Selasa, 01 April 2014

Lihai Berbelanja

Unknown
Sudah menjadi semacam “general truth” bahwa wanita di mana saja itu gemar berbelanja. Sehingga mungkin jika ada wanita yang tidak gemar berbelanja dan bukan menjadikan belanja itu sebagai sebuah kesenangan, berarti dia termasuk yang abnormal. Dan sayangnya, salah satu wanita yang abnormal itu adalah saya. (Menangis Bombay tujuh hari tujuh malam).

                Saat masih belum bersuami, dengan berbagai cara, aku bisa menghindari hal yang bernama belanja. Jika memang pun harus berbelanja karena membutuhkan barang-barang tertentu, aku meminta ditemani oleh saudara atau sahabatku atau aku memilih belanja di plaza atau mall yang harganya tidak perlu ditawar-tawar lagi. Tapi, kondisi kini sudah berubah, saat kita sudah hidup dalam lingkup dan bertugas sebagai “Ibu Rumah Tangga Sejati” berbelanja di pasar tradisional menjadi sebuah kebutuhan yang tak dapat dielakkan lagi, apalagi jika penghasilan rumah tanggamu tak sebesar pendapatan pejabat atau pengusaha batu bara.

                Yang aku benci dari berbelanja adalah harus keliling-keliling mencari barang terbagus dan termurah, harus lihai menawar harga (paling kubenci karena harus berdebat dengan pedagang), harus teliti memeriksa barang dan butuh tenaga kuda untuk mengangkut semua barang hasil belanja pulang ke rumah. Tentu saja, sebagai orang yang tidak mau dikatakan Ibu Rumah Tangga abnormal aku terus berlatih dan berlatih agar kemampuan berbelanjaku meningkat, sesuai dengan standarisasi yang berlaku umum. Adapun standarisasinya adalah sebagai berikut, mampu menawar harga hingga serendah-rendahnya dan mendapatkan barang dengan mutu setinggi-tingginya.

  Tapi, sepertinya aku memang tidak diciptakan sebagai manusia yang seperti wanita kebanyakan, mungkin Tuhan lupa memasukkan semacam chip “Lihai Berbelanja” ke jaringan otakku. Akhirnya, kejadian seperti yang sudah-sudah, terjadi lagi di bulan lalu, well, yeah, kau tahu? Seperti biasa aku ditipu mentah-mentah (lagi) oleh si pedagang. 

Saat tiba, aku tertarik pada rok berwarna kuning bermotif batik dengan kain yang dingin dan halus. Si penjaga kios mulai beramah-tamah padaku.

“Barang baru ini, Kak. Bagus nih kainnya, tuh dingin, kan? Pinter deh milihnya,” promonya sambil mengelus lembut rok itu.

“Berapa harganya?”

“Untuk kakak, 70.000 aja, biar langganan. Cocok loh kak dipakai kuliah .…” aku tersenyum, emang aku terlihat masih anak kuliahan, ya? (Senangnya! Jadi segan kalau gak jadi beli)

“Kuranglah, Kak? 45.000 aja, ya?” Sesuai teori yang kudapat, tawarlah harga separuh dari harga yang disebutkan di awal.

“Gak bisa, Kak. 60 lah, udah mati itu….” Dia melipat rok dan memasukkannya ke dalam plastik. Lagi-lagi seperti biasa ada rasa tidak enak untuk menolak. Akhirnya rok itu kubayar lunas.

                Akhirnya aku pulang, dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan pedagang pakaian yang sedang menjajakan dagangannya.

“Empat puluh lima ribu!!! Empat puluh lima ribu! Mau, Kak? Murah saja, cuma empat puluh lima ribu….”
Aku terhenyak melihat benda yang dijulurkannya padaku. Tak lain tak bukan, aku mendapati rok yang sama persis dengan yang kubeli barusan. Dan, parahnya masih ada berpuluh penjaja rok seperti itu lagi di seantero pasar ini dengan harga yang sama, HANYA Rp. 45.000!!!

***

“Ciyeee rok baru ni ye …,” suamiku mencibir. “Berapa harganya, Bun?”

Seperti biasa, aku selalu berbohong demi mendapat label ‘lihai belanja’.

“Murah loh, Yah. Cuma 45.000 ajah .…”

“Ih, istri ayah, makin pinter ya belanja di pasar.”

Hadeeehhh …

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016. Template Designed By Templateism | Wp Themes