Jumat, 01 Mei 2015

Review Film Toba Dreams

Unknown


Dibandingkan Film Toba Dreams, Avangers Sampah?

Pernyataan di atas diungkapkan oleh Jajang C. Noer, seorang aktris kawakan yang ikut bermain dalam film Toba Dreams di salah satu stasiun televisi swasta beberapa hari yang lalu. Pesan-pesan terakhirnya sebelum acara talk show pagi itu ditutup,

“Tonton Toba Dreams. Jangan yang lain. Apalagi Avangers atau apalah apalah itu. Sampah semua itu.”

Awalnya aku mengira itu hanya ungkapan ‘lebay’ seseorang yang sedang mempromosikan filmnya. Atau bisa jadi luapan keprihatinannya akan kecendrungan penonton Indonesia yang lebih menghargai film buatan luar negeri ketimbang dalam negeri. Tapi... setelah langsung menonton filmnya sendiri, aku berubah. Bahkan agaknya ikut mengamini pernyataan ‘keras’ miliknya itu.

Tanggapanku setelah menonton film yang diperankan oleh aktor Vino G. Sebastian dan Marsha Thimoty serta Mathias Muchus ini adalah film ini sangat berisi, ‘gemuk’ dengan makna dan sarat akan pesan-pesan moral. Begitu banyak buah-buah kontemplasi yang bisa kita petik dari film ini.

Akar cerita film garapan sutradara Benni Setiawan ini utamanya berkisah mengenai hubungan bapak dan anak laki-lakinya. Sang Bapak yang diperankan oleh Mathias Muchus baru saja menjadi pensiunan TNI AD berpangkat Sersan Mayor. Dia mengajak seluruh keluarganya untuk kembali ke kampung halamannya dan mulai membangun kehidupan di sana.

Ronggur, anak tertuanya yang dilakoni oleh Vino G. Sebastian merupakan orang pertama yang menentang keputusan itu. Dia punya banyak mimpi di Jakarta dan dia menganggap bapaknya adalah seorang diktator yang selalu mengebiri mimpi anak-anaknya dari kecil. Tapi demi ibunya, Ronggur akhirnya menyetujui meski dengan berat hati.

Pergolakan terus terjadi di benak Ronggur. Dia ingin bebas dan mencari kesuksesan di Jakarta. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah opungnya (Jajang C. Noer)—rumah yang mereka tinggali saat di kampung—dan mencari peruntungan di Jakarta. Sekaligus menemui kembali kekasihnya, Marsha Timothy yang dia tinggalkan.

Daya tarik film ini, selain nama besar Vino G. Sebastian adalah setting film yang mengambil lokasi di salah satu tepian Danau Toba. Tepatnya di sebuah perkampungan di Balige. Dengan sangat elegan sang sutradara berhasil menyajikan panorama indah nan khas milik danau terluas se-Asia Tenggara terebut. Latar belakang budaya yang diangkat juga mampu menjanjikan cita rasa yang berbeda. Secara tidak langsung juga membangkitkan potensi pariwisata lokal. (Mudah-mudahan bisa mengikuti jejak film Laskar Pelangi yang mampu membuat Pulau Belitong menjadi destinasi wisata utama sekarang ini). Sangat diharapkan kemunculan film-film lain yang serupa dan mengangkat keindahan Indonesia dari sudut yang lain lagi. Jika film India mampu menonjolkan nyanyian dan tariannya sehingga industri filmnya bisa lepas landas ke dunia internasional, bisa jadi penggalian budaya dan keindahan alam Indoneisa menjadi salah satu ikon film Indonesia yang mampu menarik penonton mancanegara. Who knows?

Konflik-konflik yang dihadirkan secara maraton juga terasa sangat real. Dekat dengan kehidupan kita sehari-hari hingga menyentuh ke jiwa. Tidak ‘lebay’ dan tak terkesan dipaksakan.

Belum lagi hadirnya musik yang menjadi soundtrack dan mendukung keseluruhan film. Tak diragukan lagi keciamikan Vicky Sianipar dalam menggarap musik, membuat film ini semakin... PEWEW!!! (PEWEW= Embahnya WOW). Musik di film bagai sebuah jiwa. Dengan adanya jiwa film ini menjadi lebih ‘hidup’.  

Awalnya aku mengira penonton Toba Dreams paling hanya segelintir—apalagi saat antri beli tiket semua orang beli tiket Avangers, well terkadang di situ kadang saya merasa aneh sendiri—dan tidak akan penuh sampai setengah baris. Tapi ternyata penontonnya penuh hingga ke baris paling depan. Mungkin karena ini di Medan, jadi masyarakatnya punya keterikatan budaya tersendiri.

“Peringatan bagi orang yang melihat keharuan di film animasi semisal “Up” saja bisa menangis!” Sediakan handuk, karena film ini bakalan menguras air mata. (FYI: Aku menangis sepanjang film diputar. Pada saat itu aku bersyukur bahwa film di bioskop diputar dalam kondisi gelap. Sehingga orang lain tak mengetahui kondisiku yang mengenaskan tersebut. Cewek yang duduk di sebelahku sekali waktu pernah menoleh padaku. Mungkin dia mendengar isak tangisku atau mungkin hanya mengecek aku peduli apa tidak pada dia, sebab dia lantas bersandar di bahu pasangannya dengan manja—mungkin terinspirasi kemesraan Vino dan Marsha. Saat lampu dihidupkan, setengah mati aku menutupi mataku yang bengkak dan wajahku yang sembab. Sementara suamiku melangkah gontai sejauh mungkin dariku dengan wajah -_- #saatnya_melempar_bakiak)

Salah satu quote yang amat sangat membekas dari film ini “Sukses itu bukan berhasil menjadi orang kaya. Tapi sukses itu berhasil menjadi orang baik.”

Bagiku film ini memiliki ending yang sangat twist alias tak terduga. Menghadirkan efek kejut yang purna (ceileee). Meski tragis, aku pribadi memahami mengapa ending filmnya begitu. Bahwa pemeran utama tidak mesti sempurna, tidak harus menjadi superhero yang tak mati-mati meski dibantai raksasa satu batalion. Aku puas dengan endingnya, mengingat keseluruhan cerita yang ada. Kesaksian suamiku yang sewaktu dulu menonton film Mockingjay terus menerus menguap dan hampir terlelap, film ini sama sekali tak membuatnya mengantuk. Bahkan ikut tertawa terbahak-bahak saat kehadiran Boris, komik stand-up comedy yang turut menyegarkan cerita, memicu tawa semua penonton. Suamiku mengaku, sering menahan tawa karena terpaksa. Tawa penonton lain sudah reda, sementara dia sendiri belum. Aku tahu bagaimana rasanya itu, Kawan.

Kekurangan film yang diadaptasi dari novel milik T.B. Silalahi yang berjudul sama ini, mungkin terletak pada judul. Bagi orang Sumatera Utara mungkin tak ada masalah. Tapi bagi orang di luar Sumut, mungkin kurang menarik. Untunglah... daya tarik Vino pastinya tak bisa dielakkan. Aktingnya tak lagi diragukan. Keren and amazing pol! Good strategy.

Aku merekomendasikan film yang berlabel untuk dewasa (17 tahun ke atas) ini untuk ditonton. Jangan tunggu tayang di televisi. Dukung perfilman Indonesia. Apalagi untuk film-film yang memang berkualitas alias bukan kacangan seperti ini.

Daripada Avangers bagusan tonton Toba Dreams. Tapi daripada film-film horor Indonesia yang kebanyakan mempertontonkan sensualitas daripada isi cerita, memang bagusan Avangers. Gitulah gitu. HORAS.

Medan, 02 Mei 2015



     

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes