“Look! Subhanallah .... It’s so beautiful!” Aku
berdecak hingga hampir terlonjak dari jok motor.
Bentangan biru danau
terluas se-Asia Tenggara menyambut kami. Padahal, sudah sering sekali aku
melihat dan mengunjungi danau yang berpenghuni ikan pora-pora ini. Bahkan aku
lahir pada sebuah kota di tepinya, Parapat. Tapi, tak jua habis rasa takjubku
akan salah satu kemolekan yang dihibahkan Tuhan khusus untuk bangsaku ini.
Sebagai salah satu
danau terluas di dunia, Danau Toba dikelilingi oleh tujuh kabupaten yang
masing-masing kebagian kecantikan danau dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Wisatawan kebanyakan, seringnya melihat danau dari kota Parapat, kabupaten
Simalungun atau Pulau Samosir yang ada di tengahnya. Jarang mereka menikmati
pesona danau ini dari Kabupaten lain, sebab mungkin aksesnya tidak segampang
menikmati Danau Toba dari kabupaten-kabupaten yang sudah mengelola keindahan
alam ini dengan baik.
Yang aku dan
suamiku lakukan beberapa kali, seperti hari ini adalah mencari dan mengunjungi
sudut pandang lain Danau Toba dari berbagai sisi. Sebagai sepasang suami istri
petualang (yeah, kalau banyak yang kurang setuju menyebut kami petualang karena
sok terlalu keren, baiklah akan kuganti) meminjam kata teman-temanku, sebagai suami
istri “tukang jalan-jalan”, kami mengukur kilometer jalanan tidaklah memakai
kendaraan lain selain motor. Di samping memang cuma itu yang hari ini kami
punya, berkendara motor itu seru. Banyak angin, bisa terhindar macet, anti
muntah, dan satu lagi irit. Walau tempat yang dituju bukanlah tempat yang
berjarak dekat.
“Kalian ke sana dengan motor?” Banyak teman memekik
heran. Kami hanya mengangguk dan tersenyum. “Gila!” lanjut mereka.
Hari ini misi kami
adalah mengelilingi pulau Samosir, setelah sebelumnya sudah pernah memandang sunset
di garis horizon Danau Toba dari Tele, sebuah daerah dataran tinggi di
Kabupaten Tapanuli Utara, kemudia dari ketinggian alam pegunungan Berastagi, dan
dari Tiga Ras kabupaten Simalungun serta yang lainnya.
Perjalanan dimulai
dari pelabuhan Tuk-tuk. Suamiku memacu motor bebek ‘Selalu Terdepan’ kami
dengan laju tak terlalu kencang agar puas memandangi keindahan Pulau Samosir.
Mulutku tak henti-hentinya menyanyikan segala jenis lagu, mulai pop rock barat,
pop Indonesia, pop batak hingga dangdut koplo, asik-asik josh! Sebagai ganti
pemutar musik. Terkadang suamiku minta lagu Perjuangan untuk mempertahankan
nasionalisme katanya.
Saat
satu album Dewa 19 selesai kunyanyikan, sampailah kami pada sebuah air terjun
di punggung bukit yang persis menghadap ke jalan yang kami lalui. Suamiku
memarkirkan motor. Aku turun dengan cepat dan mengagumi karya Tuhan ini dengan
mulut menganga. Hari sudah sore, ini titik terakhir yang akan kami kuunjungi
sebelum kembali ke pelabuhan untuk kembali pulang.
“Minggu depan kemana lagi, Bun?”
“Pulang kampung ke Siantar dari rute terjauh!” Rute
terjauh adalah mengambil jalan melalui Berastagi, di sana pemandangan yang
dialui sangat luar biasa. Rute biasa Medan-Siantar yang sering ditempuh
kebanyakan orang hanya berdurasi tiga jam perjalanan, tapi kami mengambil yang
berdurasi bisa mencapai enam jam perjalanan.
Suamiku menganga.
“Really? Are you sure?”
Aku mengangguk mantap. Suamiku tersenyum kecil tanda
setuju.
Aku memandang motorku, “Jangan pernah menyesal berada
di antara kami, memang perjalanan yang akan kautempuh tak akan pernah mudah,
tapi lihatlah apa yang kaudapat, rasa syukur pada Tuhan yang tak terhingga dan
kesenangan berpetualang. Yaiiiyy!!”
0 komentar:
Posting Komentar