Berkali-kali
aku ingin mengunjungi tempat itu, namun berkali-kali pula aku menahan keinginan
tersebut. Padahal aku bisa kapan saja pergi ke sana, karena aku memiliki
kuncinya.
Kali ini sebuah
rasa rindu tak tertanggungkan mendorongku untuk mengunjungi pintu berdebu itu.
Ia berwarna putih yang sudah menggading, berukiran bujur sangkar yang menonjol
di penampang kayu. Dari sela-selanya tersemburat sinar temaram.
Kugamit kunci
dari persendian jantungku. Aku mengusapnya untuk menanggalkan karat. Kumasukkan
kunci ke dalam lubangnya, kuputar dan pintu membuka. Perlahan jemariku
mendorong pintu, cahaya dari dalam semakin leluasa menari liar di tubuhku.
Kakiku sudah
masuk selangkah, tapi sejenak aku berhenti. Memejamkan mata, meyakinkan diriku
untuk menjadikan ini hanya kunjungan biasa saja, sebentar saja, lalu pulang.
Kubuka mataku dan kulanjutkan langkahku, perlahan.
Sudah berada di
tengah ruangan kini aku. Aroma pohon pinus merebak di dadaku, perasaan senang
yang pernah kutimang dulu timbul seperti ruam pada si kulit alergi, tumbuh tak
terkendali.
Kudekati sebuah
rak bersepuh emas, di sana tertulis “BENDA-BENDA KENANGAN”. Pada rak paling
atas kudapati sebuah buku, kuraih dan kubuka. Aku meringis, lalu tertawa dan
tiba-tiba menangis. Banyak kata yang ditaburkan hanya untuk sekedar
menerjemahkan rasa pada hati. Hatinya dan hatiku.
Pada rak bagian
tengah, kulihat edelweiss tersenyum. Dengan batang digelut pita merah. Masih
sama seperti dulu saat ia memberikannya padaku. Bunga itu menggeliat dengan
sebuah tulisan mengambang di sekitarnya. ‘Semoga cinta kita abadi’.
Pada rak paling
bawah, kutemui syal rajut berwarna cokelat. Ia melirik padaku dan bertanya
serak,
“Apa kabar?”
“Baik,”
jawabku.
“Kau
kedinginan?” tanyanya.
Sebulir air
mata menetes, ‘kau kedinginan?’ kalimat tanya itu menumbuk rinduku menjadi
semakin biru.
Cepat-cepat aku beringsut ke rak lain.
Kali ini rak kayu cokelat menyambutku, di sana terukir kata “ALBUM SEJARAH
KITA”. Kubuka halaman pertama, Ada gambar aku berdiri di samping seseorang yang
gagah, aku tersenyum dalam kebaya putih, bersanggul melati. Pria bermata teduh
itu menyentuh daguku. Selarik senyumku melebar, tatap matanya nanar.
Halaman kedua,
menampakkan perutku yang membuncit. Di sana bersemayam benih cinta kami, buah
hati kami. Jerit tangisnya mewarnai hari, pada hidupnya ia titipkan sebuah nama
“Abid Aqila Rajendra”, seorang laki-laki ahli ibadah yang sangat tampan dan
berakal. Saat bayiku belajar merangkak, ia pergi untuk selama-lamanya.
Kututup album
itu dengan tangis yang memecah. Tiba-tiba hangat menjalari tubuhku. Aku merasai
aromanya semakin tajam. Pandanganku meliar, berharap melihat wajahnya. Saat aku
menoleh, ia di sana. Tersenyum memandangku dengan mata teduhnya itu. Aku
berlari ke arahnya dan memeluk tubuhnya.
“Bunda… Bunda
kenapa nangis?” suara Abid tiba-tiba memenuhi cuping telingaku.
Aku melerai
pelukan dari tubuh itu, ternyata yang kucucuri air mata itu pundak Abid, buah
hatiku.
“Kau sudah
pulang, nak?” tanyaku sambil menyeka air mata.
“Iya, Bun. Tapi
kenapa Bunda nangis?” tanyanya sekali lagi. Telapak tangannya menyentuh pipiku.
“Tidak apa-apa…
Bunda hanya baru pulang dari museum…,” jelasku dan tersenyum.
“Museum?” Abid
mengernyit tak mengerti.
“Museum cinta
Bunda dan Ayah!” kataku sambil mengganti mimik wajahku menjadi ceria.
“Bunda rindu
Ayah?” pertanyaan itu meluncur dari bibir Abid yang kini sudah berusia tujuh
belas tahun itu.
“Sangat!”
jawabku mantap.
“Kata Bunda aku
mirip Ayah, kan?
Aku mengangguk.
“Peluk aku
lagi, Bunda….”
Medan, 12
Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar