Selasa, 01 April 2014

He's Gone

Unknown

Warning:
Ini kisah cinta bukan Romeo dan bukan Juliet. Ini kisah cinta bocah ingusan yang merasa punya cinta paling sejati, paling soulmate dan paling serasi. Ini gila dan bukan untuk ditiru.
***
Aku bertemu pria itu dengan kadar keterpesonaan yang kurang dari limapuluh persen, kemudian mawar-mawar---yang belakangan kuketahui hasil mencuri di pekarangan orang---menambah kadar menjadi seratus persen begitu saja tanpa campuran. Menyangka bahwa ini kisah cinta paling sejati, menyangka bahwa Allah sudah menggariskan bahwa rusuk kiriku berasal dari pria ini dan kenyataannya---lagi-lagi baru kuketahui belakangan serta menyesal tidak memeriksakan ke dokter keindetikan rusuk kami berdua---kami tidaklah jodoh. (Ada yang punya tisu? Paragrap kedua dipastikan sangat sedih sekali)
            Kuketuk pintu rumah pria yang mengaku paling romantis sedunia itu. Sudah tiga bulan dia tidak lagi menemuiku di “halte cinta” seperti biasanya. Terang saja aku rindu, siapa yang tak rindu pada pria penebar jala cinta, penabur ranjau cinta dan penyubur janin cinta ini? Ketukan pertama, nihil jawaban. Ketukan kedua alpa sapaan dan ketukan ketiga pintu terbuka. Ibunya dengan senyum maksimal menyambutku. Dia belum tahu siapa aku, tapi aku sudah tahu siapa dia, karena anaknya sering bercerita tentangnya padaku, sehingga aku merasa sangat mengenalinya selama bertahun-tahun. Kalau ini sinetron pasti sudah kupeluk ia.
“Dika ada, Bu?” tanyaku dengan tingkat kesopanan melebihi penyambutan Presiden Republik Mini Selatan. Jangan kautanya di mana letak Republik itu, aku saja tak paham.
“Oh, Dika ya, nak? Ada, ada, silahkan masuk,” katanya lalu menjerit memanggil anaknya dengan lengkingan maut yang bisa saja memporak-porandakan seisi rumah, well, kalau saja ini film kartun, tapi sayangnya ini film India. Takjub juga aku melihatnya, tubuh yang semungil ini punya suara yang secetar itu.
Pria yang mengatakan akan selalu cinta padaku dan tak akan pernah meninggalkan itu keluar dari sarangnya, maksudku kamarnya. Dia terkejut melihatku yang masih berdiri di ambang pintu. Bukan, sama sekali bukan ekspresi seperti itu yang kuinginkan darinya untukku. Itu, wajah yang sedang ditampilkannya itu adalah wajah yang tidak senang akan kedatanganku. Ia menggeretku keluar.
“Ngapain ke sini?” bisiknya sadis, seolah aku ini perempuan simpanan yang mendatangi rumah istri dan anak-anaknya.
“Loh? Kau… kau sudah lama tak menemuiku. Aku… aku rindu… “
Dia menarik napas dalam dan menatap mataku serta meletakkan tangannya ke pundakku. Khas dirinya yang mirip aktor sinetron empat babak pun dimulai. Mata nanar dan sedikit berkaca-kaca.
“Nyit, kuminta kaumengerti, sekarang aku sedang tidak bisa diganggu. Aku harus konsen dengan masalah keluargaku dan sekolahku, jadi kuharap kaupulang saja sekarang,” ucapnya menyentakkan hatiku. Anak malas sekolah ini sedang peduli pada sekolahnya? Aneh!
“Tapi, aku… aku kan gak ganggu kamu… “
“Sudah… pulanglah,” katanya lagi.
“Jadi kita putus?”
“Terserahlah apa namanya… “
***
            Setelahnya hari-hariku jadi kelabu, kata temanku yang tetangganya dia punya pacar baru. Ini sedih sekali, aku sampai sakit demam selama seminggu. Ini tidak berlebihan, ini nyata!
***
            Lima tahun kemudian.
Pintu rumahku diketuk seseorang, aku mengintipnya dari dalam. Pria penebar ranjau cinta melempem itu bediri di sana. Pesanku pada adikku, bilang kakak tidak ada. Minggu depan hari pernikahanku.

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes