Selasa, 01 April 2014

Aku Ini Terserang Bodoh Tingkat Paling Mematikan

Unknown

Ho do boruku, tapuk ni ate ateki
Ho do boruku tapuk ni pusu pusuki
Burju burju maho, na marsikkola i
Asa dapot ho nasinita di rohami*

Lagu Boru Panggoaran yang dilantunkan tim Paduan Suara acara wisuda nan syahdu itu, sukses membuatku kebanjiran air mata. Kupandangi Bapak dan Mamak dari jauh, sedang duduk saling menguatkan di kursi undangan. Aku sibuk mengusap air mata, dengan tisu yang baru saja kuminta dari sahabatku. Dalam kondisi yang kurang sehat, Bapak menegar-negarkan diri untuk menghadiri acara penting bagiku ini. Yeah, lebih dari setahun yang lalu, Bapak terserang penyakit diabetes meliitus, ia mengundurkan diri dari Perusahaan Pulp tempatnya bekerja, membuat keluarga ini runtuh secara ekonomi. Sempat terpikir olehku, wisuda ini tak akan terjadi karena terkendala biaya, namun lihatlah sekarang, aku di sini, berbalutkan toga nan gagah perkasa. Perjuangan Bapak dan Mamak dibayar lunas oleh Tuhan hari ini.

***

“Apa yang kaubuat, Yun?! Kegilaan macam apa ini?! Sana, kaulihat Mamak! LIHAAAT!” Suara kakakku menggelegar memenuhi ruangan. Aku bersimbah air mata. Lalu beranjak perlahan ke ruang tengah, kudengar tangisan Mamak menderu-deru. Sebuah palu baja seolah menghentak hatiku keras. Apa yang sudah aku lakukan? tanyaku, untuk diriku sendiri.

Aku melewati Bapak yang duduk lemah, sakitnya sedang kambuh. Ia diam saja.

“Sudah?” tanya Mamak di sela isak tangisnya. “Bunuh saja bapakmu ... sudah capek-capek Mamak berjuang supaya bapakmu sembuh, kaudatang dengan masalah yang sebegini berat!
Kali ini beribu anak panah berhamburan entah dari mana dan bersarang di jantungku.
Bapak tetap diam.

“Benar firasat Mamak, kau ... kau ....” Mamak tak mampu meneruskan kata-katanya, tangisnya pecah lagi. Aku semakin tersudut, kalau sekarang Allah mencabut nyawaku, rasanya aku akan senang sekali.

“Sudah, Mak. Dia sudah dewasa. Biar dia melakukan semua yang dia mau, biar dia tanggung jawab atas semua itu sendiri!” Bapak akhirnya angkat bicara.

Aku memandang suamiku yang bergeming di samping Bapak. Mematung dengan wajah yang tak dapat kudefenisikan.

“Tidak! Kau …. Gak nyangka Mamak, pikiranmu sepicik ini!” Mamak terus menceracau dengan kalimat asing yang selama ini tak pernah aku dengar, aku tidak mengenal situasi ini, sama sekali tidak. Mamak selalu berkata lembut, Bapak selalu peduli. Tak pernah, sama sekali tak pernah aku dalam situasi sedemikan terpojok oleh orang-orang yang biasanya membelai dan menyuapiku. Aku mulai meraung-meraung.
Sebuah tangan kemudian meraihku, suamiku mendekapku erat dalam pelukannya.

“Sudahlah, Mak, Pak. Jangan begitu, dia ini lemah!” Aku makin menangis sejadi-jadinya. Orang yang telah kulukai, turun membelaku dengan tulus. Orang yang semenit tadi kupaksa untuk mengembalikan aku pada orang tuaku, hingga mereka berdua berang kepadaku, kini datang mengulurkan tangan.

Oh, aku ini terserang bodoh tingkat berapa? Tak pernah aku selama ini mengecewakan orang tuaku. Tak pernah selama ini aku membuat mereka marah yang sangat. Kali ini aku melukai hati seluruh orang yang menyayangiku sekaligus, hanya dengan keinginan bodohku, untuk berpisah dengan emas permata, suami penghuni surga yang Allah titipkan padaku. Astagfirullahalaziim .…

Ya, aku ini terjangkit virus bodoh tingkat tak terhingga. Maafkan aku.


*Kau lah anakku, kebangganku
  Kaulah anakku, tempat kubersandar
  Baik- baiklah bersekolah
  Agar tercapai cita-citamu

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes