Selasa, 01 April 2014

Ksatria Bebek Sakti

Unknown

Sepasang kaki kokoh bak besi baja melesat, menapaki daun-daun kering di atas tanah. Menembus hutan belantara secepat kilat. Sementara suara jeritan seseorang dari arah utara terus menggema, melolong-lolong minta tolong. Sang pemilik kaki menambah kecepatan, terus berlari lalu melompat-lompat menghindari aral rintang yang bisa jadi berupa kayu, batu atau pun tringgiling yang sedang menggumpal pulas, bergerak lincah di atas alas kaki dari kulit buaya dengan tali dari kulit kayu melilit-lilit hingga ke betis.
Slreeettt! Di atas sebuah batu berlumut, kaki terpeleset, untung masih bisa mengatur keseimbangan hingga tidak mencium bumi. (Sales: “Makanya, pakai Carwil ... anti selip!”)
Suara lolongan minta tolong semakin mendekat. Seorang perempuan sedang dihadang seorang pria berwajah bengis dengan sebilah pisau di tangannya. Si perempuan, sudah kehilangan rona di wajahnya. Pucat tingkat bima sakti. Gemetar hebat tingkat kecamatan.
“Ciyaaattt! Hak des ... hak des ... buk ... buk!”
“Aw ... aw ... ampun ... ampun!!!” Si penjahat berpisau lari terbirit-birit dengan lebam di sekujur tubuhnya dan cap “Bebek Merengut” menempel pekat di jidatnya.
“Te ... te ... terima kasih,” ucap wanita itu terbata dengan peluh memadati wajahnya.
“Tak masalah.”
“Tanda di jidat itu? Kamu ... kamu Ksatria Bebek Sakti yang termahsyur itu?”
“Ya … kau benar!” Ksatria Bebek Sakti, menyematkan senyum meruah di wajahnya yang kurang bersinar. (Sales: “Makanya, pakai lampu Khiliks ... Khiliks terang terus!”)
 “Kebetulan sekali ... aku sedang mencarimu, Ksatria. Perkenalkan, Aku Putri Umbi Ungu, putri dari Raja Umbi Cilembu.”
“Ada apa gerangan mencari saya, Putri?”
“Kerajaan kami sedang dalam bahaya besar. Maukah kau ikut denganku?”
“Boleh saja Putri, tapi saya harus memberitahu Ibunda saya dahulu, nanti dia khawatir.” (Sales: “Makanya ... pakai Nobia 222 ... komunikasi lebiiih mudah!”)
“Tenang saja, nanti pengawal Kerajaan akan menyampaikannya pada Ibundamu.”
Dalam perjalanan, Putri menceritakan apa yang terjadi di Kerajaan. Sesekali putri menangis membayangkan kengerian di istana saat ini.
Benar saja, sesampainya di istana, kondisi sudah porak poranda, banyak tubuh pengawal yang bergelimpangan berdarah-darah. Bangunan istana hampir hancur dengan beberapa titik api berkobar di sana-sini. Putri meraung, berlari ke singgasana tempat ayahnya biasa berada.
“Hentikan, Paman Umbi Racun!!!” Putri berteriak kepada Pamannya yang sedang menghunuskan belati ke leher Raja. Paman licik yang ingin merebut tahta.
“Hay ... siapa yang kaubawa itu? Aduh, kau bermaksud agar dia melawan aku gitu? Gak salah? Ksatria Bebek Manyun? Hahaha.” Paman tertawa membahana.
“Jangan banyak bicara kau pria tua! Sini lawan aku!” tukas Kabe, panggilan akrab Ksatria Bebek Sakti.
Maka pertempuran pun berlangsung sengit. Jurus-jurus sakti dikeluarkan, saling menyerang satu sama lain. Paman Umbi Racun berdarah di hidung dan mulut akibat bogem mentah dari Kabe. Paman meradang, ia berlari berusaha menikam Kabe, namun Kabe berkelit hingga yang terkena lengannya. Darah mengucur deras dan menodai baju putih kebesaran Kabe. (Sales: “Tenang, kan ada Rinbow, ga ada noda ya ga bertempur.” Kabe: “Menganggu saja kau Saleees! Ciyaaat!” Blashhh ... blash! Sales mati.)
 Gigi Kabe gemelutuk, tanda kegeraman yang mendalam.
“Terima ini ... pukulan Pamungkas Goyang Itiiik!!! Braaakkk!!!” Pukulan tepat mengenai jantung Paman, Paman terhuyung jatuh, mengaduh. Darah keluar dari telinga, mulut, hidung hingga mata. Paman mengembuskan napas terakhir dengan cap “Bebek Merengut” di jidatnya.
Medan, 17 Juli 2013

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes