Selasa, 01 April 2014

Buku dan Jejak yang Tertinggal

Unknown

Sejak adamu, dari balik jendela kamar dengan helai rambut yang masih kusut merambak di dahi, aku selalu setia memirsa persembahan prolog pagi dari Tuhan Yang Maha Romantis di setiap pagiku. Matahari sewangi bayi baru lahir tersenyum sinari apapun anasir di muka bumi. Aku merasai saat sinar mentari menyentuh wajah itu artinya Tuhan sedang membelaiku.

                Entahlah sejak mengenalmu semua di sekelilingku serasa berkali lipat lebih romantis. Ya, sejak bunga-bunga mawar darimu mewarnai hariku dengan merah, indah dan meraksi, bahkan got bau busuk pun serasa sungai jernih yang mengalir di pegunungan. Sejak bertemu denganmu, aku selalu gagal memaknai ‘repetan’ Mamak tentang malasnya aku mencuci piring menjadi hal yang kuanggap bagai musikalisasi puisi di Taman Budaya. Dengung ribut teman sekelas tanpa guru yang lebih riuh dari dengung lebah diganggu sarangnya itu pun bagai simfoni orkestra indah di telingaku.

                Hari ini sudah genap dua pekan tak mencari teka-teki di matamu yang elang, tak mendengar ucap 
‘aku cinta kau’ dari bibir delimamu dan tak merasai hangat napas dari hidung Himalaya-mu. Aku rindu, sangat nestapa. 

                Maka saat aku menonton tayangan pagi dari Tuhan Yang Maha Romantis pagi ini, kupeluk buku kita. Buku yang memuat kau dan aku. Kisah pahit nan manis kita dan kisah manis nan berduri kita, tertulis di sana. Buku yang tak pernah terbit tapi selalu menjadi ‘bestseller’ pada jiwa kita berdua, hanya untuk ‘us’, KITA.

                Seharusnya hari ini kita bertemu, seperti janjimu. Saat pagi menjadi siang, tepat kala guru pada les terakhir mengucapkan sampai jumpa di pertemuan selanjutnya, aku melesat ke tempat biasa. Kupastikan buku bersampul hitam itu masih ada dalam tasku. Sudah tak sabar menunjukkan tulisan-tulisan gundahku atas keperihanku selama tak bersamamu. Ada lima cerpen bertema rindu menyengat, berpuluh puisi bergelimang kata gelebah. Ah, aku bisa pastikan kau kelimpungan membalas semua tulisanku. Jangan-jangan kau membalasnya hanya dengan gambar hati yang dipanah? Jangan itu jelek! ‘Be creative, darling’

                Satu jam, masih kutunggu. Dua, tiga, empat? Matahari sudah menggelinding saat aku hendak melangkah pulang. Kau tak datang. Hanya sebuah pesan dari seorang teman menghadang.

“Tidak perlu menunggunya, dia sudah tak menginginkanmu!”

                Sore itu, seharusnya adalah senja yang indah. Namun kau tak ada, kau ingkar dan keji. Kau membuat duniaku terbalik dalam sedetik. Lagu ‘Dua Sejoli’---kau tetapkan lagu itu sebagai ‘soundtrack’ cinta kita, cuih!---kuanggap jeritan lirih orang gila, kututup telinga. Kubuka buku kita. Apa ini semua? Tulisan kebodohankukah atau kebohonganmu? 

                Pada sore yang menjingga, dari balik jendela kumenatap Tuhan Yang Maha Romantis tak lagi tersenyum, menarik mentariku. Kuhembalang buku hitam---baru kusadari mengapa kausampul dengan hitam. Kau sudah pergi dengan jejakmu yang masih membekas di lubuk sanubariku yang katamu bagai samudra. Jejak itu menjauh, kukecupi aroma mawar terakhirmu yang telah mengering. Maka, biarkan aku mati. 

Medan, 04 Maret 2014

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 komentar:

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes