Minggu, 02 Juni 2013

Unknown
Malam itu angin bertiup kencang, berdebur melampaui pepohonan yang terhempas- hempas tak beraturan kesana kemari. Menimbulkan suara desiran kuat yang meraung raung. Sesosok tubuh kurus nan ringkih melangkah lambat di sebuah jalan setapak yang diapit semak- semak, ia memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan hitamnya yang berdebu. Ia tidak bergegas seperti insan insan lain yang terburu buru berlari mencapai rumahnya atau paling tidak tempat yang bisa dijadikan untuk berteduh. Maklum, langit sudah berulang kali bergemuruh, berdentum dentum dan terbatuk batuk, ingin segera memuntahkan selaksa air dari mulutnya. Terguyur hujan dalam malam yang dingin ini bisa membuat tubuhmu menggigil dan menaikkan suhu badanmu hingga tinggi sekali.

Pria yang ditaksir berusia sekitar lima belas tahun itu terus tunduk dan berjalan. Menekuri jalan setapak yang hanya tanah keras dan bebatuan itu. Memandangnya lekat seolah tanah keras itu akan menghilang kalau ia lengah memberi pandangan. Wajahnya yang berdebu dibingkai rambut gimbal yang bukan karena tempaan secara sengaja, melainan tempaan dari kehidupan jalanan yang tidak menyediakan salon untuk perawatan rambut. Ia terus berjalan dan berjalan. Hingga,, byuurrrrr... hujan menghujam di kulit tubuhnya, membasahi seluruh badannya. Hujan mengecup setiap inci wajahnya, mengusir segala debu yang pernah menempel. Tiba tiba langkahnya terhenti. Ia membuka kedua belah tangannya, menengadah ke langit. Bibir kecilnya berujar pilu,

"Hujaaan,, Ini diriku... bawalah aku ke tempat dimana kau berasal, angkat aku jadi anakmu. Dan biarkan aku tidur di pangkuanmu. Hujaaaann... kasihanilah aku yang sudah tak beribu dan berayah ini, sungguh sulit kurasa hidup di dunia yang rajin kau sambangi dengan air mu itu.. dunia yang senantiasa kejam padaku.. Hujaaaannn.. rengkuhlah aku..."

                                                                              ***

"Mana setoranmu kamprettt??"

"Gaa adaaa Om... tadi sepiii..."

"Hahahahaa!! Kau pikir aku percaya kata kata busukmu itu kampret kecilll??"

Jaka menggigil, ia takut dan khawatir, ia tadi mengubur uang hasil mengamennya di taman kota. Uang itu akan dikumpulkannya karena ia ingin bersekolah. Kalau semua selalu diserahkannya pada Om Septa, maka ia tidak akan dapat apa apa dan akan selamanya hidup di jalanan. Baginya, sekolah adalah kunci untuk lepas dari kekejaman dunia jalanan yang sudah kenyang dimamahnya bertahun tahun.

"Sumpah Om sumpaahh... memang ga adaa..."

Om Septa, menarik lengannya, hingga wajah Om Septa hanya seinsi di depannya. Aroma minuman keras dari multnya menyeruak.

"Jangan bohong..." Rahang Om Septa mengeras. Tangannya terangkat tinggi, lalu menampar pria kurus itu
keras sekali, hingga mulutnya berdarah.

"Ampun Ommm!!!"

"Sekarang cepat tunjukkan dimana uang itu kau sembunyikan, sebelum nyawamu melayang dan tubuhmu kujadikan makanan anjing!!!"

Jaka gentar dan menggigil. Ia pasrah, tak ada gunanya melawan Om Septa. Ia beranjak pergi ke taman kota. Om Septa tersenyum sinis, mengikuti Jaka dari belakang.

                                                                                  ***

"Langiitt.. berilah restu pada hujan untuk mengambilku dan membuaiku sebagai anaknya. Aku tak rela, jika harus mati ditangan orang bedebah, taik kucing dan bejat itu. Tidak mauuu... Tolooooong ambil aku hujaaann,,," Jaka melolong lolong sendu.

Pris kecil itu masih menengadah, membiarkan tubuhnya membeku.

"Slereetttt!!! Jelagaaaarrr!!!!"

Sebuah lidah cahaya turun ke bumi, menjilat tubuh Jaka, Jaka menggelinjang. Lidah cahaya memecahkan suara gemuruh menggelegar yang berdentum keras sekali. Jaka rubuh ke tanah basah di peluk gemuruh. Tubuhnya terus menggelepar, dan perlahan berhenti hingga kaku. Sebuah senyum melengkung di wajah gosong itu. Hujan ternyata sudi mengangkat Jaka menjadi anaknya.

Sementara itu sebuah buku terjalin rapi di lemari kaca para petinggi. Sampulnya bertuliskan larik indah hasil buah pikir para pendahulu, UUD 1945. Sebuah pasal bernomor 34 ayat pertama, tertidur pulas di dalamnya. Suara dengkurannya, menghantarkan nyawa Jaka yang terbang hingga ke awan.

Medan, 28 Mei 2013, 18.14 WIB

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes