Selasa, 01 April 2014

Penulis Terkenal

Unknown

Hari ini akan menjadi hari yang sibuk sekali. Pagi ini akan ada wawancara di televisi berita, kemudian ke radio, siangnya makan siang di restoran bersama fans, dilanjutkan dengan bedah buku hingga sore. Belum berakhir di sana, selepas maghrib akan ada shooting talkshow di salah satu stasiun televisi besar di Indonesia.
“Dreeettt …,”  telepon selulerku bergetar di atas meja, Dika, nama yang tertera di layar ponsel yang berkedip, ia managerku.
“Halo... ya ... iya ... oke ... sip! hmmm.. Ya, sampai nanti,” responku panjang lebar pada Dika yang mengingatkanku atas kegiatan hari ini. Aku tekan tombol merah di ponsel dan bergegas keluar rumah menuju garasi mobil untuk segera meluncur ke  stasiun televisi di daerah Green City.

Sesampainya di sana, Dika sudah menunggu, kami langsung beranjak ke ruang make-up. Selama lima belas menit, wajahku yang memang sudah diciptakan cantik ini, digerus-gerus sang perias artis dengan pola dan warna-warni yang ‘disangkanya’ akan membuatku tampil lebih cantik, padahal belum tentu. Cantik menurut siapa? Kau tahu? Bagi sebagian orang di Afrika, wanita dengan bibir bawah selebar piring dari tanah liat itu adalah cantik. Ups! Kok melebar sampai ke Afrika? Baiklah, mari kita kembali ke ruang make-up.

Wawancara di acara pagi pada penghujung minggu ini mengalir santai. Membicarakan buku best-seller-ku yang baru terbit dua bulan yang lalu dan langsung meledak di pasaran dan beberapa rencana-rencanaku ke depannya. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di belakang kemudi mobilku dengan Dika sibuk bertelepon di sampingku, tawar-menawar pada orang-orang yang akan mengundangku pada acara-acara mereka. Radio yang akan kami sambangi hanya tinggal beberapa blok ke depan.

Wawancara di Radio berjalan sukses, pemilik Radio memberikanku senyum puas dan amplop tebal tentunya. Saatnya makan siang! Perutku sudah memainkan dentingan piano Ogives I oleh Eric Satie, mendayu-dayu syahdu minta segera diisi.

Mobilku parkir dengan sempurna dan elegan di halaman salah satu restoran terkemuka di kota ini. Aku dan Dika turun dari mobil, menuju pintu restoran yang terbuat dari kaca. Aku yakin di dalam sana, sudah banyak fans yang menungguku dan akan mengelu-elukan namaku. Ah, indahnya. Aku membuka pintu dengan semangat disertai dengan sebuah suara keras yang menggelegar dan menghentak.

“Hey! Pergi kamu! Hush ... hush ….” Pria yang kuduga pemilik restoran ini megibas-ngibaskan tangannya.
“Maaf, tapi saya sudah pesan tempat di sini, tanyakan saja pada manager saya.” Aku menunjuk Dika yang berdiri di sampingku.
“Manager mana? Siapa? Dasar orang gilaaa! Pergi.. Pergi!!! Nanti pelanggan saya bisa jijik dan tidak selera makan melihatmu!”

Tiba-tiba Dika menghilang entah ke mana. Aku terdiam. Mataku menangkap bayangan yang memantul di pintu kaca tepat di hadapanku. Di sana, ada seorang wanita, berambut gimbal kecokelatan yang tidak pernah tersentuh sisir, wajahnya porak poranda dan pakaiannya? Persis seperti orang yang baru saja terkena angin puting beliung lalu tejatuh di kubangan lumpur.

Aku beranjak pelan.

“Orang gila ... orang gila ... orang gila!” teriak gerombolan anak-anak yang melintas di depan restoran.
Aku garuk-garuk kepala dan nyengir seadanya.

“Minta tanda tangan dek? Hehehehehe”

Medan, 10 Juli 2013

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes