Cuaca Medan sungguh terik siang ini. Angkot seolah merebus manusia yang
duduk berjubel di dalamnya hingga juicy alias berkeringat, layaknya tomat
kukus. Hari ini Eno, sahabat karibku yang modis, cantik dan menarik berencana
turun di rumah kosku yang sebentar lagi akan sampai dan bukan turun di rumahnya
yang masih berjarak agak ke depan lagi dari sini. Ia ingin facial dan luluran
gratis denganku sambil menggosip di kamar kosku.
“Pinggir, bang!” teriakku pada sang supir, sang supir pun spontan
menginjak rem dan berhenti mendadak. Terdengar caci maki dari kendaraan di
belakangnya.
Eno, menarik
tanganku yang hendak membayar ongkos dan menjulurkan tangannya. Di sana
terselip uang limaribu rupiah, “Pakai ini saja,” aku tersenyum, lumayanlah.
Ongkos duaribu untuk dua orang menghasilkan kembalian tigaribu yang langsung
diberikan sang supir pada Eno. Sampai di sini tak ada keanehan. Aku pun santai,
ongkos duaribu, maka kembalian tigaribu. Tapi lain bagi Eno, di wajahnya
tergurat kebingungan akut. Ia teriak dan marah sambil sesekali memandang uang
tigaribu di tangannya. Ia melotot,
“Ongkosnya kan seribu, bang!!”
Si supir heran memandang Eno, menurutnya dia sudah bertindak benar. Aku
langsung menarik tangan Eno dan berjalan menuju gang sambil tertunduk.
“Udah pas, No!!” gumamku sambil terus menarik Eno yang masih saja
mendengus kesal pada sang supir. “Kita kan dua orang, limaribu dikurang duaribu
berapa, No?”
Dia terdiam sesaat dan mengekeh, “Oh, iya yaaa…. Hihihihi…”
Bukan sekali ini saja Eno berbuat aneh semacam ini. Temanku yang dari
luar tampak sangat berwibawa dan elegan serta cocok disegani ini, menyimpan
segudang cerita yang bisa membuat siapa saja ‘gubrak’ akan kisah
ke’lemot’annya. Hanya kami teman-teman karibnyalah yang mengetahui segudang
kisah lucu dengannya. Biar kuceritakan satu kisah lagi padamu.
Waktu itu kota Medan dilanda pemadaman listrik bergilir. Eno punya drama
Korea kesayangan yang wajib ditontonnya setiap sore di salah satu stasiun
televisi. Mati lampu di sore itu membuatnya kelimpungan dan senewen hingga
hampir gegulingan di tanah. Tiba-tiba ia punya ide yang ‘disangkanya’ brilian.
Dengan tergesa dia menggunakan mobil Papanya untuk ke kosku yang tak jauh dari
rumahnya. Sesampainya di kamar kosku ia segera menggamit remote control dan
menghidupkan televisiku.
“Kok, gak hidup sih, Da??”
“Hey, listrik kita kan satu aliran… “ jawabku santai sambil terus
membaca komik di tempat tidurku.
“Satu aliran??” beberapa detik ia terdiam. “Jadi di sini mati lampu
juga, dong?!” Eno lalu tersadar dan gegulingan tidak jelas di kamar kosku. Aku
mengekeh tiada henti.
Ah, segudang lagi
cerita lucu tentangnya. Ia sering bertanya padaku tentang materi di kampus,
tapi anehnya IP-nya selalu lebih tinggi dariku. Ia sedikit lamban dalam
berpikir tapi dewi fortuna selalu menaungi hidupnya. Aku sangat menyayangi
sahabatku itu. Dia pendengar yang baik dan terkadang punya saran yang tak
terpikirkan oleh siapa pun sebelumnya, keluar begitu saja bagai tak sengaja
dari mulutnya. Seperti suatu ketika ia memanggil rekan di kampus yang bernama
Baron dengan yakin dan pasti tanpa sedikit pun keraguan dengan panggilan,
“Bramon.”
NB: Kisah kelemotan sahabatku yang dialami bersama sahabatku yang
lainnya. Nama sengaja disamarkan untuk menjaga privasi.
0 komentar:
Posting Komentar