Ho do
boruku, tapuk ni ate ateki
Ho do
boruku tapuk ni pusu pusuki
Burju
burju maho, na marsikkola i
Asa
dapot ho nasinita di rohami*
Lagu Boru Panggoaran yang dilantunkan tim
Paduan Suara acara wisuda nan syahdu itu, sukses membuatku kebanjiran air mata.
Kupandangi Bapak dan Mamak dari jauh, sedang duduk saling menguatkan di kursi
undangan. Aku sibuk mengusap air mata, dengan tisu yang baru saja kuminta dari
sahabatku. Dalam kondisi yang kurang sehat, Bapak menegar-negarkan diri untuk
menghadiri acara penting bagiku ini. Yeah, lebih dari setahun yang lalu, Bapak
terserang penyakit diabetes meliitus, ia mengundurkan diri dari Perusahaan Pulp
tempatnya bekerja, membuat keluarga ini runtuh secara ekonomi. Sempat terpikir
olehku, wisuda ini tak akan terjadi karena terkendala biaya, namun lihatlah
sekarang, aku di sini, berbalutkan toga nan gagah perkasa. Perjuangan Bapak dan
Mamak dibayar lunas oleh Tuhan hari ini.
***
“Apa yang kaubuat, Yun?! Kegilaan macam apa ini?! Sana, kaulihat Mamak!
LIHAAAT!” Suara kakakku menggelegar memenuhi ruangan. Aku bersimbah air mata.
Lalu beranjak perlahan ke ruang tengah, kudengar tangisan Mamak menderu-deru.
Sebuah palu baja seolah menghentak hatiku keras. Apa yang sudah aku lakukan?
tanyaku, untuk diriku sendiri.
Aku melewati Bapak yang duduk lemah, sakitnya sedang kambuh. Ia diam
saja.
“Sudah?” tanya Mamak di sela isak tangisnya. “Bunuh saja bapakmu ...
sudah capek-capek Mamak berjuang supaya bapakmu sembuh, kaudatang dengan
masalah yang sebegini berat!
Kali ini beribu anak panah berhamburan entah dari mana dan bersarang di
jantungku.
Bapak tetap diam.
“Benar firasat Mamak, kau ... kau ....” Mamak tak mampu meneruskan kata-katanya,
tangisnya pecah lagi. Aku semakin tersudut, kalau sekarang Allah mencabut
nyawaku, rasanya aku akan senang sekali.
“Sudah, Mak. Dia sudah dewasa. Biar dia melakukan semua yang dia mau,
biar dia tanggung jawab atas semua itu sendiri!” Bapak akhirnya angkat bicara.
Aku memandang suamiku yang bergeming di samping Bapak. Mematung dengan
wajah yang tak dapat kudefenisikan.
“Tidak! Kau …. Gak nyangka Mamak, pikiranmu sepicik ini!” Mamak terus
menceracau dengan kalimat asing yang selama ini tak pernah aku dengar, aku
tidak mengenal situasi ini, sama sekali tidak. Mamak selalu berkata lembut,
Bapak selalu peduli. Tak pernah, sama sekali tak pernah aku dalam situasi
sedemikan terpojok oleh orang-orang yang biasanya membelai dan menyuapiku. Aku
mulai meraung-meraung.
Sebuah tangan kemudian meraihku, suamiku mendekapku erat dalam
pelukannya.
“Sudahlah, Mak, Pak. Jangan begitu, dia ini lemah!” Aku makin menangis
sejadi-jadinya. Orang yang telah kulukai, turun membelaku dengan tulus. Orang
yang semenit tadi kupaksa untuk mengembalikan aku pada orang tuaku, hingga
mereka berdua berang kepadaku, kini datang mengulurkan tangan.
Oh, aku ini terserang bodoh tingkat berapa? Tak pernah aku selama ini
mengecewakan orang tuaku. Tak pernah selama ini aku membuat mereka marah yang
sangat. Kali ini aku melukai hati seluruh orang yang menyayangiku sekaligus,
hanya dengan keinginan bodohku, untuk berpisah dengan emas permata, suami
penghuni surga yang Allah titipkan padaku. Astagfirullahalaziim .…
Ya, aku ini terjangkit virus bodoh tingkat tak terhingga. Maafkan aku.
*Kau lah anakku, kebangganku
Kaulah anakku, tempat
kubersandar
Baik- baiklah bersekolah
Agar tercapai cita-citamu
0 komentar:
Posting Komentar