Selasa, 15 April 2014

How do I Feel?

Unknown
How do I feel?
Pertanyaan labil paling sentimentil
Ditanggap dengan jawab paling abstak nan kerdil
Sementara angin dekil terbitkan gigil
Terisak di antara lara yang tercungkil

Akankah dera sangkil
pada kata yang termuwakil
semisal; sedih, gugup yang tercuil
atau malah air mata pun sudah mengkerikil
Siapa pula yang ikut andil
dalam menukil rasa paling muskil

Pertanyaan itu mungkin butuh jawaban detail,
Atau mungkin bangkitkan pertanyaan baru nan jail

How do I feel?
Sungguh sebuah pertanyan labil
Tanya sendiri, jawab sendiri...

Medan, 15 April 2014

Selasa, 08 April 2014

SATU TEMAN LAGI

Unknown
Minggu pagi yang penuh dengan sinar matahari, membuatku tertarik untuk memeriksa seindah apa taman bermain di perumahan Grand Laviva ini. Apakah seindah taman bermain di dekat rumahku dulu? Atau malah sebaliknya. Kuharap indah, karena taman bermain adalah satu-satunya tempat yang bisa kuharapkan untuk menghibur diri. Kenapa nggak ke mall? Aku inginnya main di luar. Kalau harus masuk ke dalam mall, kenapa nggak di rumah saja? Toh, sama-sama di dalam ruangan.

Aku sudah permisi pada Mama yang sedang membuat kue cokelat di dapurnya. Ia mengizinkanku tapi sebelumnya ia menarik tanganku. Mama menyuruhku membelakanginya. Ia menyentuh rambutku yang panjang tergerai dan menggulungnya rapi.

“Kalau begini, kamu terlihat lebih cantik, Bintang!” ucap Mama dan mengedipkan sebelah matanya. Aku tersenyum. Aku kadang kurang sependapat dengan Mama, tapi aku lebih sering nggak memperlihatkannya di hadapan Mama. Sesampainya di depan pintu, aku melepas gulungan rambutku dan berlari ke taman bermain yang terletak di ujung kompleks.

Taman bermain di sini cukup luas. Kemarin aku sempat lewat sini saat pulang dari menemani Papa berbelanja ke mini market yang letaknya berdekatan dengan taman ini. Selain ada arena bermain yang lengkap, taman ini juga dikelilingi oleh hutan kecil dengan pohon-pohon yang menjulang rimbun.

Aku melihat beberapa anak bermain di taman bermain ditemani oleh beberapa orang dewasa. Kalau hanya ayunan dan seluncuran, aku kurang tertarik. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang baru di…
Mataku takjub memandang sebuah air mancur di tengah hutan kecil itu. Aku berlari pada jalan kecil yang merupakan sususan pavling block berwarna cokelat. Banyak orang-orang yang sedang berolahraga di sini dan aku juga melewati orang-orang yang hanya duduk santai di bawah pohon, menikmati minggu pagi mereka.

Ternyata air mancur itu berada di tengah danau buatan yang nggak terlalu luas. Aku menghampiri tepi danau yang telah diberi pembatas berupa pagar batu. Banyak ikan-ikan yang berenang lincah di dalam airnya yang jernih. Tanganku nggak tahan untuk nggak menyentuh air itu. Saat aku menyentuh permukaan danau…

“Aiiihhh!!!” Aku memekik kaget sambil menarik tanganku menjauh dari permukaan danau. Tubuhku sontak mundur. Jantungku berdegup kencang. Tadi itu apa? Aku menggenggam tanganku yang basah dengan tanganku yang sebelah lagi. Aku masih nggak percaya dengan apa yang kurasa dan apa yang kulihat. Sehingga kembali kudekatkan diriku pada tepian danau. Mataku terus memandangi permukaan danau yang kusentuh tadi.

Nggak ada perubahan apa-apa. Nggak ada yang menandakan bahwa seseorang berada di dasarnya. Jadi, tangan siapa yang menarik tanganku tadi?

***

Aku sudah hampir melupakan kejadian tadi pagi di danau taman bermain, saat diriku memandang keluar jendela dan melihat seorang anak kecil berdiri di bawah pohon cemara tepat di depan rumah. Dia seumuran denganku, mungkin berkisar antara dua belas tahun atau tiga belas tahun. Ia memakai baju terusan selutut berwarna pink namun sudah kusam. Rambutnya dikucir dua dan ia mengenakan sepatu pentofel hitam. Ia menatapku lama. Saat aku balas menatapnya, ia melambai ke
arahku dengan maksud agar aku menghampirinya.

Aku segera keluar. Kudengar Mama bertanya hendak ke mana dari ruang tengah. Tapi aku nggak sempat menjawabnya.

Tubuhku sudah sangat dekat dengannya kini. Ia tersenyum padaku. Wajahnya pucat dan bibirnya biru. Apakah anak ini sakit? batinku.

“Hai, kamu siapa?” tanyaku berusaha terlihat ramah. Mudah-mudahan ia bisa menjadi teman pertamaku di kompleks ini.

“Aku Alrisa, kamu?” tanyanya balik.

Aku menjulurkan tanganku untuk mengajaknya berjabat tangan. Saat ia menyambut tanganku, kusebut namaku, “Bintang.” Tangannya basah dan juga dingin. Aku melepas tanganku dan mengangkatnya ke depan mataku. Untuk melihat kemungkinan ada air yang menempel di tanganku. Sebab tangannya terasa benar-benar basah. Namun… aneh! Tanganku kering. Tak ada tanda-tanda bahwasannya aku baru saja menyentuh sesuatu yang basah.

Ia tersenyum lagi. “Ada apa?” tanyanya.

“Oh, enggak. Nggak ada apa-apa. Rumah kamu di mana?” tanyaku kemudian.

“Kamu benar mau tahu rumahku?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk.

“Ayo, aku tunjukkan!” serunya sambil berbalik. Dan aku pun mengikuti langkahnya.

***

Aku tercengang. Ia membawaku ke taman bermain.
“Ini rumahmu?” tanyaku karena di sini sama sekali nggak terlihat ada sesuatu yang berbentuk seperti rumah. Kecuali rumah-rumahan yang ada di tengah kolam pasir itu, ya. Tapi kan itu nggak bisa disebut rumah untuk ditinggali beneran.

“Bukan di sini, agak masuk ke dalam,” ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan kecil di tengah taman. “Yuk, masuk!” ajaknya kemudian.

Aku ragu. Kupandang sekeliling, langit mulai berwarna ungu. Itu tandanya sebentar lagi maghrib akan segera tiba. “Nggak usah, deh. Sudah mau maghrib. Nanti mamaku mencari,” tolakku pada akhirnya.

“Jangan begitu, dong! Kau kan sudah sampai di sini. Mending kamu masuk dulu sebentar, lalu kamu pulang, deh!” bujuknya.

“Mmm…,” gumamku dan akhirnya mengangguk.

Ia membawaku ke pinggir danau. Air mancur yang kulihat tadi pagi semakin indah, karena hiasan lampu yang mengelilinginya sudah dihidupkan.

“Jangan bercanda! Rumahmu mana?” tanyaku mulai nggak sabar dengan permainannya ini.

“Ini… ini rumahku!” serunya.

“Hahaha!!!” Aku tergelak. “Kau… bercanda, kan?”

Wajahnya semakin memucat dan bibirnya semakin biru. Aku bisa melihatnya karena kami tepat di bawah lampu taman yang mulai dihidupkan. Sayup kudengar azan maghrib dari kejauhan. Mamaku pasti marah besar.

“Kaupikir ini lucu?” tanyanya lirih dan menunduk.

“Maafkan aku, tapi…,” kataku sambil memegang bahunya.

Tiba-tiba kepalanya mendongak. Ia menyeringai. Senyumannya telah pudar, bola matanya hanya tersisa warna hitam, wajahnya seperti baru saja dicabik-cabik buaya. Dan bau busuk tiba-tiba menguar ke udara.

“Aaaaaa!!!” jeritku dan melangkah mundur. Aku berbalik dan hendak lari. Tapi tangannya yang basah dan dingin mencekal tanganku.

“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” jeritku panik. Aku terus menarik tubuhku agar terlepas dari cengkramannya sambil tetap berusaha untuk nggak melihat wajahnya yang menyeramkan. Tapi semakin aku berontak ia semakin keras memegang tanganku. Darahku seperti berhenti.

“Kau mau apa?” tanyaku hampir menangis. “Mamaaa…!!!” rengekku.

“Diam anak cengeng!” bentaknya dengan suara yang dalam dan mengerikan. “Kami hanya butuh teman satu orang lagi!”

“Kami???” tanyaku heran.

“Iya! Kami!”

Ekor mataku menangkap keanehan dari permukaan danau, memaksaku untuk menoleh ke arah danau. Aku ingin pingsan, saat melihat ada banyak tangan kecil menggapai-gapai dari dalam danau. Wajah mereka terlihat terbenam di dalam air, pucat, biru dan bolong-bolong menyeramkan. Mereka seolah-olah memanggil-manggilku.

Tiba-tiba tubuhku terdorong ke danau. Aku tercebur. Oh, aku kan nggak bisa berenang.

“Mamaaa! Mamaaa!” teriakku. “Tolong!” Kepalaku turun naik. Kakiku tak bisa menggapai dasar danau, sepertinya danau ini cukup dalam. Aku tertelan air banyak sekali. Tangan-tangan dari dalam danau mulai menarik-narik kakiku. Membuat tubuhku masuk sepenuhnya ke dalam air.
Kulitku merasakan dingin yang amat sangat. Tapi paru-paruku terasa panas karena udah hampir kehabisan oksigen. Aku melihat banyak anak-anak menari-nari di dalam air. Bergembira menyambut ke datanganku.

“Kami mau main petak umpet, kau yang jaga, ya?” seorang gadis berwajah separuh menjawil pundakku.

Medan, Menjelang Pemilu 2014

ANTOLOGI TERBARUKU

Unknown
WHO IS THE MURDERER?
Penerbit Pustaka Jingga
Karya Antolgi Cerpen-cerpen Thriller





Cuplikan cerpen saya di buku ini:

TITIK MERAH

...



Sudah berapa kali kukatakan Raizel, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu… masihkah kau tidak mengerti?”

Raizel menangis dan memberontak untuk melepaskan diri dari pelukan itu.

“Aku tidak mencintaimu! Kau orang gila! Aaaaaaa!” 

Danish menarik rambut Raizel ke belakang, hingga wajah mereka saling berpandangan.

“Dasar perempuan keras kepala, apa kau mau mati juga?”

“Lebih baik aku mati dari pada menerima cintamu!”

Danish makin mencengkram rambut Raizel hingga Raizel meringis kesakitan, Danish tunduk untuk mengambil pisau, kepala Raizel ikut tertunduk karena gerakan itu.

“Bunuh! Bunuh aku! Kau pikir aku takut?” 

“Jleb…! Jleb! Jleb” Danish menusuk perut Raizel hingga tiga kali, tubuh Raizel pun roboh ke tanah. Lalu Danish menusukkan pisau itu ke jantungnya sendiri. Matanya melotot seperti hendak keluar.

...


 Pemesanan 0856 4545 9192
Format sms murder-jumlah buku-nama lengkap-alamat lengkap-no hp

Rabu, 02 April 2014

VIRUS BOVIAR

Unknown

Kemuning memandang sore yang hujan dari jendela apartemennya. Lalu kembali mengalihkan pandangan pada sebatang cokelat yang sejak tadi ia genggam. Hampir meleleh. Ia membaginya jadi dua bagian, menyorongkan ke mulutnya setengah bagian dan setengahnya ia letakkan di atas meja. Kemuning menjilati sisa cokelat dari ujung telunjuk dan jempolnya.
“Menjijikkan!” seru sebatang tongkat baseball padanya.
Kemuning tersentak dan membuatnya hampir jatuh terjengkang dari kursi yang didudukinya.
“Chesckhaa! Tolong! Jangan karena kau bisa berubah bentuk jadi apa saja, lalu kau semena-mena muncul di hadapanku dengan wujud tongkat jelek begitu!” Kemuning memekik, alis tebalnya bertaut, bulu mata lentiknya mengerjap dan bibir indahnya memberengut.
Tongkat baseball itu bergetar seperti agar-agar, lalu…
“Plup!!” tongkat baseball sudah menjelma menjadi gadis pirang berwajah tirus dan sedikit pucat.
“Sorry, gadis pemarah!” ucap Chesckha gadis yang tadinya berwujud tongkat baseball itu santai lalu menggamit cokelat di atas meja dan memasukkan ke dalam mulutnya.
“Apa rencanamu hari ini?” tanya Chesckha setelah menelan cokelatnya.
“Tidak ada…,” Kemuning menjawab ringan sambil menggaruk punggungnya. Ia mengernyit menikmati sensasi gatal yang digaruk.
“Apaaaaaaaaa??!!” jerit Chesckha, tubuhnya menggelembung seperti ikan buntel saat merasa terancam. Mulutnya terkuak dan menampakkan gigi-gigi tajam seperti hiu. Beberapa perkakas rumah yang tersentuh badannya yang membesar berjatuhan ke lantai.
Kemuning melongo, “Rrrr… maksudku ada… ya ada…,” Kemuning mendengus, tidak yakin hendak mengatakan apa. “Di luar hujan, Ches!”
“Aku tak peduli mau di luar hujan atau sedang kiamat!” seru Chesckha sambil menyusutkan tubuhnya dalam bentuk semula.
“Ya, begitu lebih baik,” komentar Kemuning.
Chesckha melotot dengan tatapan ‘tak memerlukan komentar apa pun tentang tubuhnya’.
Kemuning mendehem.
“Bisakah kau mengatakan sesuatu, Kemuning?” tanya Chesckha lalu meneliti wajah Kemuning.
“Bisakah kita melakukannya besok saja?”
“Sayangnya tidak, cantik!” Chesckha menggeleng.
“Kenapa kau libatkan aku dalam misi rumit begini, Chesckha?”
“Apanya yang rumit? Kau hanya perlu menyuntikkan virus yang kucuri dari planet BOVIAR-ku ke tubuh Presidenmu! Itu saja!”
Kemuning mendelik, Chesckha baru saja mengatakan itu seperti memerintah Kemuning memasak mi instan.
“Tenang, katamu kau ingin melakukan hal yang berguna untuk bangsamu. Setelah ini, kau bukan hanya sekedar gadis kurus, tak pintar matematika yang menyedihkan, tapi kau adalah pahlawan!”
“Pakai ini…, “ Chesckha menyorongkan sesuatu di dalam plastik.
“Kostum?” Kemuning bergidik. “Aku gak mau jadi semacam Spidergirl atau Wondergirl atau yang semacam itu!”
“Jangan bodoh! Kostum ini membuatmu tak terlihat. Pakai!”
“Kau sajalah… kau kan lebih sakti!”
“Ini negaramu! Bukan negaraku!” Chesckha hampir menggelembung lagi, Kemuning buru-buru mengenakan pakaian itu.
            Tengah malam, istana kepresidenan sedang mendengkur, kecuali pengawal yang berjaga di sepanjang istana. Kemuning sudah siap dengan suntik berisi virus di tangannya, ia segera masuk ke kamar utama. Ibu Negara sedang meng-upload foto di instagram. Pak Presiden sudah mendengkur.
“Jussss…” virus sudah sukses mengalir di sel-sel darah Pak Presiden.
Pak Presiden sontak terbangun, menelepon seluruh menterinya. Rapat mendadak! Dengan keputusan: harga-harga bahan pokok turun, sekolah gratis, kesehatan gratis, pajak untuk barang mewah naik, kembali galakkan sektor ekonomi mikro, tak ada kerja sama dengan luar negeri kecuali yang menguntungkan harkat hidup orang banyak. Yang tak menjalankan titah presiden TEMBAK MATI!
“Aku harap, aku melakukan yang yang benar…,” Kemuning nyengir.
Medan, 5 Februari 2014

Perempuan Salju

Unknown

Pada malam berbintang saru
Ia pinta aku menyasau desaunya yang paling pilu
Ia mengempap sasi dalam mulutnya
Sebabkan malam pekat gulita

Ia menjajarkan aku pada bait dalam puisinya yang kelompang
Memaksa aku menari dalam kalbunya yang beku
Menghadirkan sesak menggabak air mata
Hancur dilumat hujan salju paling gemuruh

Sedetik ia memelukku dalam hangat
Beratus detik berdetak kemudian
Ia biarkan aku menggigil
Bergumul dengan gemeretak harapan

: Hei, aku perempuan salju!

Mulutnya bergetar sendu
Masihkah aku boleh mengharap api bergolak di dirinya?

Melihat dan Mencatat

Unknown

Senja sudah menguning dipapar mentari tua
Saat Kulihat Agita mulai membuka mata
Sisa lelah kemarin sudah sirna
Berganti sumringah yang hinggap tercerna

Orang-orang berwajah lelah bersimbah jengah
Melirik Agita tajam, gelindingkan benci bak air bah
Agita, seperti biasa, senyum manis terus membelah.
Menelan pahit seperti yang sudah-sudah.

Maghrib, muadzin renta mencekik pengeras suara
Anak muda perkasa, masih sibuk urus dunia.
Mencibir Agita yang lebih memilih duduk di depan kaca.
Mengaitkan topeng dengan bedak segala rupa

Maghrib sudah berlalu tiga rakaat.
Agita siap berangkat, menenteng tas berisi jimat
Berlalu cepat setengah telanjang, tunggu antrian para pejabat
Kata orang itu maksiat, jahat, bejat.

Agita tak mengerti banyak
Yang dia tahu dia harus bertahan hidup layak

Dan akan AKU selalu di sini, MELIHAT dan MENCATAT!

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes