Selasa, 01 April 2014

Museum Rindu

Unknown

Berkali-kali aku ingin mengunjungi tempat itu, namun berkali-kali pula aku menahan keinginan tersebut. Padahal aku bisa kapan saja pergi ke sana, karena aku memiliki kuncinya.
Kali ini sebuah rasa rindu tak tertanggungkan mendorongku untuk mengunjungi pintu berdebu itu. Ia berwarna putih yang sudah menggading, berukiran bujur sangkar yang menonjol di penampang kayu. Dari sela-selanya tersemburat sinar temaram.
Kugamit kunci dari persendian jantungku. Aku mengusapnya untuk menanggalkan karat. Kumasukkan kunci ke dalam lubangnya, kuputar dan pintu membuka. Perlahan jemariku mendorong pintu, cahaya dari dalam semakin leluasa menari liar di tubuhku.
Kakiku sudah masuk selangkah, tapi sejenak aku berhenti. Memejamkan mata, meyakinkan diriku untuk menjadikan ini hanya kunjungan biasa saja, sebentar saja, lalu pulang. Kubuka mataku dan kulanjutkan langkahku, perlahan.
Sudah berada di tengah ruangan kini aku. Aroma pohon pinus merebak di dadaku, perasaan senang yang pernah kutimang dulu timbul seperti ruam pada si kulit alergi, tumbuh tak terkendali.
Kudekati sebuah rak bersepuh emas, di sana tertulis “BENDA-BENDA KENANGAN”. Pada rak paling atas kudapati sebuah buku, kuraih dan kubuka. Aku meringis, lalu tertawa dan tiba-tiba menangis. Banyak kata yang ditaburkan hanya untuk sekedar menerjemahkan rasa pada hati. Hatinya dan hatiku.
Pada rak bagian tengah, kulihat edelweiss tersenyum. Dengan batang digelut pita merah. Masih sama seperti dulu saat ia memberikannya padaku. Bunga itu menggeliat dengan sebuah tulisan mengambang di sekitarnya. ‘Semoga cinta kita abadi’.
Pada rak paling bawah, kutemui syal rajut berwarna cokelat. Ia melirik padaku dan bertanya serak,
“Apa kabar?”
“Baik,” jawabku.
“Kau kedinginan?” tanyanya.
Sebulir air mata menetes, ‘kau kedinginan?’ kalimat tanya itu menumbuk rinduku menjadi semakin biru.
          Cepat-cepat aku beringsut ke rak lain. Kali ini rak kayu cokelat menyambutku, di sana terukir kata “ALBUM SEJARAH KITA”. Kubuka halaman pertama, Ada gambar aku berdiri di samping seseorang yang gagah, aku tersenyum dalam kebaya putih, bersanggul melati. Pria bermata teduh itu menyentuh daguku. Selarik senyumku melebar, tatap matanya nanar.
Halaman kedua, menampakkan perutku yang membuncit. Di sana bersemayam benih cinta kami, buah hati kami. Jerit tangisnya mewarnai hari, pada hidupnya ia titipkan sebuah nama “Abid Aqila Rajendra”, seorang laki-laki ahli ibadah yang sangat tampan dan berakal. Saat bayiku belajar merangkak, ia pergi untuk selama-lamanya.
Kututup album itu dengan tangis yang memecah. Tiba-tiba hangat menjalari tubuhku. Aku merasai aromanya semakin tajam. Pandanganku meliar, berharap melihat wajahnya. Saat aku menoleh, ia di sana. Tersenyum memandangku dengan mata teduhnya itu. Aku berlari ke arahnya dan memeluk tubuhnya.
“Bunda… Bunda kenapa nangis?” suara Abid tiba-tiba memenuhi cuping telingaku.
Aku melerai pelukan dari tubuh itu, ternyata yang kucucuri air mata itu pundak Abid, buah hatiku.
“Kau sudah pulang, nak?” tanyaku sambil menyeka air mata.
“Iya, Bun. Tapi kenapa Bunda nangis?” tanyanya sekali lagi. Telapak tangannya menyentuh pipiku.
“Tidak apa-apa… Bunda hanya baru pulang dari museum…,” jelasku dan tersenyum.
“Museum?” Abid mengernyit tak mengerti.
“Museum cinta Bunda dan Ayah!” kataku sambil mengganti mimik wajahku menjadi ceria.
“Bunda rindu Ayah?” pertanyaan itu meluncur dari bibir Abid yang kini sudah berusia tujuh belas tahun itu.
“Sangat!” jawabku mantap.
“Kata Bunda aku mirip Ayah, kan?
Aku mengangguk.
“Peluk aku lagi, Bunda….”

Medan, 12 Februari 2014

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes