Hari ini akan menjadi hari yang sibuk sekali. Pagi ini akan ada
wawancara di televisi berita, kemudian ke radio, siangnya makan siang di
restoran bersama fans, dilanjutkan dengan bedah buku hingga sore. Belum
berakhir di sana, selepas maghrib akan ada shooting talkshow di
salah satu stasiun televisi besar di Indonesia.
“Dreeettt …,” telepon
selulerku bergetar di atas meja, Dika, nama yang tertera di layar ponsel yang
berkedip, ia managerku.
“Halo... ya ... iya ... oke ... sip! hmmm.. Ya, sampai nanti,” responku
panjang lebar pada Dika yang mengingatkanku atas kegiatan hari ini. Aku tekan
tombol merah di ponsel dan bergegas keluar rumah menuju garasi mobil untuk
segera meluncur ke stasiun televisi di
daerah Green City.
Sesampainya di sana, Dika sudah menunggu, kami langsung beranjak
ke ruang make-up. Selama lima belas menit, wajahku yang memang sudah
diciptakan cantik ini, digerus-gerus sang perias artis dengan pola dan warna-warni
yang ‘disangkanya’ akan membuatku tampil lebih cantik, padahal belum tentu.
Cantik menurut siapa? Kau tahu? Bagi sebagian orang di Afrika, wanita dengan
bibir bawah selebar piring dari tanah liat itu adalah cantik. Ups! Kok melebar
sampai ke Afrika? Baiklah, mari kita kembali ke ruang make-up.
Wawancara di acara pagi pada penghujung minggu ini mengalir
santai. Membicarakan buku best-seller-ku yang baru terbit dua bulan yang
lalu dan langsung meledak di pasaran dan beberapa rencana-rencanaku ke
depannya. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di belakang kemudi
mobilku dengan Dika sibuk bertelepon di sampingku, tawar-menawar pada orang-orang
yang akan mengundangku pada acara-acara mereka. Radio yang akan kami sambangi
hanya tinggal beberapa blok ke depan.
Wawancara di Radio berjalan sukses, pemilik Radio memberikanku
senyum puas dan amplop tebal tentunya. Saatnya makan siang! Perutku sudah memainkan
dentingan piano Ogives I oleh Eric Satie, mendayu-dayu syahdu minta segera
diisi.
Mobilku parkir dengan sempurna dan elegan di halaman salah satu
restoran terkemuka di kota ini. Aku dan Dika turun dari mobil, menuju pintu restoran
yang terbuat dari kaca. Aku yakin di dalam sana, sudah banyak fans yang
menungguku dan akan mengelu-elukan namaku. Ah, indahnya. Aku membuka pintu
dengan semangat disertai dengan sebuah suara keras yang menggelegar dan
menghentak.
“Hey! Pergi kamu! Hush ... hush ….” Pria yang kuduga pemilik
restoran ini megibas-ngibaskan tangannya.
“Maaf, tapi saya sudah pesan tempat di sini, tanyakan saja pada
manager saya.” Aku menunjuk Dika yang berdiri di sampingku.
“Manager mana? Siapa? Dasar orang gilaaa! Pergi.. Pergi!!! Nanti
pelanggan saya bisa jijik dan tidak selera makan melihatmu!”
Tiba-tiba Dika menghilang entah ke mana. Aku terdiam. Mataku
menangkap bayangan yang memantul di pintu kaca tepat di hadapanku. Di sana, ada
seorang wanita, berambut gimbal kecokelatan yang tidak pernah tersentuh sisir,
wajahnya porak poranda dan pakaiannya? Persis seperti orang yang baru saja
terkena angin puting beliung lalu tejatuh di kubangan lumpur.
Aku beranjak pelan.
“Orang gila ... orang gila ... orang gila!” teriak gerombolan
anak-anak yang melintas di depan restoran.
Aku garuk-garuk kepala dan nyengir seadanya.
“Minta tanda tangan dek? Hehehehehe”
0 komentar:
Posting Komentar