Selasa, 01 April 2014

Sampah Terbang

Unknown

Sama halnya dengan kebiasaan mandi dua kali sehari, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya juga merupakan sebuah kegiatan yang harus dilatih sedari kecil secara regular, berkesinambungan dan konsisten. Aku pernah melihat anak sepupuku yang berumur enam tahun, ia tidak jadi mengambil kue lemper di atas meja. Saat aku tanyakan kenapa tidak jadi, dia berkata dengan polos,

“Ga ada tong sampah untuk kulitnya, Tante….” Jawabannya membuatku serta merta meremas kulit lemper berminyak yang hampir saja kubuang di depan pintu. Aku memutar pandang ke sekeliling, memang tak ada tempat sampah minimal asbak. Keputusan anak kecil ini untuk tidak memilih jenis makanan yang berpotensi menimbulkan sampah membuatku takjub, betapa pendidikan dari orang tuanya merasuki jelas dalam memori otaknya.  

Lalu perihal oknum pembuang sampah sembarangan pun tidak bisa kita katakan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah atau orang-orang pinggiran saja, buang sampah sembarangan pun bisa dilakukan oleh siapapun bahkan oleh orang yang lumayan terpandang dan memiliki kondisi ekonomi yang lumayan mapan.

Cerita yang akan kuceritakan ini, mungkin bisa membuktikan hal itu. Aku akan menyamarkan mereka dengan sebutan keluarga X. Keluarga X tinggal tepat di sebelah rumahku, kami hanya dipisahkan oleh sebuah tanah kosong seluas 10x17 meter milik seseorang yang tinggal di lain tempat. Keluarga ini punya rumah yang bagus, tak heran, suami istri bekerja sebagai abdi Negara di kantor yang bagus pula. Anaknya hanya dua, mereka baik, ramah, suka memberi pertolongan pada tetangga. Kami pun hidup rukun dan damai. Walau hidup rukun dan damai, cerita ini belum habis, kawan, justru inilah awalnya, bahwa ternyata ‘buang sampah sembarangan’ itu semacam wabah penyakit yang bisa menjangkiti siapa pun tak terkecuali keluarga X.

Setiap sore aku selalu melihat banyak sampah melayang terbang dari balik pagar rumah mereka yang tinggi dan mendarat pada tanah kosong yang tadi kuceritakan. Aku tidak mau menyalahkan itu adalah perbuatan Jin, karena yang ada Jin buang anak, bukan Jin buang sampah. Aku dan suamiku yang sering duduk-duduk sore di teras sering kaget saat ada bunyi ‘kedebuk’ saat sampah mendarat seksi di tanah kosong.

“Waduuuh!” kata suamiku. “Dikira itu tong sampah kali yeee….”

“Jangan ikut campur urusan orang,” sahutku.

Tapi, kau tahu? Setiap penyakit pasti ada obatnya. ‘Virus buang sampah sembarangan’ itu hilang seketika pada sebuah pagi yang syahdu di hari minggu. Suamiku sedang menemaniku menjemur sesuatu di teras rumah. Saat seseorang berperawakan besar yang kami duga si pemilik tanah tampak mengunjungi rumah tetanggaku sambil sesekali melesakkan pandang ke gundukan sampah di tanah kosong. Teriakannya terdengar jelas hingga ke terasku.

“Bapak tau ini apa?” gelegarnya. Samar kudengar tetanggaku itu menjawab sesuatu. 

“Kalau tahu, tempatnya bukan di siniii!!!” lanjut pemilik tanah yang marah itu kemudian.

Aku berusaha tidak melihat ke rumah tetanggaku itu dan suamiku pun berusaha untuk tidak melihatku. Rasanya tidak enak mendengar tetanggaku yang baik dihardik orang.

Sesaat setelah orang itu pergi, keluarga X mengadakan kegiatan besih-bersih total. Aku menelan ludah, obat itu memang pahit. Cuma hanya satu yang aku herankan, tetanggaku bisa sembuh hanya dengan hardikan orang, tapi mengapa di beberapa wilayah banyak orang yang tidak sembuh penyakit buang sampah sembarangannya walaupun sudah berkali-kali dapat hardikan dari Tuhan berupa banjir? Aneh, sungguh aneh. 

Medan, 7 Januari 2014

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes