Warning:
Ini kisah
cinta bukan Romeo dan bukan Juliet. Ini kisah cinta bocah ingusan yang merasa
punya cinta paling sejati, paling soulmate dan paling serasi. Ini gila dan
bukan untuk ditiru.
***
Aku bertemu pria itu dengan kadar keterpesonaan yang
kurang dari limapuluh persen, kemudian mawar-mawar---yang belakangan kuketahui
hasil mencuri di pekarangan orang---menambah kadar menjadi seratus persen
begitu saja tanpa campuran. Menyangka bahwa ini kisah cinta paling sejati,
menyangka bahwa Allah sudah menggariskan bahwa rusuk kiriku berasal dari pria
ini dan kenyataannya---lagi-lagi baru kuketahui belakangan serta menyesal tidak
memeriksakan ke dokter keindetikan rusuk kami berdua---kami tidaklah jodoh.
(Ada yang punya tisu? Paragrap kedua dipastikan sangat sedih sekali)
Kuketuk
pintu rumah pria yang mengaku paling romantis sedunia itu. Sudah tiga bulan dia
tidak lagi menemuiku di “halte cinta” seperti biasanya. Terang saja aku rindu,
siapa yang tak rindu pada pria penebar jala cinta, penabur ranjau cinta dan
penyubur janin cinta ini? Ketukan pertama, nihil jawaban. Ketukan kedua alpa
sapaan dan ketukan ketiga pintu terbuka. Ibunya dengan senyum maksimal
menyambutku. Dia belum tahu siapa aku, tapi aku sudah tahu siapa dia, karena
anaknya sering bercerita tentangnya padaku, sehingga aku merasa sangat
mengenalinya selama bertahun-tahun. Kalau ini sinetron pasti sudah kupeluk ia.
“Dika ada, Bu?” tanyaku dengan tingkat kesopanan
melebihi penyambutan Presiden Republik Mini Selatan. Jangan kautanya di mana
letak Republik itu, aku saja tak paham.
“Oh, Dika ya, nak? Ada, ada, silahkan masuk,” katanya
lalu menjerit memanggil anaknya dengan lengkingan maut yang bisa saja
memporak-porandakan seisi rumah, well, kalau saja ini film kartun, tapi
sayangnya ini film India. Takjub juga aku melihatnya, tubuh yang semungil ini
punya suara yang secetar itu.
Pria yang mengatakan akan selalu cinta padaku dan tak
akan pernah meninggalkan itu keluar dari sarangnya, maksudku kamarnya. Dia
terkejut melihatku yang masih berdiri di ambang pintu. Bukan, sama sekali bukan
ekspresi seperti itu yang kuinginkan darinya untukku. Itu, wajah yang sedang
ditampilkannya itu adalah wajah yang tidak senang akan kedatanganku. Ia
menggeretku keluar.
“Ngapain ke sini?” bisiknya sadis, seolah aku ini
perempuan simpanan yang mendatangi rumah istri dan anak-anaknya.
“Loh? Kau… kau sudah lama tak menemuiku. Aku… aku
rindu… “
Dia menarik napas dalam dan menatap mataku serta
meletakkan tangannya ke pundakku. Khas dirinya yang mirip aktor sinetron empat
babak pun dimulai. Mata nanar dan sedikit berkaca-kaca.
“Nyit, kuminta kaumengerti, sekarang aku sedang tidak
bisa diganggu. Aku harus konsen dengan masalah keluargaku dan sekolahku, jadi
kuharap kaupulang saja sekarang,” ucapnya menyentakkan hatiku. Anak malas
sekolah ini sedang peduli pada sekolahnya? Aneh!
“Tapi, aku… aku kan gak ganggu kamu… “
“Sudah… pulanglah,” katanya lagi.
“Jadi kita putus?”
“Terserahlah apa namanya… “
***
Setelahnya
hari-hariku jadi kelabu, kata temanku yang tetangganya dia punya pacar baru.
Ini sedih sekali, aku sampai sakit demam selama seminggu. Ini tidak berlebihan,
ini nyata!
***
Lima
tahun kemudian.
Pintu rumahku diketuk
seseorang, aku mengintipnya dari dalam. Pria penebar ranjau cinta melempem itu
bediri di sana. Pesanku pada adikku, bilang kakak tidak ada. Minggu depan hari
pernikahanku.
0 komentar:
Posting Komentar