Selasa, 18 Juni 2013

Kolong Jembatan dan Putri Jingga Wangi

Unknown


            Nyiman tersentak bangun, bagai tersengat listrik ia bergegas bangkit dari kasurnya. Gelap masih merambat, dingin masih memeluk erat pada jam dua dini hari tepat. Nyiman berjingkat keluar dari kamar, ia lalu mengintip kamar sebelah, Ibunya nampak terlelap memeluk guling. Nyiman melangkah ke dapur, membuka pintu dapur perlahan, menutup dan menguncinya kembali. Suara orkestra jangkrik dan kodok menyambut Nyiman yang kini sedang celingak celinguk ke segala arah di depan pintu, guna memastikan tidak ada orang yang melihatnya.

            Nyiman menyibak semak yang ada di belakang rumahnya, menyelinap di tanaman tanaman perdu yang tumbuh belukar hingga sampai di kebun melinjo milik Pak Haji Hasan. Nyiman sudah bernaungkan pepohonan melinjo kini, beberapa buah melinjo tua jatuh tersambar angin semilir. Ia terus melangkah dalam gelap menuju pinggir kebun melinjo yang berakhir pada jalan desa beraspal. Sampai di jalan aspal, Nyiman membelok ke kiri dan meneruskan tapak demi tapak kakinya yang terus memburu pada satu titik yang menjadi tujuannya tanpa keraguan secuil pun. Padahal, suasana begitu mencekam, hingga tetap tinggal di dalam rumah adalah suatu pilihan yang tidak buruk. Cerita tentang hantu gentayangan masih hangat di rumpian warga di halaman- halaman rumah, di warung kopi hingga di sawah kebun. Namun dari wajah Nyiman yang tenang, tampak desas desus seram tersebut dianggapnya hanya dongeng kancil biasa.

            Nyiman sampai pada sebuah jembatan di atas satu satunya sungai yang mengalir di desa itu, sungai tempat seribu sawah desa bertumpu, sungai sumber hidup seluruh warga, jembatan bertangan besi berwarna kuning itu tampak horor, entah karena sunyinya atau karena cerita warga yang menyelimutinya dengan jubah kata angker. Nyiman makin mendekat pada jembatan, ia mengambil jalan setapak di pinggir jembatan yang menurun, jalan menuju tepi sungai yang biasa dipakai orang menuju sungai untuk mandi atau mencuci pakaian atau hanya mencari rumput yang tumbuh subur di sekitar sana. Namun Nyiman tidak mengikuti jalan setapak hingga sampai pada seharusnya jalan itu berakhir, ia menikung, mengambil jalan bersemak tinggi, menuju kolong jembatan. Tempat yang menjadi tujuannya sejak awal.

            Nyiman sudah berdiri di bawah kolong jembatan, suara air sungai mengalir perlahan mensyahdukan jiwanya. Nyiman memejamkan mata, mengembang kempiskan hidungnya yang super besar seperti ogre, monster hijau di film Shrek, bergumam gumam memanggil nama seseorang. Nyiman lalu membuka mata, di depannya sudah berdiri sesosok perempuan bergaun merah hati. Perempuan tanpa mulut itu tersenyum dalam matanya yang hanya satu.

“Apa kabar sayangku.. Putri Jingga Wangi...” Nyiman membelai lembut wajah Putri Jingga Wangi dengan tangan penuh kudisnya yang tak henti hentinya tumbuh dan tak pernah sembuh, hingga Nyiman menjadi olok- olokan warga dengan juluk “Si Koreng” kadang ditambah kata Busuk di belakangnya atau Raja di depannya. Penyakit kudis yang menebar aroma amis dan tak kunjung sembuh menjadikannya dijauhi warga apalagi gadis. Namun, hampa hatinya sudah sarat cinta kini, cinta dari seorang gadis tanpa mulut, tanpa telinga dan tanpa detak jantung.

“I Love You..” kata kata yang baru dipelajari Nyiman seharian penuh sebelumnya pun mengalun indah.
Putri Jingga Wangi tenggelam dalam pelukan Nyiman yang berdebar penuh bulir asmara. Di bawah sinar bulan purnama mereka siap memadu kasih hingga langit kembali melahirkan fajar jingga yang penuh pesona.

Rabu, 12 Juni 2013

Lelaki dengan Tiga Kantung Kemih

Unknown
Rumah tua yang hampir berlumut itu sudah kenyang aku kunjungi. Penghuninya hanya seorang pria tua tanpa istri dan tanpa anak. Tanpa sanak keluarga dan handai taulan. Hanya seorang diri. Setiap aku datang bersama Bapakku yang seorang petugas kebersihan di rumah itu, pria itu pasti sedang duduk di kursi goyangnya, menghisap pipa tembakau menghadap halaman samping rumahnya yang penuh pohon pohon tua dengan akar akar batang menggelantung tak beraturan. Aku pasti akan mencengkram ujung baju Bapak dan menunduk kala melewati sosoknya, karena aku sungguh takut kepadanya. Tatapan matanya mampu mencakar dan mencabik- cabikku hingga dapat dipastikan aku tidak akan lena tidur di malam harinya. Kalau bisa memilih untuk tetap tinggal di rumah saat Bapak bekerja, tentunya aku sangat senang, tidak bertemu Pria sangar itu, tapi apa daya Bapak tidak mau meninggalkan putri kecil semata wayangnya di rumah seorang diri.

Setelah ketar ketir melewati pria itu dibelakang pundak Bapak, aku lega, dan duduk di kursi makan di dapur. Seorang pembantu yang bertugas memasak makanan sedang sibuk di sana. Ia memberiku sepotong roti. Setelah melahapnya dan mengucapkan terima kasih, aku menghampiri Bapak yang sedang menggosok lantai kamar mandi. Setiap hari Bapak harus membersihkan kamar mandi yang ada banyak di rumah ini. Karena Pria itu suka sembarangan buang air kecil dimana mana ia berkehendak dan tidak mau menyiramnya. Pernah aku bertanya mengapa pria ini jorok sekali kepada Bapak, dan dari situlah mengalir cerita Bapak hingga membuat aku tahu sedikit tentang sejarah pria ini. 
“Itu kutukan baginya..” bisik Bapak di telingaku.
Konon, pria ini dulunya adalah pejabat yang amat kaya raya. Punya istri yang cantik dan anak anak yang pintar. Dikelilingi banyak handai taulan yang rela bahu membahu membantunya. Namun dia adalah seorang pejabat yang keji dan tamak. Bertindak culas demi keuntungan pribadi semata. Ia menumpuk pundi pundi kekayaannya dengan cara- cara kotor dan tak beradab. Suatu hari, ia kedatangan tamu, seorang kakek tua di kantornya yang megah. Tentu saja saat sekertarisnya memberitahu kedatangan tamu itu, ia menolak mentah- mentah dan memerintahkan agar Satpam mengusir Kakek berpakaian kumal itu. Kakek itu bermohon, dan berkata ingin menasihati sang Pejabat agar tidak berlaku bengis lagi terhadap rakyat kecil, karena jika tidak bencana akan segera mendatangi dia dan keluarganya. Namun Satpam itu berkeras dan berhasil menelungkupkan tubuh si Kakek renta ke halaman kantor yang dibangun dengan pajak rakyat itu.

Benar saja, sejak kejadian pengusiran itu, keanehan mulai terjadi pada Sang Pejabat, air seninya selalu banyak padahal dia minum cuma sedikit, serta ditambah bau busuk yang menyengat dari air seninya, dan anehnya lagi tangannya tidak kuasa menyiram sendiri air seni itu, harus dikerjakan oleh orang lain. Ia lalu cepat cepat periksa ke dokter terbaik di darat maupun udara, tapi tidak ditemukan sedikit pun kesalahan pada tubuhnya. Lambat laun istri dan anak anaknya menjauh karena tidak tahan dengan kondisi si Pejabat, belum lagi mereka harus setiap hari membersihkan air seni yang beraroma super bau itu. Karena itu pula dia jadi tidak percaya diri dan pamornya sebagai pejabat menurun dan tidak dipilih lagi di pemilu yang selanjutnya. Hingga kini pria itu harus berpuas diri hidup dari perusahaan tebu kecil miliknya yang tersisa dari berpuluh perusahaan yang dimilikinya dulu dan tinggal sendirian di rumah tua ini.

Kabar burung yang beredar dari mulut ke mulut, penyebab mengapa ia berair seni banyak sekali dan bau adalah karena lelaki itu memiliki tiga kantung kemih. 

Bleekk..!!! Tiba tiba sebuah tangan besar menyentuh pundakku dan membuyarkan lamunanku. Aku terkejut dan jantungku hampir melompat, si Pria dengan tiga kantong kemih sudah berada di belakangku dan menyeringai mengerikan. Aku gemetar dan minggir menjauhi pintu kamar mandi, Bapak pun beringsut keluar. Pria itu masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Dan Soooooorrr!!!! Ia buang air kecil dengan jumlah seni kelewat banyak, bunyinya seperti orang menuangkan air seember penuh ke lantai kamar mandi. Aku bergidik, bakalan tidak bisa tidur malam ini. Tatapan gila itu bersemayam di mataku.

Senin, 10 Juni 2013

Burung

Unknown

Gugun pucat, layu dan mengkerut di sudut ruangan. Ia bergeming di sana, memandang kosong pada ujung sepatu bututnya. Bolong di ujung sepatunya pun jengah dipandangi Gugun sedari tadi.

Sebuah suara menghardik keras.
"Kau kemanakan uang sekolah yang Ibu beri padamu Gun?" Seorang Ibu berpenampilan sangat sangat sederhana duduk di seberang Kepala Sekolah yang turut menatap Gugun prihatin. Api emosi berkilat di bola mata wanita kurus itu. Rasa lelahnya mencari daun pisang demi uang sekolah lima puluh ribu kembali mengunjungi pundak lemahnya, sebab uang itu tak berhasil dihela Gugun pada kandang yang tepat.

Gugun menggigit bibir, bola matanya berpindah pada seekor burung yang sedari tadi digenggamnya kuat dengan kedua tangannya. Burung merpati di tangannya tampak jinak, hasil didikan Gugun setiap hari. Bersama teman- temannya, sepulang sekolah Gugun selalu singgah ke lapangan bola, dua orang temannya masing masing menggenggam satu burung merpati betina di satu titik. Pada jarak tertentu, Gugun dan seorang temannya yang lain menerbangkan merpati jantannya, memasang taruhan burung siapa yang akan sampai pada betinanya terlebih dahulu. Gugun menarik nafas dan berbicara pelan sekali sambil mengangkat burung itu lebih tinggi ke depan dadanya.

"Ini dia bu.." ucapnya penuh penyesalan.

Medan, 10 Juni 2013, 16.18 WIB

*terinspirasi dari anak anak sekitar rumah yang sedang heboh main balap burung merpati... 

Minggu, 02 Juni 2013

Unknown
Malam itu angin bertiup kencang, berdebur melampaui pepohonan yang terhempas- hempas tak beraturan kesana kemari. Menimbulkan suara desiran kuat yang meraung raung. Sesosok tubuh kurus nan ringkih melangkah lambat di sebuah jalan setapak yang diapit semak- semak, ia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan hitamnya yang berdebu. Ia tidak bergegas seperti insan insan lain yang terburu buru berlari mencapai rumahnya atau paling tidak tempat yang bisa dijadikan untuk berteduh. Maklum, langit sudah berulang kali bergemuruh, berdentum dentum dan terbatuk batuk, ingin segera memuntahkan selaksa air dari mulutnya. Terguyur hujan dalam malam yang dingin ini bisa membuat tubuhmu menggigil dan menaikkan suhu badanmu hingga tinggi sekali.

Pria yang ditaksir berusia sekitar lima belas tahun itu terus tunduk dan berjalan. Menekuri jalan setapak yang hanya tanah keras dan bebatuan itu. Memandangnya lekat seolah tanah keras itu akan menghilang kalau ia lengah memberi pandangan. Wajahnya yang berdebu dibingkai rambut gimbal yang bukan karena tempaan secara sengaja, melainan tempaan dari kehidupan jalanan yang tidak menyediakan salon untuk perawatan rambut. Ia terus berjalan dan berjalan. Hingga,, byuurrrrr... hujan menghujam di kulit tubuhnya, membasahi seluruh badannya. Hujan mengecup setiap inci wajahnya, mengusir segala debu yang pernah menempel. Tiba tiba langkahnya terhenti. Ia membuka kedua belah tangannya, menengadah ke langit. Bibir kecilnya berujar pilu,

"Hujaaan,, Ini diriku... bawalah aku ke tempat dimana kau berasal, angkat aku jadi anakmu. Dan biarkan aku tidur di pangkuanmu. Hujaaaann... kasihanilah aku yang sudah tak beribu dan berayah ini, sungguh sulit kurasa hidup di dunia yang rajin kau sambangi dengan air mu itu.. dunia yang senantiasa kejam padaku.. Hujaaaannn.. rengkuhlah aku..."

                                                                              ***

"Mana setoranmu kamprettt??"

"Gaa adaaa Om... tadi sepiii..."

"Hahahahaa!! Kau pikir aku percaya kata kata busukmu itu kampret kecilll??"

Jaka menggigil, ia takut dan khawatir, ia tadi mengubur uang hasil mengamennya di taman kota. Uang itu akan dikumpulkannya karena ia ingin bersekolah. Kalau semua selalu diserahkannya pada Om Septa, maka ia tidak akan dapat apa apa dan akan selamanya hidup di jalanan. Baginya, sekolah adalah kunci untuk lepas dari kekejaman dunia jalanan yang sudah kenyang dimamahnya bertahun tahun.

"Sumpah Om sumpaahh... memang ga adaa..."

Om Septa, menarik lengannya, hingga wajah Om Septa hanya seinsi di depannya. Aroma minuman keras dari multnya menyeruak.

"Jangan bohong..." Rahang Om Septa mengeras. Tangannya terangkat tinggi, lalu menampar pria kurus itu
keras sekali, hingga mulutnya berdarah.

"Ampun Ommm!!!"

"Sekarang cepat tunjukkan dimana uang itu kau sembunyikan, sebelum nyawamu melayang dan tubuhmu kujadikan makanan anjing!!!"

Jaka gentar dan menggigil. Ia pasrah, tak ada gunanya melawan Om Septa. Ia beranjak pergi ke taman kota. Om Septa tersenyum sinis, mengikuti Jaka dari belakang.

                                                                                  ***

"Langiitt.. berilah restu pada hujan untuk mengambilku dan membuaiku sebagai anaknya. Aku tak rela, jika harus mati ditangan orang bedebah, taik kucing dan bejat itu. Tidak mauuu... Tolooooong ambil aku hujaaann,,," Jaka melolong lolong sendu.

Pris kecil itu masih menengadah, membiarkan tubuhnya membeku.

"Slereetttt!!! Jelagaaaarrr!!!!"

Sebuah lidah cahaya turun ke bumi, menjilat tubuh Jaka, Jaka menggelinjang. Lidah cahaya memecahkan suara gemuruh menggelegar yang berdentum keras sekali. Jaka rubuh ke tanah basah di peluk gemuruh. Tubuhnya terus menggelepar, dan perlahan berhenti hingga kaku. Sebuah senyum melengkung di wajah gosong itu. Hujan ternyata sudi mengangkat Jaka menjadi anaknya.

Sementara itu sebuah buku terjalin rapi di lemari kaca para petinggi. Sampulnya bertuliskan larik indah hasil buah pikir para pendahulu, UUD 1945. Sebuah pasal bernomor 34 ayat pertama, tertidur pulas di dalamnya. Suara dengkurannya, menghantarkan nyawa Jaka yang terbang hingga ke awan.

Medan, 28 Mei 2013, 18.14 WIB

Hujan Mengangkat Anak

Unknown
Malam itu angin bertiup kencang, berdebur melampaui pepohonan yang terhempas- hempas tak beraturan kesana kemari. Menimbulkan suara desiran kuat yang meraung raung. Sesosok tubuh kurus nan ringkih melangkah lambat di sebuah jalan setapak yang diapit semak- semak, ia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan hitamnya yang berdebu. Ia tidak bergegas seperti insan insan lain yang terburu buru berlari mencapai rumahnya atau paling tidak tempat yang bisa dijadikan untuk berteduh. Maklum, langit sudah berulang kali bergemuruh, berdentum dentum dan terbatuk batuk, ingin segera memuntahkan selaksa air dari mulutnya. Terguyur hujan dalam malam yang dingin ini bisa membuat tubuhmu menggigil dan menaikkan suhu badanmu hingga tinggi sekali.

Pria yang ditaksir berusia sekitar delapan tahun itu terus tunduk dan berjalan. Menekuri jalan setapak yang hanya tanah keras dan bebatuan itu. Memandangnya lekat seolah tanah keras itu akan menghilang kalau ia lengah memberi pandangan. Wajahnya yang berdebu dibingkai rambut gimbal yang bukan karena tempaan secara sengaja, melainan tempaan dari kehidupan jalanan yang tidak menyediakan salon untuk perawatan rambut. Ia terus berjalan dan berjalan. Hingga,, byuurrrrr... hujan menghujam di kulit tubuhnya, membasahi seluruh badannya. Hujan mengecup setiap inci wajahnya, mengusir segala debu yang pernah menempel. Tiba tiba langkahnya terhenti. Ia membuka kedua belah tangannya, menengadah ke langit. Bibir kecilnya berujar pilu,

"Hujaaan,, Ini diriku... bawalah aku ke tempat dimana kau berasal, angkat aku jadi anakmu. Dan biarkan aku tidur di pangkuanmu. Hujaaaann... kasihanilah aku yang sudah tak beribu dan berayah ini, sungguh sulit kurasa hidup di dunia yang rajin kau sambangi dengan air mu itu.. dunia yang senantiasa kejam padaku.. Hujaaaannn.. rengkuhlah aku..."

***

"Mana setoranmu kamprettt??"

"Gaa adaaa Om... tadi sepiii..."

"Hahahahaa!! Kau pikir aku percaya kata kata busukmu itu kampret kecilll??"

Jaka menggigil, ia takut dan khawatir, ia tadi mengubur uang hasil mengamennya di taman kota. Uang itu akan dikumpulkannya karena ia ingin bersekolah. Kalau semua selalu diserahkannya pada Om Septa, maka ia tidak akan dapat apa apa dan akan selamanya hidup di jalanan. Baginya, sekolah adalah kunci untuk lepas dari kekejaman dunia jalanan yang sudah kenyang dimamahnya bertahun tahun.

"Sumpah Om sumpaahh... memang ga adaa..."

Om Septa, menarik lengannya, hingga wajah Om Septa hanya seinci di depannya. Aroma minuman keras dari mulutnya menyeruak.

"Jangan bohong..." Rahang Om Septa mengeras. Tangannya terangkat tinggi, lalu menampar pria kurus itu keras sekali, hingga mulutnya berdarah. 

"Ampun Ommm!!!"

"Sekarang cepat tunjukkan dimana uang itu kau sembunyikan, sebelum nyawamu melayang dan tubuhmu kujadikan makanan anjing!!!"

Jaka gentar dan menggigil. Ia pasrah, tak ada gunanya melawan Om Septa. Ia beranjak pergi ke taman kota. Om Septa tersenyum sinis dan puas, ia bersenandung, mengikuti Jaka dari belakang.

***

"Langiitt.. berilah restu pada hujan untuk mengambilku dan membuaiku sebagai anaknya. Aku tak rela, jika harus mati ditangan orang bedebah, taik kucing dan bejat itu. Tidak mauuu... Tolooooong ambil aku hujaaann,,," Jaka melolong lolong sendu.

Pris kecil itu masih menengadah, membiarkan tubuhnya membeku.

"Slereetttt!!! Jelagaaaarrr!!!!"

Sebuah lidah cahaya turun ke bumi, menjilat tubuh Jaka, Jaka menggelinjang. Lidah cahaya memecahkan suara gemuruh menggelegar yang berdentum keras sekali. Jaka rubuh ke tanah basah di peluk gemuruh. Tubuhnya terus menggelepar, dan perlahan berhenti hingga kaku, tidak bernapas. Sebuah senyum melengkung di wajah gosong itu. Hujan ternyata sudi mengangkat Jaka menjadi anaknya, petir sudah menjemputnya semenit yang lalu.

Sementara itu sebuah buku terjalin rapi di lemari kaca para petinggi. Sampulnya bertuliskan larik indah hasil buah pikir para pendahulu, UUD 1945. Sebuah pasal bernomor 34 ayat pertama, tertidur pulas di dalamnya. Suara dengkurannya, menghantarkan nyawa Jaka yang terbang hingga ke awan.

Medan, 28 Mei 2013, 18.14 WIB

Jumat, 31 Mei 2013

Mantra

Unknown
Mari sejenak ikut aku.
Aku akan mengajakmu ke sebuah tempat dimana kau bisa menyaksikan dirimu sendiri sedang bermain di sana.
Tapi syaratnya, tanggalkan dulu baju keangkuhan yang ada pada dirimu..
Lepaskan semua atribut keduniawianmu..
Biarkan dirimu telanjang..

Sudah?
Jika sudah, pegang tanganku.. dan pejamkan matamu..
Rapalkan mantra ini, "Aku percaya hatiku.." berulang ulang, terus menerus, hingga kau benar benar melihat dirimu sendiri di sana..

Medan, 31 Mei 2013

Kamis, 30 Mei 2013

KAUM IBU DAN DUNIA POLITIK

Unknown


Kata seseorang padaku..”Mamak- Mamak (Ibu- Ibu) nggak usah ngikutin perkembangan politik! Masak saja di dapur sana..!!” Lalu bagaimana jika seorang Mamak- Mamak (Ibu- Ibu) seperti saya terkadang suka melihat debat- debat politik seperti yang sering tayang di TV. Harus tutup matakah? Harus masak terus kah? Kan sudah selesai sedari tadi.. Terus misalnya kalau anak kita atau murid bertanya tentang politik.. Apakah saya harus jawab, “Hey..saya ini kan Mamak- Mamak.. Tanya saja pada Bapak- Bapak sana!!!”

Demikianlah seringnya komentar masyarakat terhadap kaum perempuan terutama yang sudah menjadi Ibu- Ibu atau Mamak- Mamak dalam bahasa lokal di sini (Medan). Kebanyakan komentar itu keluar dari mulut- mulut para pria yang menganggap perempuan itu hanya cocok mengurusi masalah domestik saja. Mohon maaf, sebenarnya saya bukanlah seorang aktifis wanita yang selalu memperjuangkan kesetaraan gender dalam segala lini, saya hanya perempuan yang tidak melihat adanya keanehan jika wanita ingin mengetahui tentang hal hal yang berbau politik terutama yang terjadi di negaranya dan lalu kemudian sedikit berkomentar akan hal itu.

Coba tilik sejenak definisi dari politik itu sendiri menurut beberapa ahli definisi,
Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.

Rabu, 29 Mei 2013

SEBUAH ESSAY MEMBLEY

Unknown



Penggunaan Bahasa Serapan di Kota Medan (Judulnya sok gaya,, padahal...)

Republik Indonesia telah menikmati kemerdekaannya sejak tanggal 17 Agustus 1945. Setelah sebelumnya Jepang dan Belanda sukses menginvasi negeri yang melimpah hasil alamnya ini. Belanda, sebagai negara yang menjajah dengan waktu terlama, sekitar tiga setengah abad, membawa pengaruh besar dalam segala lini kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia. Terutama dalam segi budaya dan bahasanya. Banyak kebudayaan Belanda yang secara alamiah tersadur menjadi budaya masyarakat lokal. Demikian pula bahasa, banyak bahasa belanda yang sudah diserap menjadi bahasa lokal yang bahkan hingga sekarang masih dipergunakan dalam percakapan sehari- hari, contohnya saja, sepur= Spoor= kereta api atau atrek= trekken= mundur, dan lain sebagainya. (Dan lain sebagainya dipaksa letak oleh penulis di sini karena beliau tidak tahu lagi apa kata kata serapan bahasa Belanda yang lainnya, maklum essay ini memang sengaja dibuat untuk menjadi essay yang dangkal agar para pembaca tidak tenggelam, bukan essay yang tajam agar pembaca tidak terluka, hehehe..pisss ^_^).

Namun, ada sesuatu hal yang menggelitik penulis untuk diangkat dalam tulisan ini. Bahasa Belanda kemudian diserap menjadi bahasa lokal rakyat Indonesia adalah bukan sebuah keganjilan, terang saja, tiga setengah abad itu bukan waktu yang sebentar untuk sebuah proses akulturasi budaya. Tapi bagaimana, jika Bahasa Inggris menjadi bahasa sumber, atas bahasa bahasa serapan yang banyak dipakai masyarakat Sumatera Utara umumnya dan Medan pada khususnya. Padahal seperti yang kita ketahui bersama dulunya orang Inggris cuma dibonceng saja sama tentara Belanda sebagai sekutu mereka hingga sampai di negeri kita tercinta ini. (Btw mereka pelukan mesra gak yaa, saat boncengan??).

Berikut ini beberapa contoh kata serapan dari Bahasa Inggris dan sekaligus aplikasi kata dalam kalimat, yang masih setia dipakai oleh orang orang yang berdomisili di Medan atau SUMUT:

1. Selo= santai------Slow= Lambat
Contoh kalimat>> Seloo laahh laeee>>> Santai lah bro..

2. Tere= coba------try= coba
Contoh kalimat>> Tere dulu baju itu>>> coba pakai dulu baju itu.

3. Repet=berbicara terus menerus-----repeat=mengulang
Contoh kalimat>> Merepet aja kau lah>>> Kamu kok ngomel terus??

4. tu (Bhs.batak)= ke------to= ke
Contoh kalimat>> lau tu dia ho lao>>> Hendak kemana kamu?

5. Ringso= deterjen---- Rinso= merek deterjen
Contoh kalimat>> Belikkan dulu mamak rinso= Anaknya pulang bawa So Klin tdak msalah.

(Maaf contoh nomor 5 abaikan saja, sungguh tidak relevan pada konteks, ini hanyalah sebuah perwujudan rasa trauma yang dialami penulis di zaman beliau menimba ilmu, karena sering mendapati guru atau dosen, suka memberi nilai tinggi dan menawan pada jawaban ujian yang panjang lebar dan tulisan rapi, tak peduli benar atau tidak.)

Penulis ingin sekali melakukan penelitian akan hal ini, namun karena secara latar belakang pendidikannya, penulis bukanlah orang yang mumpuni, biarlah ia menjadi rahasia kita berdua. (loh kok?? dialog yang tak sengaja terserap dari sinetron yang sambil ditonton penulis saat menulis essay ini). Tak peduli entah bagaimana bahasa itu dapat menjelma menjadi bahasa lokal, yang pasti bahasa bahasa tersebut tak dipungkiri sudah melekat erat pada rakyat Sumut, bahkan menjadi trademark yang khas. Tak pernah luntur dari dulu hingga sekarang. Tetap abadi dan menwangi, tidak seperti halnya bahasa gaul atau alay, yang akan memudar seiring berkembangnya zaman. Ciyyuus?? Miapah?

Apa pun itu selalu cintailah bahasa dan budayamu sendiri, dengan begitu kau akan mudah dikenali orang dan tampak berkharakter. Lagi pula siapa yang akan mencintai budaya kita? Jika bukan kita sendiri. Tidak mau kan kalau anda tiba tiba mendengar orang Malaysia berkata, "Sooorr kau??? Maeenn!!!!" di antara penonton yang berdesak desakan di Stadion Teladan saat Tim Sepak Bola Malaysia dan Tim Sepak Bola Indonesia bertanding?

Apa pun itu, itulah itu. Jadi kalau apa, jangan apa ya, nanti apa pulak semuanya. Kaco kali ah!!!

Haaa.. apa kau tengok tengokk??? *tikam. *mati*

(Satu lagi, hati hati dengan mata tajam dan pandangan nanarmu jika tiba di Medan dan sekitarnya, ini bisa berujung kematian atau bahkan cinta yang membara..)

Hehehe... SUMUT oh SUMUT.. MEdan oh Medan.. I lop ya foreva...

30 Mei 2013, 11.05 WIB

By Yunita Ramadayanti Saragi di Sudut Belantara Kota Medan.

Jumat, 24 Mei 2013

Secangkir Teh

Unknown

Secangkir teh yang sedang mengepul di hadapanmu itu, kubuatkan khusus untukmu, dari satu persen gula pasir, satu persen teh, lima persen air mendidih dan sembilan puluh tiga persen rasa cinta.
Eitt.. Jangan terburu buru begitu mereguknya. Perlahanlah. Hirup dulu aromanya, lalu kau sesap sedikit. Setelahnya, lihat lah senyumku yang kurangkai untukmu. Lalu ceritakan tentang harimu dan bagaimana kau melaluinya.
Jika itu cerita bahagia dan membahagiakan, peluklah tubuhku dan kita tertawa bersama. Lalu kau sesap lagi teh itu, maka kau akan mendapati kebahagiaan itu akan menjadi abadi di hatimu seiring dengan teh yang mengalir dan mengendap di tubuhmu.
Jika itu cerita sedih dan menyedihkan, menangislah di pundakku dan kita akan menangis bersama. Lalu reguk kembali teh itu, maka kau akan mendapati kesedihan itu lenyap tak berbekas bersama dengan asap teh yang melayang ke udara.

Medan, 24 Mei 2013, 17.58 WIB


Selasa, 21 Mei 2013

KALENDER MASA LALU

Unknown
Ada saat dimana aku ingin membakar habis kenangan bersamamu agar ia hangus dan tinggal debu.
Namun ada saat saat dimana aku ingin menyiraminya dengan air hujan agar ia tetap tumbuh subur dan menjalari hatiku.

Senin, 20 Mei 2013

AKU MENCINTAIMU DENGAN BODOH

Unknown

AKU MENCINTAIMU DENGAN BODOH

Saat aku katakan padamu bahwa aku mencintaimu dengan bodoh, kau tertawa geli, memalingkan wajahmu pada langit dan cekikikan di dalam lipatan awan. Kau menanggap itu lucu. Padahal aku sedang serius. Coba kau dengar alasan apa yang membuat aku berkata bahwa aku mencintaimu dengan bodoh.

Minggu, 19 Mei 2013

Matahari Muda

Unknown
Manakala segaris kuning emas pecah di ufuk timur, tangis matahari muda memancar ke seluruh langit yang dingin dan kelam..
Memantik percikan cahaya yang mengigit tiap makhluk yang bersuka cita akan kedatangannya..

Desahan pepohonan riuh, menggapai gapai ingin segera disetubuhi..
Manusia manusia bergegas, mengutipi berkah yang terserak di kolong langit..
Bahkan seekor bekicot malas pun terpergok sedang menyusu pada sinarmu yang menggoda..

Sabtu, 18 Mei 2013

Telaga Memori

Unknown
Orang biasa menyebutnya dengan Memori. Ia serupa sebuah telaga yang tersembunyi dan rahasia, jauh di dalam hutan perawan. Indah, mistis dan berdaya tarik. Hanya dirimu seorang yang tahu jalan ke sana. Hanya kamu seorang yang bisa menikmati keindahannya. Saat kau berada di sana, sebagian dirimu ingin tetap tinggal dan menari dengan bebas. Namun sebagian dirimu sadar, bahwa kau harus kembali pulang. Demi sebuah telaga indah itu, beberapa orang terkadang alpa menarik garis imaji sebagai tembok pembatas antara sebuah kenangan dan masa kini. Seringnya sebagian dari mereka terus berjalan masuk ke dalam telaga, menelusupkan jiwanya ke dalam telaga, menikmati airnya yang sejuk, dan mereguk pesonanya hingga mabuk lalu tenggelam.

Jumat, 17 Mei 2013

Romantic Atmosphere

Unknown
Hujan lebat, sendiri, aroma tanah basah dan basah kuyup. Empat variabel ini dicurigai mampu menciptakan hipotesis "Romantic Atmosphere". Untuk itu aku akan menciptakan "gejala" yang disengaja dan beberapa eksperimen agar bisa membuktikan kebenaran dari hipotesa awal tersebut.

Pisang Goreng

Unknown
Bapak sudah duduk di teras. Ia siap menyantap pisang goreng dan kopi buatan Ibu.
"Buuuuu... kemari dulu..!"
Ibu bergegas menemui Bapak di teras.
"Ada apa lagi sih Pak?"
"Temenin Bapak dong.."

Kamis, 16 Mei 2013

PIZZA HUT

Unknown

Saat membaca judulnya, mungkin kau akan berfikir bahwa aku akan menceritakan sebuah tempat menjual makanan Pizza yang terkenal itu. Tapi tidak kawan, kau salah besar kalau berfikiran seperti itu. Aku tidak akan menceritakan mereka dan outlet outletnya yang tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia, aku akan bercerita tentang diriku sendiri. Yaa,, diriku sendiri. Namaku memang itu, ya itu.. Pizza Hut, itu namaku. Terdengar aneh ya?? Itulah yang akan ku ceritakan di sini. Aku ini anak dari seorang TKW yang bekerja di Oman. Bagaimana rupa Ibuku aku juga tidak begitu tahu. Apa lagi Ayahku, namanya saja aku tak pernah tahu. Mungkin ia bernama KEBAB TURKI atau MCDONALD atau apa tak pahamlah aku.

Rabu, 15 Mei 2013

Mimpi yang Hilang

Unknown
Pagi buta Milin sudah berada di halaman rumahnya, mengutipi mimpinya yang bertaburan tadi malam. Milin terperangah karena mimpinya hilang satu. Biasanya ia akan menghitung mimpinya, jika jumlahnya sudah pas, ia akan menyematkan peniti emas pada ujung mimpi dan menyimpannya di kendi untuk di pergunakan malam berikutnya. Milin pucat pasi, ia mencari cari kesana kemari. Di bawah pohon cemara? Tak ada. Di bawah pohon saga? Tak ada, bahkan di semak semak ilalang pun tak nampak. Milin mulai gugup. Bukan apa apa, mimpi yang hilang itu adalah mimpinya yang terliar. Ia tak mau seorang pun selain dirinya yang memiliki mimpi itu. Milin mulai menangis, merutuki dirinya sendiri yang tadi sedikit malas bangun karena bekerja terlalu lelah kemarin petang.

Lemari Ajaib

Unknown
Awalnya itu adalah sebuah lemari yang biasa biasa saja. Terbuat dari kayu, berdaun pintu dua dan memiliki rak rak serta beberapa laci dibagian dalamnya. Bulgi menyimpan pakaian pakaian miliknya dan beberapa surat penting serta bahan berharga di dalamnya. Biasa, tidak aneh. Namun pada suatu malam yang pekat, Bulgi tercekat, menyaksikan lemari pakaiannya itu bergerak gerak sendiri. Mulanya pelan, namun lama kelamaan lemarinya itu bergoncang keras dan pintunya membuka sendiri. Gubrak!! Semburat cahaya terpancar dari dalam lemari dan seketika itu si Lemari berhenti bergerak. Mulut Bulgi menganga, perlahan ia menghampiri pintu lemarinya yang menganga itu, kini tak tampak sebilah pakaian apa pun yang biasa tersusun di dalamnya. Cahaya itu menyilaukan, membuat Bulgi harus memicingkan matanya. Bulgi sudah sampai di bibir pintu lemari, ia melongok  ke dalam lemari. Serta merta sebuah kekuatan yang maha dahsyat menariknya hingga terhisap jauh ke dalam lemari. Tubuh Bulgi terbang berputar putar, Bulgi menjerit jerit ketakutan. Tubuh Bulgi berdebam ringan di atas sebidang tanah berumput. Cahaya silau sudah pergi. Bulgi takjub memandang sekeliling. Tempat apa ini, tanyanya pelan.

INVASI BOYBAND

Unknown
Tersiar kabar dari negeri KliningKlonong, bahwa Gemalini, Putri Raja Grogon, Raja dari segala Raja negeri KliningKlonong hendak dihukum mati. Kabar kabur yang nyata namun tak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya tapi santer ke seluruh penjuru negeri itu sampai juga di telinga saya. Seluruh rakyat KliningKlonong tersentak mendengar kabar ini. Cerita punya cerita, ternyata Gemalini telah melanggar Undang Undang yang telah ada dan berlaku sejak beribu ribu tahun yang lalu di kerajaan itu. Ratu Hiulana, Ibu Gemalini sekaligus istri Raja Grogon meraung di bawah kaki Raja memohon agar Raja sudi memutihkan kasus putri semata wayangnya itu. Namun Raja bergeming, ia tetap pada pendiriannya. Hukum harus ditegakkan, pekiknya, bahkan jika harus membunuh putri sendiri, ucapnya sambil meneteskan air mata.

Selasa, 14 Mei 2013

GELAS

Unknown

Koyumi bergeming di sebuah kursi, memandang nanar pada sebuah gelas di atas meja. Gelas itu berisi air jeruk asli yang diberi gula dan beberapa bongkahan kecil es batu. Dinding gelas bagian luar ditempeli bulir bulir air seperti embun. Liur hampir menetes dari sela bibirnya. Sungguh dari hati Koyumi yang terdalam, ia ingin sekali mereguk es jeruk itu hingga tuntas dan melenyapkan dahaganya. Koyumi berjuang mengumpulkan saliva sebanyak mungkin di rongga mulutnya lalu menelannnya sekaligus untuk menentramkan kerongkongannya yang lengket dan kering di cuaca panas menyengat ini.


Bubuk Mesiu

Unknown


                Cinta itu serupa bubuk mesiu, gelombang subsonik yang dihasilkannya mampu mendorong dan meledakkan seisi dunia magis seseorang. Aku tak berkata bohong tentang ini. Aku punya bukti. Sebut saja Rolando, ia kini sedang hancur berkeping keping sehabis meledak karena bara api cemburu menyulut bubuk mesiu cintanya. Mukanya yang kata banyak orang tampan, berubah drastis hingga mirip katak tersengat seribu tawon. Sembab bersimbah air mata. Ketangguhan yang kerap diperlihatkannya lunglai, lenyap entah kemana.

CERMIN

Unknown
CERMIN(Cerita Mini)
'CERMIN" by Yunita Ramadayantie Saragi

Gompar sangat benci kepada cermin. Menurutnya cermin itu benda yang selalu memantulkan kebohongan. Cermin selalu memperlihatkan hal sebaliknya dari sebuah fakta. Saat Gompar merasa senang, cermin selalu memperlihatkan kesedihan. Saat Gompar merasa baik baik saja, cermin pasti mewujudkan Gompar yang sedang sakit, bahkan saat Gompar merasa dirinya super tampan, Gompar hanya menemukan wajah penuh kudis pada cerminnya.


Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes