kau gak punya uang untuk bisa bertahan. Nah, yang gedung besar itu punya kekuasaan dan uang, jadi bisa sukak-sukaknya….”
“Hush! Jangan ngomong sembarangan, Pung! Nanti kau bisa dilaporkan ke Polisi karena pencemaran nama baik!”

“Ngapain pulak aku takut? Rakyat Medan sudah mengajariku untuk berani saat dulu aku menyaksikan mereka melawan penjajah demi kemerdekaan, bahkan menggadai nyawa pun berani!”
“Sudahlah, Pung. Kami gak apa-apa, kok. Pemerintah juga sudah menempatkan kami di sebaik-baiknya tempat. Sebentar lagi, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat juga akan terbiasa menerima keberadaan kami di tempat yang baru. Kami ini kan hanya bangunan liar tak punya kekuatan hukum apa pun,” ceracau puing Kios Buku Loak.
“Kalian bangunan liar punya rakyat kecil, jadi gampang memitas kalian. Sedangkan itu, gedung mewah itu adalah bangunan liar punya orang berkuasa dan berduit, jadi sulit untuk memberi sanksi apa pun. Bangunan itu terang menyalahi hukum, mereka tak punya surat izin mendirikan bangunan. Tapi tak ada sesiapa pun yang berani melawan.”

“Sudah, Pung. Sudah… kami ini bukan sembarang orang kecil, kami orang berilmu. Kami mau mundur karena kami tahu dan mengerti hukum. Kami punya loyalitas pada pemerintah. Rakyat yang mau diatur ke arah perubahan yang lebih baik adalah rakyat yang bijaksana dan mulia. Walau kami kecil, tapi masyarakat memandang kami besar. Bagi kami itu sudah cukup.”
“Tetap tidak cukup untukku!” bantah Opung Lokomotif. “Bagiku selain rasa keadilan yang sudah tidak ada, Medan-ku kini sudah kehilangan taringnya. Tak pantas lagi meneriakkan slogan ‘Ini Medan, Bung!’ mereka sudah membiarkan budayanya digerus demi sebuah nama modernisasi!”
“Jangan, Pung. Jangan kaitkan ini dengan masalah budaya. Rakyat Medan adalah manusia-manusia yang sangat menghargai budayanya, walaupun pada akhirnya nanti pusat-pusat kebudayaan kota akan bergeser ke perkampungan, namun kebudayaan itu tidak akan pernah hilang dari jiwa rakyat Medan. Tapi perlu diingat, Pung, warga Medan juga bukan anti modernisasi, mereka sangat mendukung itu. Kebudayaan dan moderniasai akan hidup seiring sejalan,” sanggah puing Kios Buku Loak.

“Itulah yang kubilang dengan kehilangan taring. Mau-maunya digusur dari tanah sendiri. Kalau begitu ceritanya, aku khawatir, demi modernisasi aku akan tidak ada lagi di sini karena terpinggirkan, dianggap sudah kuno dan tak penting. Atau yang lebih parah sudah dibisniskan dan diperjualbelikan. Kenyataan itukah yang kaubilang seiring sejalan?”
“Tentu tidak, Pung … sabarlah sebentar. Tugas kami belum selesai … biarkanlah kami lanjutkan misi kami untuk mencetak generasi bangsa yang lebih baik dari segi akhlak dan keilmuannya melalui buku-buku dan karya sastra yang kami perjual-belikan dengan harga terjangkau ini. Mudah-mudahan masyarakat kita akan semakin pintar dan berakal. Serta anti kapitalisme dan anti kesewenang-wenangan. Tenang, Pung… masa itu akan segera tiba. Aku percaya kehidupan kita akan jauh lebih baik lagi. Belum saatnya kita mati hanya karena ketidak-adilan!”

“Ya … itu maksudku! Mengapa kita tidak berani langsung melawan ketidak-adilan yang nyata terpampang di wajah-wajah kita? Mana semangat rakyat Medan yang pernah kusaksikan dulu itu? Sudah mati diinjak gadget atau mahkluk bernama moderen itu?”
Puing Kios Buku Loak menarik napas. “ Keadilan masih sulit didapat saat perut orang masih lapar, Pung. Nanti kalau perut si penguasa sudah meledak dan meletus, mereka akan sadar bahwa manusia hanya perlu makan tiga kali sehari dan memberikan kelebihan mereka pada yang kelaparan. Pada saat itu semua orang tidak lapar dan pada saat itu pula, keadilan akan muncul dari kerak bumi dengan sendirinya!”
“Tapi kapan?” Opung Lokomotif bertanya lantang mulai tak sabar.
“Suatu saat nanti…,” erang puing Kios Buku Loak.

            Opung Lokomotif menghela napas berat. Sekali lagi ia melirik Centre Point. Sahabat baru warga Medan dan mungkin juga akan menjadi sahabat baru dirinya. Mengertikah ia nanti saat kuajak bicara tentang bahasa sederhana tentang kesulitan hidup rakyat kecil? batin Opung. Tidak, ia tak akan mengerti. Sebab dari gelak tawanya, dari kerjapan mata mewah dan bentangan tangannya, ia hanya ingin menyambut dan menantikan orang-orang Medan untuk menghabiskan pundi-pundi uangnya yang bahkan baru tadi sore didapatnya dari cucuran keringat sebagai kuli.
“Ini Medan, Bung!” desau Opung Lokomotif lirih.

            Menjelang malam, geraman Genset sudah mereda, aliran listrik kembali nyala. Teriakan syukur di rumah-rumah penduduk tanpa Genset serempak membahana. Lilin pun ditiup, aktifitas kembali menggeliat.
“Hei… kau belum tidur, kan?” usik Opung Lokomotif lagi pada puing Kios Buku Loak.
“Ada apa lagi, Pung?”
“Kau tahu mengapa aliran listrik sering mati hidup akhir-akhir ini?”
Puing Kios Buku Loak menarik napas, melesakkannya ke relung jiwanya yang sudah melompong.
“Sudah, Pung… tidur saja. Kau perlu banyak istirahat. Cekung di mata tak baik untuk seorang foto model macam kau…,” canda puing Kios Buku Loak.
“Ah, kau ini? Baiklah sampai jumpa entah kapan lagi ya…,” ujar Opung.
“Ya… sampai jumpa, Opung Birong! Aku akan merindukan batuk-batukmu itu!”

Opung Lokomotif terbatuk dan tak lama lalu mendengkur. Puing Kios Buku Loak meringkuk kedinginan,
“Besok aku sudah tak di sini… sampai jumpa pohon Trembesi… kawal lah baik-baik Lapangan kebanggan milik warga Medan ini. Jangan sampai ia dijadikan gedung pula oleh orang-orang berduit itu…. INI MEDAN, BUNG!”

Medan, 18 Februari 2014
YRS

Minggu, 09 Maret 2014

Adakah Hubungan Menjadi 'Psikopat' dan Pengalaman Masa Kecil yang 'bermasalah'?

Unknown



Berawal dari diskusi teman di FB tentang kasus pembunuhan Ade Sara. Banyak orang kemudian dengan serta merta mengatakan bahwa pelaku pembunuhan adalah seorang psikopat. Saya menjadi tertarik untuk mengetahui apa itu psikopat serta ciri-ciri psikopat. Lalu saya mencoba mencari pengertiannya dengan meng-googling  kata ‘psikopat’.

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, psikopat  secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.

Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.

Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.

Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.

Psikopat memiliki dua puluh ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi jelek.

Lalu, apa yang menjadi ciri utama seorang psikopat? Coba perhatikan ini,
  1. Sering berbohong, fasih, dan dangkal.
  2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
  3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Kadang-kadang psikopat mengakui perbuatannya, namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
  4. Senang melakukan pelanggaran di waktu kecil.
  5. Sikap acuh tak acuh terhadap masyarakat.
  6. Kurang empati. Bagi psikopat, memotong kepala ayam dan memotong kepala orang tidak ada bedanya.
  7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
  8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Tidak ada waktu bagi seorang psikopat untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
  9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
  10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki tanggapan fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, ataupun gemetar. Pengidap psikopat tidak memiliki perasaan tersebut, karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah “dingin”.
  11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
  12. Biasanya sangat cerdas dan mungkin paling cerdas ketika dibandingkan dengan anak-anak yang lain.
  13. Biasanya banyak mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya dan marah jika orang lain menyalahkannya. Merasa paling benar, dan biasanya anggapannya itu memang benar.
  14. Mengetahui sesuatu yang tidak diketahui. Biasanya banyak yang benar dan sangat sedikit sekali yang salah.
  15. Memiliki perkiraan dengan akurasi yang tinggi (perkiraannya jarang salah dan kebanyakan adalah benar atau benar semuanya).

Kemudian saya berlanjut dengan menilik dan membaca beberapa biografi psikopat-psikopat tersadis di dunia. Rata-rata mereka memiliki kesamaan, yakni trauma masa kecil, bisa jadi ketidak harmonisan keluarga, sering di-bully dan beberapa terjadi karena rasa kecewa yang berlebihan serta alasan lainnya. Mari kita baca beberapa profil para psikopat yang rata-rata berakhir dengan hukuman mati ini.

1.     Ted Bundy, lahir di Vermont, 24 November 1946 dari Ibu yang tidak menikah. Di masa kecilnya ia mengira kakek-neneknya adalah orang tuanya dan ibunya adalah kakaknya. Saat ibunya menikah dengan pria lain, ia memakai nama ayah tirinya. Dia tidak suka bergabung dengan keluarga lainnya dan suka menyendiri. Saat mengetahui asal usul diri yang sebenarnya dia kecewa. Meski begitu kehidupan di sekolahnya cemerlang, ia termasik siswa yang pintar dan berprestasi, atas kenyataan ini dan ditambah dengan ketampanannya ia bisa mendapatkan harga dirinya kembali.

Di masa kuliah ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat dicintainya, Stephanie Brooks. Namun gadis itu mengecewakannya dan pergi begitu saja meninggalkannya.
Mulai saat itu Bundy mulai membunuh gadis-gadis yang rata-rata memiliki kesamaan fisik dengan Brooks. Dari korban Bundy semuanya memiliki kesamaan perilaku, kejahatan seks/diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh, mayatnya dibuang di daerah pegunungan di Washington dan beberapa ada yang dimutilasi.

Bundy pernah mengatakan korbannya telah mencapai 40 orang, namun polisi meyakini bisa lebih dari jumlah itu. Bundy tidak pernah mengaku kalau ia bersalah. Namun segala bukti dan saksi korban yang selamat menunjukkan kalau ia bersalah. Dengan kepintaran yang dimilikinya beberapa kali ia melarikan diri dan beberapa kali ia naik banding dan menunda eksekusi matinya. Dari perjalanan panjang itu akhirnya ia dihukum mati di kursi listrik pada tanggal 24 Januari 1989.

2.    Richard Kuklinski
Warga Negara Amerika yang terbukti atas tiga kasus pembunuhan. Ia dikenal sebagai Iceman karena membunuh korbannya dengan cara dibekukan hingga korban menemui ajal.

Masa kecil Richard dipenuhi dengan kekerasan. Ayahnya sering memukulinya dengan keras jika ia membuat kesalahan. Demikian pula ibunya, ibunya tak segan memukulinya dengan gagang sapu untuk membuat Kuklinski jadi anak yang disiplin. Ibunya percaya dengan disiplin yang tinggi anaknya bisa diarahkan pada kehidupan yang lebih baik.

3.    Harrold Shipman
Dokter berkebangsaan Inggris ini telah membunuh lebih dari 250 orang wanita. Profesinya sebagai dokter mampu menutupi kejahatannya hingga bertahun-tahun, hingga seorang dokter curiga mengapa Shipman memiliki rekam jejak dengan begitu banyak pasien yang meninggal di tangannya dan hampir rata-rata laporan kematian yang ditandatangani Shipman adalah meninggal akibat sakit tua. Dan banyak dari pasien itu dianjurkan untu dikremasi oleh Shipman.

Ternyata Shipman memiliki trauma masa kecil, ia menyaksikan ibunya menderita kesakitan karena kanker paru-paru dan meninggal dengan mengenaskan menahan sakit di depan matanya. Hingga dia kemudia diketahui memperlakukan pasien-pasiennya sama seperti penderitaan ibunya saat meninggal dunia.

4.    Jefery Dahmer
Kebangsaan Amerika, telah membunuh 17 korban yang kesemuanya pria dewasa dan anak laki-laki. Ia memiliki orientasi seks kepada laki-laki. Korban dibunuh setelah diberi pil tidur dan melakukan pelecehan seksual sebelum korban tersadar, setelah korban sadar, ia akan mencekik korban hingga mati. Melalui pengetahuannya atas ilmu kimia dari ayahnya yang ahli kimia ia ‘melenyapkan’ korban dengan cara yang sadis, pertama ia akan memutilasi mayat korban menjadi potongan kecil-kecil, lalu merebusnya dengan larutan kimia dan pemutih, hingga dagingnya menjadi luruh dan tinggal tulang belulangnya saja. Tulang itu kemudian akan diberi zat kimia lagi dan kemudian ditumbuk menjadi halus dan dibuang ke tong sampah. Bagaimana untuk bagian kepala? Dia akan menyimpannya di kulkas selama beberapa hari, setelah itu ia akan merebus kepala itu dengan larutan kimia tertentu hingga meninggalkan tengkoraknya saja, tengkorak akan dicat dan menjadi pajangan kamarnya sebagi fantasi seksualnya, kemudian akan dihancurkan/ditumbuk setelah diberi zat kimia tertentu beberapa bulan kemudian. Untuk korban tertentu, ia akan menyimpan potongan dagingnya dikulkas, untuk kemudian dimakannya sedikit demi sedikit.

Dahmer kecil hidup dalam keluarga yang tidak harmonis, ayah-ibunya sering bertengkar di depannya, lalu ibunya sering berkeluh kesah terhadap segala tabiat ayahnya, kesusahan hidupnya pada Dahmer kecil, hal ini dilakukan ibunya karena haus akan perhatian. Dan itu membuat beban tersendiri pada Dahmer. Walau ia cukup pintar di sekolah, ia tidak populer dan sering di-bully. Sedari kecil ia memang suka memotong-motong tubuh hewan dan menyimpan bagian tubuhnya untuk koleksi dan kemudian di lain waktu akan digabungkan dengan anggota tubuh hewan lain. Saat ayahnya membersihkan tulangbelulang hewan di basement mereka, Dahmer mengatakan sangat suka dengan bunyi tulang yang hancur. Saat ia bertanya bagaimana cara memutihkan tulang, ayahnya menjawab dengan keyakinan bahwa anaknya telah mewarisi bakatnya dalam bidang kimia. Ternyata kepintarannya itu tak lebih hanya untuk melenyapkan korban-korban pembunuhannya.

5.    Elizabeth Bathory
Tak hanya didominasi oleh pria, banyak juga psikopat wanita, salah satunya adalah bangsawan asal Hungaria ini. Ia hidup pada akhir abad ke-17, diperkirakan telah membunuh lebih dari 650 orang gadis muda dalam kurun waktu antar 1590 hingga 1610.

Namun karena ia seorang bangsawan dan pasa masa itu sedang terjadi peperangan di Hungaria melawan Ottoman, maka kekejiannya sering dihubung-hubungkan dengan politik hingga membuatnya tidak pernah ditahan.

Walau hidup di tengah lingkungan bangsawan tak membuatnya berperilaku baik.

Well, masih ingat Very Idham Heriansyah alias Ryan Jombang? Banyak psikolog yang juga mengubungkan perilakunya itu disebabkan oleh perlakuan terhadap dirinya di masa kecil. Diketahui bahwa Ryan hidup dalam keluarga yang secara ekonomi lemah, pendidikan orang tua yang rendah, pernah menjadi korban sodomi dan salah memilih lingkungan pergaulan.

Wuah, dari pencarianku ini, aku berkesimpulan bahwa betapa berpengaruhnya kehidupan masa kecil atas pribadi atau bahkan tindakan seseorang di masa depannya. Banyak orang tua jaman sekarang yang kurang ilmu lantas mengabaikan hal ini dan menganggap anak belum tahu apa-apa, jadi orang dewasa bisa memperlakukan anak sesukanya, padahal dalam masa golden age (0-5 tahun) anak menyerap segala hal di sekelilingnya dan akan disimpan di alam bawah sadarnya dan akan membekalinya hingga dewasa serta mempengaruhi perilakunya.

Tapi, jangan tergesa-gesa menghakimi seseorang yang masa kecilnya tidak bahagia lantas setelah dewasa menjadi psikopat. Pada banyak kasus di dunia ini, seseorang mampu mengarahkan dirinya atau bahasa kerennya mengalami sublimasi menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan bahkan mampu melejitkan dirinya menjadi seseorang yang gemilang.

Sebagai contoh baca juga kisah tentang seorang Master Psikologi Forensik Indonesia, Reza Indragiri Amriel di link ini: http://www.tabloidnova.com/Nova/Profil/Reza-Indragiri-Amriel-Bangkit-dari-Titik-Trauma/ yang mengatakan bahwa beliau memilih jurusan psikologi forensik karena beliau merasa punya sisi gelap yang harus dicari-tahunya sendiri. Kebetulan ia pun dulunya berasal dari keluarga broken home.

Pada dasarnya menurut sumber yang pernah kubaca, setiap orang memiliki sisi gelap, seperti misalnya setiap orang mungkin pernah memiliki hasrat ingin membunuh orang lain, tapi bedanya dengan psikopat, orang itu tidak melakukan pembunuhan secara nyata akibat adanya counter dari dalam diri, bisa jadi itu karena adanya ilmu kepribadian yang pernah didapatnya dari keluarga atau keimanan serta ilmu agama yang mumpuni.

So, mulailah didik anak-anak kita dengan pendidikan karakter di atas segalanya, dan yang paling penting semua kita yang hidup di bumi ini berperan untuk menjadikan lingkungan kita menjadi lingkungan yang ramah anak. Sebab sepandai-pandainya keluarga atau orangtua melindungi anak, jika ia jatuh ke lingkungan yang salah, semua itu menjadi tidak berguna.



Biografi Ted Bundy, Seorang Psikopat

Unknown



Ketampanan dan pesonanya membantu pembunuh berantai terkeji di Amerika ini, untuk selama bertahun-tahun melintasi Amerika Serikat dan membunuh puluhan perempuan muda.

Theodore Robert Cowell lahir di sebuah rumah di Vermont dari seorang Ibu yang tidak menikah pada tanggal 24 November 1946 bernama Louise Cowell. Lalu ia dibesarkan oleh kakak-neneknya. Teddy, begitu ia dipanggil, mempercayai bahwa kakek-neneknya adalah orang tuanya, dan ibunya adalah kakaknya, pada saat itu, keadaan serupa itu adalah wajar untuk seorang 'anak haram'. Ketika ibunya menikah dengan Johnnie Bundy pada tahun 1951, Teddy mengambil nama ayah tirinya hingga kemudian ia dikenal sebagai Ted Bundy.

Upaya ayah tirinya untuk menyatukan Bundy muda dengan anggota keluarga yang lain ditolaknya mentah-mentah, dan ia menjadi semakin terisolasi dalam dunianya perenungannya dan terkucil dari keempat saudara-saudaranya yang lain serta lebih senang bermain sendiri. Meskipun sikapnya acuh tak acuh, ia cukup pintar di sekolah, dan ketampanannya yang alami membuatnya populer di sekolah hingga meningkatkan harga dirinya.

Pada tahun 1967, saat ia menjadi mahasiswa di Universitas Washington, ia bertemu dengan gadis yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, Stephanie Brooks. Seorang wanita yang juga sesama mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya dan kepadanyalah Bundy jatuh cinta yang teramat sangat. Akan tetapi si wanita itu tidak menunjukkan hal yang sama, ketika ia lulus pada tahun 1968, wanita itu mengakhiri hubungan mereka secara tiba-tiba.

Kehancuran itu memiliki dampak yang sangat besar bagi hidupnya, dan diyakini bahwa sebagian besar korban di masa depannya dipilih atas dasar kesamaan fisik dengan Brooks yang telah menjadi obsesinya seumur hidup. Ia keluar dari perguruan tinggi untuk sementara waktu dan kemudian mengetahui tentang asal usulnya yang sebenarnya. Hal itu berakibat pada pukulan yang signifikan pada kondisi psikologisnya. Namun, seolah-olah ingin membuktikan pada Brooks dan keluarganya bahwa mereka salah menilainya, ia malah melemparkan dirinya ke studinya dengan semangat baru. Dia kemudian menjadi mahasiswa kehormatan yang memilih jurusan psikologi. Ia juga menaruh minat pada dunia politik dan menjadi juru kampanye yang berkarismatik untuk Partai Republik.

Di sekitar waktu yang sama, ia menjalin hubungan baru yang berlangsung selama lima tahun dengan Meg Anders, seorang janda dengan satu putri. Tapi obsesinya dengan Brooks berlanjut. Ketika bertemu lagi dengan Brooks pada tahun 1973, Brooks kagum pada kekayaan yang dimiliki Bundy sekarang dan mereka menghidupkan kembali percintaan mereka, tanpa diketahui Anders.

Saat Brooks yakin bahwa ia akan menikah dengan Bundy, Bundy secara tiba-tiba hilang dan tidak bisa dihubungi seperti halnya yang pernah dilakukan Brooks pada Bundy enam tahun yang lalu. Balas dendam ini membuat Bundy sedikit nyaman akan tetapi kemarahannya kemudian dialihkan dalam serangkaian serangan brutal terhadap perempuan-perempuan yang semuanya memiliki karakteristik fisik yang sama dengan Brooks.

Kejahatan-kejahatan Bundy

Pada tanggal 4 Januari 1974, Joni Lenz adalah salah satu korban perempuan dari beberapa korban perempuan lain yang bertahan hidup dari serangan brutal Bundy. Tapi pemerkosaan ganas yang dilakukan Bundy menyebabkan kerusakan permanen yang serius baik secara fisik dan trauma psikologis pada Lenz.

Lynda Ann Healy, gadis ramping, cantik berusia 21 tahun yang seorang mahasiswi hukum berambut panjang itu tidak beruntung. Kepergiannya pada 31 Januari 1974 awalnya tidak dilaporkan ke kepolisian, tapi kekhawatiran orang tuanya atas hilangnya tujuh perempuan muda lainnya secara misterius yang semua ciri-ciri fisiknya sangat mirip satu dengan yang lain membuat mereka segera melaporkan ke polisi. Setelah melaporkan ini, beberapa hari kemudian ditemukan dua mayat wanita yang diidentifikasi sebagai Janice Ott dan Denise Naslund, yang keduanya menghilang pada tanggal 14 Juli. Saksi mata teringat pada seorang pria aneh bernama Ted dengan lengan digips dan mengendarai VW Beetle.

Bundy pindah ke Utah, membunuh empat korban lagi selama bulan Oktober dan November, salah satunya ternyata putri kepala polisi setempat, dan tidak ada upaya khusus untuk melacak si pembunuh. Polisi Utah menyadari bahwa tanda-tanda kebrutalan perkosaan, sodomi dan trauma benda tumpul yang terdapat pada korban mirip dengan kasus di Washington yang dilaporkan pada awal tahun. Mereka kemudian meminta bantuan pada rekan-rekan di Washington dan membuat sebuah kesimpuan kuat yang mengarah pada Ted Bundy.

Selama waktu penyidikan, Med Anders yang sudah mengenal Bundy selama lima tahun mengakui bahwa deskripsi yang diberikan cocok dengan Bundy. Tapi ketika mereka menghubungi dan melihat pesona ramah dan ketampanan Bundy, mereka terkecoh dan tidak menganggap ia sebagai tersangka potensial.

Kegagalan Bundy dalam upaya penculikan Carol DaRonch di pusat perbelanjaan Utah pada 8 November 1974 mengusik istirahat panjang polisi atas kasus ini dan memberikan bukti tambahan yang mengarah pada identitas Bundy, ditambah sampel darah Bundy yang dihasilkan DaRonch atas perjuangannya menyelamatkan diri. Akan tetapi Debby Kent kurang beruntung, sebab pada hari yang sama atas keberhasilan DaRonch melarikan diri di percobaan pembunuhan dan pemerkosaan padanya, Kent terbunuh oleh Bundy.

Sampai dua bulan berikutnya sejak ada korban terakhir teridentifikasi, hingga Caryn Campbell dibunuh secara brutal di Colorado pada tanggal 12 Januari 1975, selalu menunjukkan tanda kebrutalan Bundy. Polisi menyadari bahwa pegunungan Taylor di Washington adalah tempat pembuangan mayat yang paling disukai Bundy, dan penelusuran lebih lanjut menemukan tiga lagi mayat wanita. Semua korban meninggal akibat trauma benda tumpul. Meskipun keberhasilan ini belum membuat Polisi di empat negara tidak segera menangkap Bundy.

Pada 16 Agustus 1975, Bundy ditangkap, setelah pengejaran singkat di daerah Salt Lake Country. Setelah seorang polisi setempat mengenali VW Beetle-nya. Di dalam kendaraan itu ditemukan borgol, topeng ski dan linggis. Polisi yakin benda-benda itu ada hubungannya dengan pembunuhan berantai yang dilakukannya. Kasus Carol DaRonch adalah yang melengkapi parade indentitas yang sama dan memperkuat bukti bahwa pembunuhnya adalah Bundy. Pada penyelidikan skala penuh masa lalu Bundy pun diungkap, Meg Anders memberikan bantuan pada polisi. Bundy terus mengatakan tidak bersalah namun, walaupun ada bukti kartu kredit yang mengaitkan keberadaan Bundy di daerah Pegunungan Taylor, Polisi belum bisa serta merta mengaitkannya dengan beberapa pembunuhan yang terjadi di sana.
Percobaan Pertama
Bundy diadili di Utah pada tanggal 23 Februari 1976 untuk upaya penculikan terhadap DaRonch meskipun tetap berperilaku santai dan percaya diri, dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 1-15 tahun hukuman penjara di Penjara Negara Utah pada tanggal 30 Juni1976

Menurut penyidik Colorado yang tidak puas dengan hasil ini, mereka telah memiliki bukti yang cukup atas percobaan pembunuhan Caryn Campbell dan mereka mengajukan tuduhan terhadap Bundy pada tanggal 22 Oktober 1976 dan menyebabkan dirinya diekstradisi ke Colorado pada bulan April 1977.

Sebelum memulai sidang selanjutnya, Bundy membuat rencana untuk melarikan diri. Dia memutuskan bahwa dia akan mewakili dirinya sendiri di pengadilan dan kemudian diberikan akses perpustakaan untuk penelitian kasusnya. Ia berhasil melompat keluar jendela pada sebuah kunjungannya ke perpustakaan di tanggal 7 Juni. Polisi mengepung seluruh daerah sekitarnya dan Bundy ditangkap delapan hari kemudian ketika ia mematahkan penutup untuk meninggalkan kota.

Meskipun keamanan telah ditingkatkan, ia berhasil melarikan diri lagi pada tanggal 30 Desember 1977 dengan memanjat panel langit-langit di Penjara Garfield Country, di mana dia ditahan saat penundaan sidang. Melarikan diri hingga hari berikutnya berhasil terbang ke Chicago dan kemudian melakukan perjalanan ke Tallahassee, Florida.

Dalam pelariannya Bundy kemudian menggunakan nama palsu, Chris Hagen. Ia sering melakukan pencurian kecil dan tampaknya masih terus belum dapat mengatasi keinginan untuk membunuh. Ia menyerang lagi mahasiswi-mahasiswi di asrama Universitas Negeri Florida pada tanggal 14 Januari 1978. Empat mahasiswi mengalami pelecehan seksual parah dan dua meninggal akibat serangan yang telah meningkat dari standar penyerangan Bundy sebelumnya: salah satu wanita diserang dengan tabung hairspray logam dan yang lain memiliki puting yang hampir putus. Dua korban lain cukup beruntung tidak sampai terbunuh. Tap ternyata penyidik lokal tak menyadari bahwa itu adalah Bundy dan dari bukti yang dikumpulkan tak meyakinkan.

Bundy menyerang lagi pada tanggal 9 Februari 1978, menculik anak berusia 12 tahun bernama Kimbery Leach dari sekolahnya, sebelum dibunuh ia melakukan penyerangan seksual dan kemudian mencekik gadis kecil itu.

Dia menghabisi korban terakhirnya pada 15 Februari dengan cara yang sangat mirip saat penangkapannya di tahun 1975. Bundy ditangkap setelah perkelahian yang sengit dengan polisi yang mengejar VW beetle yang dikendarinya dan dihentikan karena diduga memalsukan plat nomor.

Percobaan Kedua
Sidang kedua Bundy berlangsung pada tanggal 25 Juni 1979 di Miami, Florida dengan kasus serangan dan pembunuhan mahasiswi Universitas Florida. Kesaksian dari salah satu korban memberatkan Bundy yang tetap memilih membela diri sendiri. Salah satunya adalah bukti gigi yang meyakinkan dia adalah pelaku serangan tersebut.

Juri kembali memvonis bersalah pada tanggal 30 Juli 1979. Hakim menjatuhkan hukuman mati dua kali kepada Bundy yang berarti dihukum mati di kursi listrik. Akan tetapi Bundy terus mempertahankan dirinya tidak bersalah.

Percobaan Ketiga

Sidang ketiga terkait dengan pembunuhan Kimberly Leach dan dimulai pada tangga 7 Januari 1980. Bundy tidak lagi melakukan repersentadi diri sendiri lagi, ia menggunakan pengacara yang mengatakan ia tidak bersalah karena tidak waras. Bundy telah kehilangan seluruh jejak percaya dirinya pada tahap ini dan volume bukti forensik dan saksi mata yang mengaitkan dirinya dengan kejahatan ini dan meyakinkan juri untuk menjatuhkan vonis mati lagi pada tanggal 7 Februari 1980

Kisah Akhir

Bundy menolak untuk menerima vonisnya begitu saja, beberapa kali ia mengajukan banding selama dekade berikutnya dan membuatnya tertunda berada di kursi listrik. Dengan harapan bahwa kasus pembunuhannya di wilayah Washington akan membawa dirinya dieksekusi di Florida. Namun dia menyerah atas seorang penyidik dan mengakui bahwa ia telah banyak melakukan pemotongan daging korbannya dan mengidap penyakit Necrophilia. Dia mencoba menghitung korbannya yang perkirakan antara 26 sampai 40 orang gadis, beberapa penyidik percaya jumlah itu bisa jadi lebih banyak. Masih terus waspada dan menduga apakah fakta 'penyakit' yang diungkap Bundy itu hanya untuk mengelabui dan mencegah keniscayaan eksekusinya. Tentu saja, ada kasus Kathy Devine yang awalnya dikaitkan sebagai korban Bundy, ditemukan bukti DNA yang kemudian merujuk pada pria lain bernama Wiliam Cosgrove bersalah atas pembunuhan itu dan tidak ada hubungannya dengan Bundy.

Taktik menunda Bundy akhirnya berakhir pada tanggal 24 Januari 1989 dan dia dieksekusi pada pukul tujuh pagi, ia mati bersama rahasia jumlah korban secara pasti yang hanya ia ketahui sendiri ke alam baka.Tubuhnya dikremasi dan abunya tersebar di daerah pegunungan di Washington, tempat favoritnya untuk membuang tubuh korban-korbannya.

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes