Sejak adamu, dari
balik jendela kamar dengan helai rambut yang masih kusut merambak di dahi, aku
selalu setia memirsa persembahan prolog pagi dari Tuhan Yang Maha Romantis di
setiap pagiku. Matahari sewangi bayi baru lahir tersenyum sinari apapun anasir
di muka bumi. Aku merasai saat sinar mentari menyentuh wajah itu artinya Tuhan
sedang membelaiku.
Entahlah sejak mengenalmu semua
di sekelilingku serasa berkali lipat lebih romantis. Ya, sejak bunga-bunga
mawar darimu mewarnai hariku dengan merah, indah dan meraksi, bahkan got bau
busuk pun serasa sungai jernih yang mengalir di pegunungan. Sejak bertemu
denganmu, aku selalu gagal memaknai ‘repetan’ Mamak tentang malasnya aku
mencuci piring menjadi hal yang kuanggap bagai musikalisasi puisi di Taman
Budaya. Dengung ribut teman sekelas tanpa guru yang lebih riuh dari dengung
lebah diganggu sarangnya itu pun bagai simfoni orkestra indah di telingaku.
Hari ini sudah genap dua pekan
tak mencari teka-teki di matamu yang elang, tak mendengar ucap
‘aku cinta kau’
dari bibir delimamu dan tak merasai hangat napas dari hidung Himalaya-mu. Aku
rindu, sangat nestapa.
Maka saat aku menonton tayangan
pagi dari Tuhan Yang Maha Romantis pagi ini, kupeluk buku kita. Buku yang
memuat kau dan aku. Kisah pahit nan manis kita dan kisah manis nan berduri kita,
tertulis di sana. Buku yang tak pernah terbit tapi selalu menjadi ‘bestseller’
pada jiwa kita berdua, hanya untuk ‘us’, KITA.
Seharusnya hari ini kita
bertemu, seperti janjimu. Saat pagi menjadi siang, tepat kala guru pada les
terakhir mengucapkan sampai jumpa di pertemuan selanjutnya, aku melesat ke
tempat biasa. Kupastikan buku bersampul hitam itu masih ada dalam tasku. Sudah
tak sabar menunjukkan tulisan-tulisan gundahku atas keperihanku selama tak
bersamamu. Ada lima cerpen bertema rindu menyengat, berpuluh puisi bergelimang
kata gelebah. Ah, aku bisa pastikan kau kelimpungan membalas semua tulisanku.
Jangan-jangan kau membalasnya hanya dengan gambar hati yang dipanah? Jangan itu
jelek! ‘Be creative, darling’
Satu jam, masih kutunggu. Dua,
tiga, empat? Matahari sudah menggelinding saat aku hendak melangkah pulang. Kau
tak datang. Hanya sebuah pesan dari seorang teman menghadang.
“Tidak perlu
menunggunya, dia sudah tak menginginkanmu!”
Sore itu, seharusnya adalah
senja yang indah. Namun kau tak ada, kau ingkar dan keji. Kau membuat duniaku
terbalik dalam sedetik. Lagu ‘Dua Sejoli’---kau tetapkan lagu itu sebagai
‘soundtrack’ cinta kita, cuih!---kuanggap jeritan lirih orang gila, kututup
telinga. Kubuka buku kita. Apa ini semua? Tulisan kebodohankukah atau
kebohonganmu?
Pada sore yang menjingga, dari
balik jendela kumenatap Tuhan Yang Maha Romantis tak lagi tersenyum, menarik
mentariku. Kuhembalang buku hitam---baru kusadari mengapa kausampul dengan
hitam. Kau sudah pergi dengan jejakmu yang masih membekas di lubuk sanubariku
yang katamu bagai samudra. Jejak itu menjauh, kukecupi aroma mawar terakhirmu
yang telah mengering. Maka, biarkan aku mati.
Medan, 04 Maret 2014
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus