Selasa, 18 Juni 2013

Kolong Jembatan dan Putri Jingga Wangi

Unknown


            Nyiman tersentak bangun, bagai tersengat listrik ia bergegas bangkit dari kasurnya. Gelap masih merambat, dingin masih memeluk erat pada jam dua dini hari tepat. Nyiman berjingkat keluar dari kamar, ia lalu mengintip kamar sebelah, Ibunya nampak terlelap memeluk guling. Nyiman melangkah ke dapur, membuka pintu dapur perlahan, menutup dan menguncinya kembali. Suara orkestra jangkrik dan kodok menyambut Nyiman yang kini sedang celingak celinguk ke segala arah di depan pintu, guna memastikan tidak ada orang yang melihatnya.

            Nyiman menyibak semak yang ada di belakang rumahnya, menyelinap di tanaman tanaman perdu yang tumbuh belukar hingga sampai di kebun melinjo milik Pak Haji Hasan. Nyiman sudah bernaungkan pepohonan melinjo kini, beberapa buah melinjo tua jatuh tersambar angin semilir. Ia terus melangkah dalam gelap menuju pinggir kebun melinjo yang berakhir pada jalan desa beraspal. Sampai di jalan aspal, Nyiman membelok ke kiri dan meneruskan tapak demi tapak kakinya yang terus memburu pada satu titik yang menjadi tujuannya tanpa keraguan secuil pun. Padahal, suasana begitu mencekam, hingga tetap tinggal di dalam rumah adalah suatu pilihan yang tidak buruk. Cerita tentang hantu gentayangan masih hangat di rumpian warga di halaman- halaman rumah, di warung kopi hingga di sawah kebun. Namun dari wajah Nyiman yang tenang, tampak desas desus seram tersebut dianggapnya hanya dongeng kancil biasa.

            Nyiman sampai pada sebuah jembatan di atas satu satunya sungai yang mengalir di desa itu, sungai tempat seribu sawah desa bertumpu, sungai sumber hidup seluruh warga, jembatan bertangan besi berwarna kuning itu tampak horor, entah karena sunyinya atau karena cerita warga yang menyelimutinya dengan jubah kata angker. Nyiman makin mendekat pada jembatan, ia mengambil jalan setapak di pinggir jembatan yang menurun, jalan menuju tepi sungai yang biasa dipakai orang menuju sungai untuk mandi atau mencuci pakaian atau hanya mencari rumput yang tumbuh subur di sekitar sana. Namun Nyiman tidak mengikuti jalan setapak hingga sampai pada seharusnya jalan itu berakhir, ia menikung, mengambil jalan bersemak tinggi, menuju kolong jembatan. Tempat yang menjadi tujuannya sejak awal.

            Nyiman sudah berdiri di bawah kolong jembatan, suara air sungai mengalir perlahan mensyahdukan jiwanya. Nyiman memejamkan mata, mengembang kempiskan hidungnya yang super besar seperti ogre, monster hijau di film Shrek, bergumam gumam memanggil nama seseorang. Nyiman lalu membuka mata, di depannya sudah berdiri sesosok perempuan bergaun merah hati. Perempuan tanpa mulut itu tersenyum dalam matanya yang hanya satu.

“Apa kabar sayangku.. Putri Jingga Wangi...” Nyiman membelai lembut wajah Putri Jingga Wangi dengan tangan penuh kudisnya yang tak henti hentinya tumbuh dan tak pernah sembuh, hingga Nyiman menjadi olok- olokan warga dengan juluk “Si Koreng” kadang ditambah kata Busuk di belakangnya atau Raja di depannya. Penyakit kudis yang menebar aroma amis dan tak kunjung sembuh menjadikannya dijauhi warga apalagi gadis. Namun, hampa hatinya sudah sarat cinta kini, cinta dari seorang gadis tanpa mulut, tanpa telinga dan tanpa detak jantung.

“I Love You..” kata kata yang baru dipelajari Nyiman seharian penuh sebelumnya pun mengalun indah.
Putri Jingga Wangi tenggelam dalam pelukan Nyiman yang berdebar penuh bulir asmara. Di bawah sinar bulan purnama mereka siap memadu kasih hingga langit kembali melahirkan fajar jingga yang penuh pesona.

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes