Sama halnya dengan kebiasaan mandi dua kali sehari, kebiasaan membuang
sampah pada tempatnya juga merupakan sebuah kegiatan yang harus dilatih sedari
kecil secara regular, berkesinambungan dan konsisten. Aku pernah melihat anak
sepupuku yang berumur enam tahun, ia tidak jadi mengambil kue lemper di atas
meja. Saat aku tanyakan kenapa tidak jadi, dia berkata dengan polos,
“Ga ada tong sampah untuk kulitnya, Tante….” Jawabannya membuatku serta
merta meremas kulit lemper berminyak yang hampir saja kubuang di depan pintu.
Aku memutar pandang ke sekeliling, memang tak ada tempat sampah minimal asbak.
Keputusan anak kecil ini untuk tidak memilih jenis makanan yang berpotensi
menimbulkan sampah membuatku takjub, betapa pendidikan dari orang tuanya
merasuki jelas dalam memori otaknya.
Lalu perihal oknum pembuang sampah sembarangan pun tidak bisa kita
katakan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah atau orang-orang
pinggiran saja, buang sampah sembarangan pun bisa dilakukan oleh siapapun
bahkan oleh orang yang lumayan terpandang dan memiliki kondisi ekonomi yang
lumayan mapan.
Cerita yang akan kuceritakan ini, mungkin bisa membuktikan hal itu. Aku
akan menyamarkan mereka dengan sebutan keluarga X. Keluarga X tinggal tepat di
sebelah rumahku, kami hanya dipisahkan oleh sebuah tanah kosong seluas 10x17
meter milik seseorang yang tinggal di lain tempat. Keluarga ini punya rumah
yang bagus, tak heran, suami istri bekerja sebagai abdi Negara di kantor yang
bagus pula. Anaknya hanya dua, mereka baik, ramah, suka memberi pertolongan
pada tetangga. Kami pun hidup rukun dan damai. Walau hidup rukun dan damai,
cerita ini belum habis, kawan, justru inilah awalnya, bahwa ternyata ‘buang
sampah sembarangan’ itu semacam wabah penyakit yang bisa menjangkiti siapa pun
tak terkecuali keluarga X.
Setiap sore aku selalu melihat banyak sampah melayang terbang dari balik
pagar rumah mereka yang tinggi dan mendarat pada tanah kosong yang tadi
kuceritakan. Aku tidak mau menyalahkan itu adalah perbuatan Jin, karena yang
ada Jin buang anak, bukan Jin buang sampah. Aku dan suamiku yang sering
duduk-duduk sore di teras sering kaget saat ada bunyi ‘kedebuk’ saat sampah
mendarat seksi di tanah kosong.
“Waduuuh!” kata suamiku. “Dikira itu tong sampah kali yeee….”
“Jangan ikut campur urusan orang,” sahutku.
Tapi, kau tahu? Setiap penyakit pasti ada obatnya. ‘Virus buang sampah
sembarangan’ itu hilang seketika pada sebuah pagi yang syahdu di hari minggu.
Suamiku sedang menemaniku menjemur sesuatu di teras rumah. Saat seseorang
berperawakan besar yang kami duga si pemilik tanah tampak mengunjungi rumah
tetanggaku sambil sesekali melesakkan pandang ke gundukan sampah di tanah
kosong. Teriakannya terdengar jelas hingga ke terasku.
“Bapak tau ini apa?” gelegarnya. Samar kudengar tetanggaku itu menjawab
sesuatu.
“Kalau tahu, tempatnya bukan di siniii!!!” lanjut pemilik tanah yang
marah itu kemudian.
Aku berusaha tidak melihat ke rumah tetanggaku itu dan suamiku pun
berusaha untuk tidak melihatku. Rasanya tidak enak mendengar tetanggaku yang
baik dihardik orang.
Sesaat setelah orang itu pergi, keluarga X mengadakan kegiatan
besih-bersih total. Aku menelan ludah, obat itu memang pahit. Cuma hanya satu
yang aku herankan, tetanggaku bisa sembuh hanya dengan hardikan orang, tapi
mengapa di beberapa wilayah banyak orang yang tidak sembuh penyakit buang
sampah sembarangannya walaupun sudah berkali-kali dapat hardikan dari Tuhan
berupa banjir? Aneh, sungguh aneh.
Medan, 7 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar