Minggu
pagi yang penuh dengan sinar matahari, membuatku tertarik untuk
memeriksa seindah apa taman bermain di perumahan Grand Laviva ini.
Apakah seindah taman bermain di dekat rumahku dulu? Atau malah
sebaliknya. Kuharap indah, karena taman
bermain adalah satu-satunya tempat yang bisa kuharapkan untuk menghibur
diri. Kenapa nggak ke mall? Aku inginnya main di luar. Kalau harus masuk
ke dalam mall, kenapa nggak di rumah saja? Toh, sama-sama di dalam
ruangan.
Aku sudah permisi pada Mama yang sedang membuat kue
cokelat di dapurnya. Ia mengizinkanku tapi sebelumnya ia menarik
tanganku. Mama menyuruhku membelakanginya. Ia menyentuh rambutku yang
panjang tergerai dan menggulungnya rapi.
“Kalau begini, kamu
terlihat lebih cantik, Bintang!” ucap Mama dan mengedipkan sebelah
matanya. Aku tersenyum. Aku kadang kurang sependapat dengan Mama, tapi
aku lebih sering nggak memperlihatkannya di hadapan Mama. Sesampainya di
depan pintu, aku melepas gulungan rambutku dan berlari ke taman bermain
yang terletak di ujung kompleks.
Taman bermain di sini cukup
luas. Kemarin aku sempat lewat sini saat pulang dari menemani Papa
berbelanja ke mini market yang letaknya berdekatan dengan taman ini.
Selain ada arena bermain yang lengkap, taman ini juga dikelilingi oleh
hutan kecil dengan pohon-pohon yang menjulang rimbun.
Aku
melihat beberapa anak bermain di taman bermain ditemani oleh beberapa
orang dewasa. Kalau hanya ayunan dan seluncuran, aku kurang tertarik.
Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang baru di…
Mataku takjub
memandang sebuah air mancur di tengah hutan kecil itu. Aku berlari pada
jalan kecil yang merupakan sususan pavling block berwarna cokelat.
Banyak orang-orang yang sedang berolahraga di sini dan aku juga melewati
orang-orang yang hanya duduk santai di bawah pohon, menikmati minggu
pagi mereka.
Ternyata air mancur itu berada di tengah danau
buatan yang nggak terlalu luas. Aku menghampiri tepi danau yang telah
diberi pembatas berupa pagar batu. Banyak ikan-ikan yang berenang lincah
di dalam airnya yang jernih. Tanganku nggak tahan untuk nggak menyentuh
air itu. Saat aku menyentuh permukaan danau…
“Aiiihhh!!!” Aku
memekik kaget sambil menarik tanganku menjauh dari permukaan danau.
Tubuhku sontak mundur. Jantungku berdegup kencang. Tadi itu apa? Aku
menggenggam tanganku yang basah dengan tanganku yang sebelah lagi. Aku
masih nggak percaya dengan apa yang kurasa dan apa yang kulihat.
Sehingga kembali kudekatkan diriku pada tepian danau. Mataku terus
memandangi permukaan danau yang kusentuh tadi.
Nggak ada
perubahan apa-apa. Nggak ada yang menandakan bahwa seseorang berada di
dasarnya. Jadi, tangan siapa yang menarik tanganku tadi?
***
Aku sudah hampir melupakan kejadian tadi pagi di danau taman bermain,
saat diriku memandang keluar jendela dan melihat seorang anak kecil
berdiri di bawah pohon cemara tepat di depan rumah. Dia seumuran
denganku, mungkin berkisar antara dua belas tahun atau tiga belas tahun.
Ia memakai baju terusan selutut berwarna pink namun sudah kusam.
Rambutnya dikucir dua dan ia mengenakan sepatu pentofel hitam. Ia
menatapku lama. Saat aku balas menatapnya, ia melambai ke
arahku dengan maksud agar aku menghampirinya.
Aku segera keluar. Kudengar Mama bertanya hendak ke mana dari ruang tengah. Tapi aku nggak sempat menjawabnya.
Tubuhku sudah sangat dekat dengannya kini. Ia tersenyum padaku.
Wajahnya pucat dan bibirnya biru. Apakah anak ini sakit? batinku.
“Hai, kamu siapa?” tanyaku berusaha terlihat ramah. Mudah-mudahan ia bisa menjadi teman pertamaku di kompleks ini.
“Aku Alrisa, kamu?” tanyanya balik.
Aku menjulurkan tanganku untuk mengajaknya berjabat tangan. Saat ia
menyambut tanganku, kusebut namaku, “Bintang.” Tangannya basah dan juga
dingin. Aku melepas tanganku dan mengangkatnya ke depan mataku. Untuk
melihat kemungkinan ada air yang menempel di tanganku. Sebab tangannya
terasa benar-benar basah. Namun… aneh! Tanganku kering. Tak ada
tanda-tanda bahwasannya aku baru saja menyentuh sesuatu yang basah.
Ia tersenyum lagi. “Ada apa?” tanyanya.
“Oh, enggak. Nggak ada apa-apa. Rumah kamu di mana?” tanyaku kemudian.
“Kamu benar mau tahu rumahku?” tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk.
“Ayo, aku tunjukkan!” serunya sambil berbalik. Dan aku pun mengikuti langkahnya.
***
Aku tercengang. Ia membawaku ke taman bermain.
“Ini rumahmu?” tanyaku karena di sini sama sekali nggak terlihat ada
sesuatu yang berbentuk seperti rumah. Kecuali rumah-rumahan yang ada di
tengah kolam pasir itu, ya. Tapi kan itu nggak bisa disebut rumah untuk
ditinggali beneran.
“Bukan di sini, agak masuk ke dalam,”
ujarnya sambil menunjuk ke arah hutan kecil di tengah taman. “Yuk,
masuk!” ajaknya kemudian.
Aku ragu. Kupandang sekeliling,
langit mulai berwarna ungu. Itu tandanya sebentar lagi maghrib akan
segera tiba. “Nggak usah, deh. Sudah mau maghrib. Nanti mamaku mencari,”
tolakku pada akhirnya.
“Jangan begitu, dong! Kau kan sudah sampai di sini. Mending kamu masuk dulu sebentar, lalu kamu pulang, deh!” bujuknya.
“Mmm…,” gumamku dan akhirnya mengangguk.
Ia membawaku ke pinggir danau. Air mancur yang kulihat tadi pagi
semakin indah, karena hiasan lampu yang mengelilinginya sudah
dihidupkan.
“Jangan bercanda! Rumahmu mana?” tanyaku mulai nggak sabar dengan permainannya ini.
“Ini… ini rumahku!” serunya.
“Hahaha!!!” Aku tergelak. “Kau… bercanda, kan?”
Wajahnya semakin memucat dan bibirnya semakin biru. Aku bisa melihatnya
karena kami tepat di bawah lampu taman yang mulai dihidupkan. Sayup
kudengar azan maghrib dari kejauhan. Mamaku pasti marah besar.
“Kaupikir ini lucu?” tanyanya lirih dan menunduk.
“Maafkan aku, tapi…,” kataku sambil memegang bahunya.
Tiba-tiba kepalanya mendongak. Ia menyeringai. Senyumannya telah pudar,
bola matanya hanya tersisa warna hitam, wajahnya seperti baru saja
dicabik-cabik buaya. Dan bau busuk tiba-tiba menguar ke udara.
“Aaaaaa!!!” jeritku dan melangkah mundur. Aku berbalik dan hendak lari. Tapi tangannya yang basah dan dingin mencekal tanganku.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” jeritku panik. Aku terus menarik tubuhku
agar terlepas dari cengkramannya sambil tetap berusaha untuk nggak
melihat wajahnya yang menyeramkan. Tapi semakin aku berontak ia semakin
keras memegang tanganku. Darahku seperti berhenti.
“Kau mau apa?” tanyaku hampir menangis. “Mamaaa…!!!” rengekku.
“Diam anak cengeng!” bentaknya dengan suara yang dalam dan mengerikan. “Kami hanya butuh teman satu orang lagi!”
“Kami???” tanyaku heran.
“Iya! Kami!”
Ekor mataku menangkap keanehan dari permukaan danau, memaksaku untuk
menoleh ke arah danau. Aku ingin pingsan, saat melihat ada banyak tangan
kecil menggapai-gapai dari dalam danau. Wajah mereka terlihat terbenam
di dalam air, pucat, biru dan bolong-bolong menyeramkan. Mereka
seolah-olah memanggil-manggilku.
Tiba-tiba tubuhku terdorong ke danau. Aku tercebur. Oh, aku kan nggak bisa berenang.
“Mamaaa! Mamaaa!” teriakku. “Tolong!” Kepalaku turun naik. Kakiku tak
bisa menggapai dasar danau, sepertinya danau ini cukup dalam. Aku
tertelan air banyak sekali. Tangan-tangan dari dalam danau mulai
menarik-narik kakiku. Membuat tubuhku masuk sepenuhnya ke dalam air.
Kulitku merasakan dingin yang amat sangat. Tapi paru-paruku terasa
panas karena udah hampir kehabisan oksigen. Aku melihat banyak anak-anak
menari-nari di dalam air. Bergembira menyambut ke datanganku.
“Kami mau main petak umpet, kau yang jaga, ya?” seorang gadis berwajah separuh menjawil pundakku.
Medan, Menjelang Pemilu 2014
0 komentar:
Posting Komentar