Sudah menjadi semacam “general truth” bahwa wanita di mana saja itu
gemar berbelanja. Sehingga mungkin jika ada wanita yang tidak gemar berbelanja
dan bukan menjadikan belanja itu sebagai sebuah kesenangan, berarti dia
termasuk yang abnormal. Dan sayangnya, salah satu wanita yang abnormal itu
adalah saya. (Menangis Bombay tujuh hari tujuh malam).
Saat masih belum
bersuami, dengan berbagai cara, aku bisa menghindari hal yang bernama belanja.
Jika memang pun harus berbelanja karena membutuhkan barang-barang tertentu, aku
meminta ditemani oleh saudara atau sahabatku atau aku memilih belanja di plaza
atau mall yang harganya tidak perlu ditawar-tawar lagi. Tapi, kondisi kini
sudah berubah, saat kita sudah hidup dalam lingkup dan bertugas sebagai “Ibu
Rumah Tangga Sejati” berbelanja di pasar tradisional menjadi sebuah kebutuhan
yang tak dapat dielakkan lagi, apalagi jika penghasilan rumah tanggamu tak
sebesar pendapatan pejabat atau pengusaha batu bara.
Yang aku benci dari
berbelanja adalah harus keliling-keliling mencari barang terbagus dan termurah,
harus lihai menawar harga (paling kubenci karena harus berdebat dengan
pedagang), harus teliti memeriksa barang dan butuh tenaga kuda untuk mengangkut
semua barang hasil belanja pulang ke rumah. Tentu saja, sebagai orang yang
tidak mau dikatakan Ibu Rumah Tangga abnormal aku terus berlatih dan berlatih
agar kemampuan berbelanjaku meningkat, sesuai dengan standarisasi yang berlaku
umum. Adapun standarisasinya adalah sebagai berikut, mampu menawar harga hingga
serendah-rendahnya dan mendapatkan barang dengan mutu setinggi-tingginya.
Tapi,
sepertinya aku memang tidak diciptakan sebagai manusia yang seperti wanita
kebanyakan, mungkin Tuhan lupa memasukkan semacam chip “Lihai Berbelanja” ke
jaringan otakku. Akhirnya, kejadian seperti yang sudah-sudah, terjadi lagi di
bulan lalu, well, yeah, kau tahu? Seperti biasa aku ditipu mentah-mentah (lagi)
oleh si pedagang.
Saat tiba, aku tertarik pada rok berwarna
kuning bermotif batik dengan kain yang dingin dan halus. Si penjaga kios mulai
beramah-tamah padaku.
“Barang baru ini, Kak. Bagus nih kainnya, tuh dingin, kan? Pinter deh
milihnya,” promonya sambil mengelus lembut rok itu.
“Berapa harganya?”
“Untuk kakak, 70.000 aja, biar langganan. Cocok loh kak dipakai kuliah .…”
aku tersenyum, emang aku terlihat masih anak kuliahan, ya? (Senangnya! Jadi
segan kalau gak jadi beli)
“Kuranglah, Kak? 45.000 aja, ya?” Sesuai teori yang kudapat, tawarlah
harga separuh dari harga yang disebutkan di awal.
“Gak bisa, Kak. 60 lah, udah mati itu….” Dia melipat rok dan
memasukkannya ke dalam plastik. Lagi-lagi seperti biasa ada rasa tidak enak
untuk menolak. Akhirnya rok itu kubayar lunas.
Akhirnya aku
pulang, dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan pedagang pakaian yang sedang
menjajakan dagangannya.
“Empat puluh lima ribu!!! Empat puluh lima ribu! Mau, Kak? Murah saja,
cuma empat puluh lima ribu….”
Aku terhenyak melihat benda yang dijulurkannya padaku. Tak lain tak
bukan, aku mendapati rok yang sama persis dengan yang kubeli barusan. Dan,
parahnya masih ada berpuluh penjaja rok seperti itu lagi di seantero pasar ini
dengan harga yang sama, HANYA Rp. 45.000!!!
***
“Ciyeee rok baru ni ye …,” suamiku mencibir. “Berapa harganya, Bun?”
Seperti biasa, aku selalu berbohong demi mendapat label ‘lihai belanja’.
“Murah loh, Yah. Cuma 45.000 ajah .…”
“Ih, istri ayah, makin pinter ya belanja di pasar.”
Hadeeehhh …
0 komentar:
Posting Komentar