Selasa, 01 April 2014

Cantik Tapi Lemot

Unknown

Cuaca Medan sungguh terik siang ini. Angkot seolah merebus manusia yang duduk berjubel di dalamnya hingga juicy alias berkeringat, layaknya tomat kukus. Hari ini Eno, sahabat karibku yang modis, cantik dan menarik berencana turun di rumah kosku yang sebentar lagi akan sampai dan bukan turun di rumahnya yang masih berjarak agak ke depan lagi dari sini. Ia ingin facial dan luluran gratis denganku sambil menggosip di kamar kosku.
“Pinggir, bang!” teriakku pada sang supir, sang supir pun spontan menginjak rem dan berhenti mendadak. Terdengar caci maki dari kendaraan di belakangnya.
                Eno, menarik tanganku yang hendak membayar ongkos dan menjulurkan tangannya. Di sana terselip uang limaribu rupiah, “Pakai ini saja,” aku tersenyum, lumayanlah. Ongkos duaribu untuk dua orang menghasilkan kembalian tigaribu yang langsung diberikan sang supir pada Eno. Sampai di sini tak ada keanehan. Aku pun santai, ongkos duaribu, maka kembalian tigaribu. Tapi lain bagi Eno, di wajahnya tergurat kebingungan akut. Ia teriak dan marah sambil sesekali memandang uang tigaribu di tangannya. Ia melotot,
“Ongkosnya kan seribu, bang!!”
Si supir heran memandang Eno, menurutnya dia sudah bertindak benar. Aku langsung menarik tangan Eno dan berjalan menuju gang sambil tertunduk.
“Udah pas, No!!” gumamku sambil terus menarik Eno yang masih saja mendengus kesal pada sang supir. “Kita kan dua orang, limaribu dikurang duaribu berapa, No?”
Dia terdiam sesaat dan mengekeh, “Oh, iya yaaa…. Hihihihi…”
Bukan sekali ini saja Eno berbuat aneh semacam ini. Temanku yang dari luar tampak sangat berwibawa dan elegan serta cocok disegani ini, menyimpan segudang cerita yang bisa membuat siapa saja ‘gubrak’ akan kisah ke’lemot’annya. Hanya kami teman-teman karibnyalah yang mengetahui segudang kisah lucu dengannya. Biar kuceritakan satu kisah lagi padamu.
Waktu itu kota Medan dilanda pemadaman listrik bergilir. Eno punya drama Korea kesayangan yang wajib ditontonnya setiap sore di salah satu stasiun televisi. Mati lampu di sore itu membuatnya kelimpungan dan senewen hingga hampir gegulingan di tanah. Tiba-tiba ia punya ide yang ‘disangkanya’ brilian. Dengan tergesa dia menggunakan mobil Papanya untuk ke kosku yang tak jauh dari rumahnya. Sesampainya di kamar kosku ia segera menggamit remote control dan menghidupkan televisiku.
“Kok, gak hidup sih, Da??”
“Hey, listrik kita kan satu aliran… “ jawabku santai sambil terus membaca komik di tempat tidurku.
“Satu aliran??” beberapa detik ia terdiam. “Jadi di sini mati lampu juga, dong?!” Eno lalu tersadar dan gegulingan tidak jelas di kamar kosku. Aku mengekeh tiada henti.
                Ah, segudang lagi cerita lucu tentangnya. Ia sering bertanya padaku tentang materi di kampus, tapi anehnya IP-nya selalu lebih tinggi dariku. Ia sedikit lamban dalam berpikir tapi dewi fortuna selalu menaungi hidupnya. Aku sangat menyayangi sahabatku itu. Dia pendengar yang baik dan terkadang punya saran yang tak terpikirkan oleh siapa pun sebelumnya, keluar begitu saja bagai tak sengaja dari mulutnya. Seperti suatu ketika ia memanggil rekan di kampus yang bernama Baron dengan yakin dan pasti tanpa sedikit pun keraguan dengan panggilan, “Bramon.”
NB: Kisah kelemotan sahabatku yang dialami bersama sahabatku yang lainnya. Nama sengaja disamarkan untuk menjaga privasi.

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes