Rabu, 29 Oktober 2014

PERTEMUAN PEMBACA DAN PENULIS SUMATERA UTARA TAHUN 2014 Menciptakan Masyarakat Pembaca (Reading Society) Menuju Masyarakat Pembelajar (Learning Society)

Unknown


Pada hari Kamis, 25 September 2014 kemarin, telah diselenggarakan sebuah acara yang bertajuk Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara tahun 2014. Acara yang bertempat di hotel Soechi Medan ini, diprakarsai oleh Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) provinsi Sumatera Utara. Sekitar lima puluh undangan yang berasal dari kalangan penulis dan pembaca di wilayah Sumut memenuhi sebuah ruang pertemuan di lantai dua hotel yang terletak di jalan Cirebon tersebut. Baik penulis yang sudah terbilang cukup senior dan penulis pemula, bergabung tanpa ada sekat yang memisahkan. Sekedar sharing info atau pengalaman di bidang tulis menulis.

Saya sendiri hadir sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam lebih cepat sebelum acara pembukaan dimulai. Begitu memasuki ruangan, saya langsung menemukan tiga orang pria berbagai usia sedang berbincang serius. Tanpa malu-malu saya mendekati mereka dan berlagak ‘Sok Kenal Sok Dekat’, mendengarkan perbincangan dengan seksama. Ikut nimbrung sekali-sekali tanpa diminta. Dari curi-dengar pembicaraan tersebut, saya ketahui bahwa salah satu dari tiga pria yang mengaku telah berusia tujuh puluh tahun itu adalah penulis. Saya tidak menanyakan banyak mengenai tulisan-tulisannya, sebab saya takut, jangan-jangan ia orang hebat di Medan. Sehingga, tidak mengetahui siapa dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka daripada malu, saya hanya mendengarkan ceritanya saja.

Beliau mengatakan bahwa Medan dulu, sarangnya penulis hebat. Saya tak menyangkal sebab memang pernah membaca nama-nama penulis tersohor dengan karya melegenda, banyak yang berasal dari Medan atau wilayah Sumatera Utara. Sebut saja Chairil Anwar, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana (pelopor pujangga baru), Merari Siregar serta segudang nama-nama lain yang akrab di telinga masyarakat bahkan dalam skala nasional dan internasional. Karya-karya mereka yang bombastis telah mampu mewarnai bahkan sebagian memutar-mutar ‘kompas’ dunia sastra. 

Bapak berumur tujuh puluh yang tak saya ketahui namanya tersebut—karena terlalu segan untuk bertanya—menyayangkan betapa prestasi itu sekarang hampir sirna. Banyak yang beranggapan, penulis merupakan kalangan marginal yang hanya dilakukan orang-orang tak punya pekerjaan. Atau yang lebih menyedihkan lagi ada yang menganggap bahwa penulis BUKAN pekerjaan—kecuali kalau anda sudah punya sebuah buku bestseller tentunya. Dan betapa ia menginginkan bahwa penulis-penulis lokal nun jauh di pelosok Sumut turut jua dihadirkan dalam acara serupa ini untuk membagikan pengalamannya. Sebab katanya ia kenal dengan banyak penulis hebat yang ‘tenggelam’ dalam dunianya sendiri dan tak diberi kesempatan untuk berbagi.

Perbincangan kami lerai saat undangan yang datang semakin ramai. Bapak yang bahkan hingga detik terakhir tak saya ketahui namanya tersebut—terkutuklah saya—bergabung dengan para penulis ‘senior’ lainnya. Sedangkan saya duduk dengan ‘teman baru’, beberapa mahasiswa IAIN yang juga merupakan peserta pertemuan.

Acara pun dimulai. Jangan ditanya, molor dari waktu yang tertera di undangan itu sudah pasti. Kata sambutan dari ketua panitia mengawali semuanya dengan beberapa laporan mengenai kegiatan tersebut. Segera saja acara dibuka secara resmi oleh yang mewakili Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumatera Utara. Ibu Suryanti, S. E, Kabag Layanan dan Teknologi BPAD Sumut selaku perwakilan memulai dengan pesan-pesan yang amat jelas. Bahwa penulis sebagai agent of knowledge adalah mitra perpustakaan. Ia mengajak agar penulis menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Baginya, tak ada penulis, maka tak ada perpustakaan.

Setelah rehat sejenak untuk sholat ashar dan coffee break, sesi pertama pun dimulai. Sesi ini memaparkan tema Peran Perpustakaan Daerah Sebagai Pusat Deposit. Yang menjadi pembicaranya tak lain tak bukan adalah Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumut, Bapak Hasangapan Tambunan, S. Pd, M. Si. Beliau mensosialisasikan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Salah satu butir dari undang-undang itu adalah ‘Setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia, wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan.’ Selain untuk menambah koleksi dan khasanah perpustakaan juga untuk barang bukti jika di belakangan hari terjadi plagiasi pada karya tersebut. Bapak Tambunan menambahkan bahwa dalam hal ini penerbit lah yang berkewajiban menyerahkan karya cetak tersebut, akan tetapi ia meminta agar penulis mengerti akan adanya UU tersebut dan membantu mensosialisasikannya. Karena tujuan sebenarnya adalah melindungi ‘karya’ para penulis itu sendiri.

Sesi pertama berakhir setelah pembicara menjawab pertanyaan dari beberapa peserta. Tanpa jeda, tepat pada pukul 17.30 WIB, sesi kedua pun dimulai. Dan pada hari itu juga saya baru tahu, bahwa Medan memiliki seorang penulis khusus biografi yang cukup produktif. Mulai tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menulis setidaknya lima belas buku biografi tentang beberapa tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Artikelnya juga sudah sering bertengger di koran-koran lokal Medan, salah satunya koran Analisa. Mungkin namanya sudah tak asing bagi pembaca Analisa, beliau bernama Bapak Ir. Jannerson Girsang. Pria berusia 53 tahun ini, bercita-cita akan menggenapkan buku biografinya menjadi dua puluh. Dan buku ke-dua puluh yang ingin ditulisnya adalah tentang perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang penulis biografi. Beliau memiliki sebuah quote yang menarik “Jika seseorang meninggal, dan kisahnya belum dituliskan, maka itu artinya sebuah perpustakaan telah terbakar.” Ia mengatakan bahwa semua orang harus menulis dan pasti bisa menulis. Beliau tidak percaya bahwa menulis itu bakat, menulis itu keterampilan yang bisa diasah. Kuncinya hanya tekun dan fokus. Setidaknya pasti bisa menuliskan tentang kejadian dalam hidupnya sendiri. Jika ternyata tulisan kita bisa menginspirasi kehidupan orang lain, tentu itu menjadi sebuah nilai tambah yang positif.

Tepat saat adzan maghrib berkumandang, pertanyaan terakhir dari peserta tuntas dijawab pembicara yang baru saya sadari blog-nya pernah saya buka sehari sebelumnya. Ketika itu saya ingin mencari informasi tentang Pertemuan Pembaca dan Penulis yang akan saya ikuti. Saya membaca artikel tentang pengalamannya bertemu penulis senior di ajang serupa empat tahun yang lalu. Di akhir sesi, saya mengikat banyak inspirasi dari orang hebat yang rendah hati ini. Salah satunya, pekerjaan yang tak pernah bisa dipecat dan tak memiliki masa pensiun adalah PENULIS. Maka, menulislah.

Selepas maghrib dan makan malam, sesi ketiga pun dimulai. Tanpa terlihat lelah dan tetap bersemangat para peserta antusias menyambut pembicara yang akan menyampaikan tema Gemar Membaca: Cikal Bakal Hasrat Menulis. Moderator memperkenalkannya dengan nama DR. Azhari Akmal Tarigan, M. A. Dan kembali saya tertegun, bahwa banyak penulis lokal yang namanya bahkan baru saya dengar hari ini. Tidak sefamiliar nama Andrea Hirata atau J. K. Rowling nun jauh di England sana memang. Akan tetapi kemampuannya dalam menulis mungkin bisa jadi sekaliber penulis-penulis terkenal itu, bahkan mungkin melampaui. Dengan rendah hati ia memperkenalkan buku-buku yang pernah ditulisnya. Hampir semua diterbitkan oleh penerbit lokal dan kebanyakan adalah buku mengenai Ekonomi Islam yang menjadi subjeknya saat mengajar mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Namun ada juga buku-buku bertema lain yang masih tak jauh dari dunianya. Yakni dunia pendidikan.

Sambil berkelakar pria berkumis yang tulisannya sering wara-wiri di koran Waspada ini menyampaikan, bahwa salah satu bukunya sudah ada yang terjual sebanyak empat ribu eksamplar lebih tapi tak jua menuai cap ‘bestseller’. Itu terjadi karena buku tersebut ‘wajib’ dibeli untuk pegangan santri di sebuah Pondok Pesantren. Semua orang tertawa. Dan saya berpikir, bahwa beginilah seyogianya pendidik itu. Bisa menulis buku sendiri sebagai buah pikirannya untuk dijadikan bahan mengajar.

Beliau menyampaikan banyak motivasi-motivasi agar menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya orang Indonesia. Meski perut t’lah kekenyangan dan malam semakin menua, namun tak ada peserta yang mengantuk. Semuanya larut dalam suasana penuh motivasi yang dikemas apik dalam canda oleh Pak Tarigan. Banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk membuat Negara dengan budaya ‘oral’ ini menjadi Negara berbudaya membaca dan menulis. Salah satunya, jangan malu untuk membaca di tempat-tempat umum. Dalam sebuah antrian di negara-negara maju, orang-orang akan menghabiskan waktunya dengan membaca. Di Indonesia orang lebih senang mengobrol ngalor ngidul atau mungkin memainkan gadget-nya daripada membaca. Mulailah dari orang-orang yang ngakunya komunitas pembaca atau penulis, kutipnya dari salah seorang peneliti.

Di akhir sesi tak ada lagi yang bisa beliau katakan selain membaca lalu menulis lah! Membaca lalu menulis lah! Jika anda datang ke toko buku, mulailah buat perhitungan. Seperti yang telah dilakukannya. Misalnya saat menemukan buku bagus seharga enam puluh ribu rupiah, mulailah membuat perhitungan. Dari buku ini kita bisa menuliskan review-nya, itu bernilai sekian. Dari buku ini kita bisa menuliskan sebuah artikel, itu bernilai sekian. Jika balik modal bahkan untung, maka beli! Itulah enaknya jadi PENULIS, tandasnya sambil tertawa. Memang kata-kata itu terlihat ringan dan bagi sebagian pandangan tendensius terkesan materialistik. Tapi ini bermakna sangat dalam bagi jiwa yang berpikir. Bahwa membaca itu bukan hanya menakluklan ejaan-ejaan aksara lalu memahami makna. Membaca itu adalah proses berpikir yang darinya kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran baru. Budayakanlah Membaca dan Menulis, hai orang Medan pada khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Jadikan masyarakat kita ini menjadi Reading Society, masyarakat pembaca untuk menuju Learning Society, masyarakat pembelajar. HORAS.

Medan, 26 September 2014
Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd
Peserta Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumut ‘14

Rabu, 22 Oktober 2014

REVIEW NOVEL "HUJAN DAUN-DAUN"

Unknown






REVIEW NOVEL HUJAN DAUN-DAUN
Penulis: Lidya Renny Chrisnawaty, Tsaki Daruchi, Putra Zaman
Desain Cover: Marcel AW
Editor: Nina Andiana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2014
ISBN: 978 – 602 – 03 – 0376 – 5
248 halaman; 20 cm

Novel remaja karya tiga penulis jebolan ajang pencarian bakat Penulis Indonesia dalam Gramedia Writing Project ini cukup bisa menjadi bacaan remaja yang menarik. Novel ini mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang gadis dua puluh tahun bernama Tania. Mimpi tentang dirinya dan seorang gadis berbaju biru yang sedang bermain di bawah pohon dengan daun berguguran menjadi pembuka novel setebal 248 halaman ini. Mimpi itu sering berulang sehingga mengganggu pikiran Tania.
            Pada awalnya, mungkin karena ini karya perdana atau bagaimana ada kebosanan yang melingkupi saat membacanya. Kejadian mimpi yang berulang dan dihubungkan dengan kejadian nyata merupakan sesuatu yang sudah sering dipakai oleh penulis-penulis lain. Dalam awal-awal membaca perlu effort yang cukup keras untuk bisa mendapatkan ‘kesenangan’ dalam buku ini. Untungnya usaha yang cukup keras itu terbayar lunas di pertengahan novel hingga ending. Keasyikan dan keseruan konflik mulai terasa saat seorang wanita mencari Tania hingga ke kampusnya. Wanita itu adalah ibu tirinya. Darinya semua masa lalu Tania yang ditutup-tutupi kakek neneknya karena suatu hal mulai terkuak. Konflik dihadirkan padat dari pertengahan hingga akhir.
            Kejadian-kejadian flash-back tentang kehidupan masa lalu orang tua Tania disisip di antara kejadian di masa sekarang. Cara ini membuat pembaca bisa dengan detail membayangkan kejadian di masa lalu. Mungkin karena novel ini ditulis oleh tiga orang penulis yang berbeda karakter dalam menulis, maka tak jarang pembaca mengalami ‘guncangan’. Sering didapati ‘rasa’ yang berbeda antara satu bab dengan bab yang lainnya. Ketika sedang asyik menikmati gaya bercerita pada satu bab, kemudian pada bab berikutnya akan menemukan gaya penulisan yang benar-benar berbeda. Ini membuat sedikit kurang nyaman.
            Di beberapa tempat juga masih ditemukan salah pengetikan, tapi masih dalam ambang batas kewajaran. Walau seharusnya diharapkan sudah tidak ada sama sekali kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Aroma percintaan yang dihadirkan juga kesannya hanya semacam tempelan. Well, mungkin seperti ada keharusan untuk cerita remaja harus ada unsur percintaannya. Hingga seperti dipaksakan. Sayang sekali itu menjadi tidak terlalu penting di sini. Tidak ada Adrian sebenarnya tidak masalah. Toh, ada Stella sosok sahabat sempurna yang sangat setia dan selalu menolong Tania. Kebanyakan si tokoh utama memperjuangkan segalanya sendirian. Perlu di-upgrade ulang pemikiran lama yang mengatakan novel remaja harus ada unsur cinta laki-laki dan perempuan. Kasih sayang antar sahabat juga bisa mengena, kok.
            Penyelesaian konfliknya juga sepertinya agak dipaksakan. Misalnya ketika Tania harus mencari saudara kembarnya Tiana yang kini berdomisili di Berkeley, Amerika. Tentu perlu modal yang cukup besar untuk pergi ke Amerika. Padahal tak dijelaskan dari awal bahwa kakek dan nenek Tania itu orang yang cukup berada. Penjelasan itu baru ada hampir di akhir cerita. Padahal tokoh Kakek Nenek sudah muncul pada awal sekali.
            Tania bisa sampai Amerika dengan mudah. Saat berdiri di depan rumah yang dicarinya, si pemilik rumah tepat baru pulang dari suatu tempat. Sungguh sebuah keberuntungan yang  beruntun. Banyak segala yang kebetulan terjadi di novel ini. Jadi intinya untuk pembaca yang baru puas jika happy ending semacam saya ini pasti akan dibuai dengan penyelesaian yang ada.
            Untuk sebuah novel perdana, over-all ini layak baca! Pesannya tersampaikan. Bahwa masa lalu itu penting untuk mengenali siapa sebenarnya diri kita. Akan tetapi kita tak bisa memutar-balik waktu agar semuanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Apa yang terjadi sekarang harus dihadapi. Seperti kata Adrian di Epilog—finally Adrian ada gunanya juga,hehe.
“Aku percaya bahwa hal-hal besar, yang terasa ajaib, walaupun sepertinya nggak masuk akal, nggak bisa diterima logika, sebenarnya selalu berputar di sekeliling kita. Tinggal gimana kita menangkapnya hingga keajaiban-keajaiban itu benar-benar terjadi dalam kehidupan kita. Sama seperti daun-daun yang gugur itu, angin nggak akan pernah berhenti bertiup, dan daun-daun itu nggak pernah tahu kapan mereka akan terlepas dari tangkai, tapi tanah akan selalu menerima mereka. Seperti kita yang juga harus selalu siap menerima keajaiban-keajaiban itu.”
Barvo untuk ketiga penulisnya dan HAPPY READING! 

Medan, 23 Oktober 2014

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes