Nyiman tersentak bangun, bagai tersengat listrik ia
bergegas bangkit dari kasurnya. Gelap masih merambat, dingin masih memeluk erat
pada jam dua dini hari tepat. Nyiman berjingkat keluar dari kamar, ia lalu
mengintip kamar sebelah, Ibunya nampak terlelap memeluk guling. Nyiman
melangkah ke dapur, membuka pintu dapur perlahan, menutup dan menguncinya
kembali. Suara orkestra jangkrik dan kodok menyambut Nyiman yang kini sedang
celingak celinguk ke segala arah di depan pintu, guna memastikan tidak ada
orang yang melihatnya.
Nyiman menyibak semak yang ada di belakang rumahnya,
menyelinap di tanaman tanaman perdu yang tumbuh belukar hingga sampai di kebun
melinjo milik Pak Haji Hasan. Nyiman sudah bernaungkan pepohonan melinjo kini,
beberapa buah melinjo tua jatuh tersambar angin semilir. Ia terus melangkah
dalam gelap menuju pinggir kebun melinjo yang berakhir pada jalan desa
beraspal. Sampai di jalan aspal, Nyiman membelok ke kiri dan meneruskan tapak demi
tapak kakinya yang terus memburu pada satu titik yang menjadi tujuannya tanpa
keraguan secuil pun. Padahal, suasana begitu mencekam, hingga tetap tinggal di
dalam rumah adalah suatu pilihan yang tidak buruk. Cerita tentang hantu gentayangan
masih hangat di rumpian warga di halaman- halaman rumah, di warung kopi hingga
di sawah kebun. Namun dari wajah Nyiman yang tenang, tampak desas desus seram
tersebut dianggapnya hanya dongeng kancil biasa.
Nyiman sampai pada sebuah jembatan di atas satu satunya
sungai yang mengalir di desa itu, sungai tempat seribu sawah desa bertumpu,
sungai sumber hidup seluruh warga, jembatan bertangan besi berwarna kuning itu
tampak horor, entah karena sunyinya atau karena cerita warga yang
menyelimutinya dengan jubah kata angker. Nyiman makin mendekat pada jembatan,
ia mengambil jalan setapak di pinggir jembatan yang menurun, jalan menuju tepi
sungai yang biasa dipakai orang menuju sungai untuk mandi atau mencuci pakaian
atau hanya mencari rumput yang tumbuh subur di sekitar sana. Namun Nyiman tidak
mengikuti jalan setapak hingga sampai pada seharusnya jalan itu berakhir, ia menikung,
mengambil jalan bersemak tinggi, menuju kolong jembatan. Tempat yang menjadi
tujuannya sejak awal.
Nyiman sudah berdiri di bawah kolong jembatan, suara air
sungai mengalir perlahan mensyahdukan jiwanya. Nyiman memejamkan mata,
mengembang kempiskan hidungnya yang super besar seperti ogre, monster hijau di
film Shrek, bergumam gumam memanggil nama seseorang. Nyiman lalu membuka mata,
di depannya sudah berdiri sesosok perempuan bergaun merah hati. Perempuan tanpa
mulut itu tersenyum dalam matanya yang hanya satu.
“Apa kabar sayangku..
Putri Jingga Wangi...” Nyiman membelai lembut wajah Putri Jingga Wangi dengan tangan
penuh kudisnya yang tak henti hentinya tumbuh dan tak pernah sembuh, hingga
Nyiman menjadi olok- olokan warga dengan juluk “Si Koreng” kadang ditambah kata
Busuk di belakangnya atau Raja di depannya. Penyakit kudis yang menebar aroma
amis dan tak kunjung sembuh menjadikannya dijauhi warga apalagi gadis. Namun,
hampa hatinya sudah sarat cinta kini, cinta dari seorang gadis tanpa mulut,
tanpa telinga dan tanpa detak jantung.
“I Love You..” kata
kata yang baru dipelajari Nyiman seharian penuh sebelumnya pun mengalun indah.
Putri Jingga Wangi
tenggelam dalam pelukan Nyiman yang berdebar penuh bulir asmara. Di bawah sinar bulan purnama mereka siap memadu
kasih hingga langit kembali melahirkan fajar jingga yang penuh pesona.
0